Categories: CerpenKarya Sastra

Until Jannah

“Kali ini apalagi?” aku memandang malas laki-laki di depanku. Bahuku terangkat menunjukkan ketidak pedulianku pada masalah yang aku buat kali ini. Mulutku terkunci rapat enggan menyahuti pertanyaannya.

“NATHAA…!!! harus berapa kali ayah bilang. Kamu sudah kelas sembilan. Sebentar lagi ujian. Harusnya kamu mulai kurangi kenakalan kamu itu. Ayah sampai bingung mau taruh di mana muka ayah karena hampir tiap hari dipanggil pihak sekolah” mataku memutar menanggapi ceramahnya yang kesekian kali. Heran deh, gitu doang sampai acara bingung segala. Ya taruh aja di mukanya.

“Natha juga gak pernah minta ayah buat peduliin Natha. Biasanya juga gak pernah peduli”. Sahutku setengah ogah-ogahan.

Lelaki paruh baya di depanku ini menghela nafas kasar. Matanya memejam sesaat “Astaghfirullah.. astaghfirullah” rapalnya berkali-kali. “Oke. Ayah sudah memutuskan. Percuma juga ngomong sama kamu. setelah lulus, tak ada sekolah favorit atau sekolah negeri. Ayah akan masukkan kamu ke pesantren”

Mataku terbelalak kaget. “Apa-apaan? Nggak. Emang ayah siapa berani ngatur-ngatur masa depan Natha?” tolakku mentah-mentah. Tanganku bersedekap di depan dada.

“Maaf nak. Keputusan ayah sudah bulat dan tak dapat diganggu gugat”. Putusnya seraya beranjak menjauhi tempat kami terlibat pembicaraan.

Aku hanya menganga memandang punggungnya yang mulai terlihat menjauh. Tanganku terkepal kuat seraya menghentakkan kaki. Aku kesal sekali. Pesantren? Yang benar saja. Bahkan dalam mimpi terburukku sekalipun, aku tak pernah berhayal untuk tinggal di pesantren. Pokoknya mulai detik ini aku harus mulai menjalankan aksi protesku. Harus. Tekadku dalam hati.

###

Namaku Dzaatun Nathaqain atau ‘yang memiliki dua cahaya’. Yup, bener sekali, ibu mengadopsi namaku dari gelar Sayyidah Asma’ binti Abu Bakar. Beliau merupakan salah satu sahabat wanita yang turut andil dalam memperjuangkan agama Allah. Beliau rela menempuh padang tandus demi untuk mengartarkan bekal perjalanan Rasulullah dan ayahnya. Fyi, menurut ibuku, aku harus meniru ketabahan dan keberanian Sayyidah Asma’ dalam meniti kehidupan. Karena beliau melihat, hidupku tak akan selalu mudah.

Sebagai orang yang tak terlalu diharapkan untuk lahir, dari kecil hingga remaja aku terlalu terbiasa menyaksikan dan merasakan dikucilkan, dihina, dan dianggap tidak ada. Bahkan, nenekku yang masih satu darah denganku kerap kali bersikap sinis padaku. Yah, gak heran sih, karena pernikahan antara ayah dan ibu ditentang terang-terangan dari pihak keluarga ayah. Secara, ibu adalah anak orang miskin. Sedang, keluarga besar dari pihak ibu tidak terlalu peduli dengan ibu yang dari segi ekonomi sangat jauh di bawah mereka.

Kata ibu, saat umurku dua tahun, ayah memilih untuk mengikuti titah keluarga besarnya untuk mengasingkan kami. Oleh karenanya, ibu membawaku pergi jauh dari jangkaun keluarga ayah. Selama itu pula, kami hidup dalam kekurangan, meski ibu telah berusaha mati-matian untuk menghidupi kehidupan kami dengan cara mengambil upah untuk mencuci baju tetangga. Hingga saat umur dua belas tahun, ayah menemukan letak keberadaan kami. Hanya saja, pada saat itu ibu dalam keadaan sakit keras dan meninggal beberapa hari kemudian. Terpukul? Tentu saja. Tapi aku tak dapat berbuat apa-apa, karena aku berharap dengan kembalinya ibu ke sisi-Nya, ibu akan terlepas dari segala kesengsaraan. Sejak saat itu, ayah memboyongku ke kediamannya, dan hidupku yang penuh caci maki dimulai kembali.

###

Langkah kaki ku terseok-seok mengikuti langkah lebar ayahku yang menarik lenganku menuju posko pendaftaran di PONDOK PESANTREN DARUL HIKMAH. Yah, benar sekali. Setelah beribu-ribu aksi protes dan pemberontakan yang aku lancarkan, tidak ada satupun yang berhasil melunturkan atau meruntuhkan keputusan ayah. Pada akhirnya, aku akan terdampar di tempat yang sangat jauh ditempuh jika dari rumahku. Sebenarnya aku malas sekali untuk mendeskripsikan tempat ini. Tapi, okelah. Tak ada ruginya jika aku menginformasikan sedikit tentang pesantren ini. Ingat, sedikit.

Pesantren ini terletak di desa yang sangat-sangat terpencil. Bahkan aku tak yakin, jika orang-orang di sini tau bahwa di dunia ini sudah ada yang namanya android. Saking terpencilnya tempat ini. Oke, aku hanya membual. Sepertinya, akses 4G sudah masuk di desa ini. Buktinya, ayahku tampak serius menekuni berkas pekerjaan yang dikirimkan sekretarisnya via email. Tempat ini hanya keliatannya yang terpencil. Tapi sistem dan fasilitas yang dimiliki di Pesantren Darul Hikmah tergolong modern dan lengkap. Tapi, aku tidak berbohog mengenai letak pesantren yang jauh dari tempat tinggalku. Intinya, ayahku niat sekali untuk mendepakku dari rumahnya. Isshhh.

Pandangaku tersapu mengamati sekelilingku yang di kelilingi dengan dinding-dinding tinggi dan kokoh. Tampak orang-orang berjalan hilir mudik dengan kesibukan masing-masing. Pandanganku beralih pada potret keluarga harmonis di depanku. Mereka terlihat bahagia, meski mereka tau sebentar lagi putri mereka tak akan lagi bersama mereka. Aku merapal dalam hati bahwa aku sama sekali tidak iri dan cemburu dengan keberuntungan yang dimiliki oleh anak di sampingku ini. Gadis disampingku sepertinya menyadari jika sedang diperhatikan, ia mengangkat pandagannya dan menatapku, senyumnya semakin terkembang lebar membuatku mendengus dan mengalihkan tatapan dari keluarga bahagia itu.

Setelah melewati serangkaian persyaratan masuk pesantren ini, aku akhirnya resmi menjadi bagian dari Pondok Pesantren Darul Hikmah. Ayah berpamitan padaku untuk langsung pulang karena pekerjaan menumpuk menantinya. Aku hanya menanggapinya ogah-ogahan. Aku sama sekali tak peduli, sekali lagi aku sudah terbiasa tanpa perhatiannya. Setelah beberapa menit ayah menasehatiku untuk patuh dan menjalani kehidupan pesantren dengan baik, ayah kemudian berbalik meninggalkanku. Lagi.

###

Satu tahun berlalu, dan aku masih hidup sehat wal afiat. Sesuai dengan perintah ayah, aku hidup dengan sangat baik selama di pesantren. Bahkan, aku masih jadi Natha yang dulu, tidak terkurangi satupun. Aku masih suka membuat kenakalan, baik dari yang level biasa hingga yang luar biasa, seperti mem-bully santri yang menurutku pantas di-bully, bertengkar bahkan sampai melawan pengasuhan. Bodo amat, meski mereka menceramahiku dari A sampai Z, bahkan jika mereka sampai menghukumku dengan hukuman yang menurut mereka akan membuatku jera, aku sama sekali tidak peduli. Aku tetap menjadi Natha yang berandalan.

“Gua kan udah bilang, kerjain tugas gua yang benar. Kenapa masih banyak salahnya? Hhhaaa??” bentakku pada salah satu santri putri yang aku tugaskan untuk mengerjakan tugas bahasa Arab dari ustad Farid. Aku begini bukan karena aku tak bisa mengerjakannya sendiri. Tapi, aku suka aja jika melihat orang yang ketakutan di bawah kendaliku. Orang lain harus tahu rasanya tidak diperlakukan baik oleh lingkungannya.

Seseorang mencekal lenganku dan menariknya agar terlepas dari kerudung si culun tadi, “Natha, Natha, sudah. Kasian Amel tidak salah apa-apa. Biar Aura saja yang mengerjakan tugasmu” ucap seseorang itu yang tak lain adalah ‘si gadis keluarga harmonis’.

Reflek, aku bertepuk tangan dan mengejek keberanian si Aura-aura ini “Wah..Wah. ibu pahlawan nih. Mau jadi pengganti kartini lo?” tanyaku mengejek. Tanganku disedekapkan di depan dada dan memandang lurus Aura di depanku. “Okelah, jika kamu maksa, kerjain semua tugas aku. Paham? Nih..” aku melemparkan beberapa buku pelajaran ke dadanya dan Aura dengan sigap menangkapnya.

Aku mendecih sinis dengan sikap sok pedulinya. Bahkan aku yakin, tak ada orang yang benar-benar tulus. Mereka hanya memakai topeng untuk menutupi ambisi busuk mereka. Aku hidup dalam kekejaman kehidupan, dan aku telah banyak belajar dari itu semua. Aku pun beranjak meninggalkan dua orang sahabat mellow yang membuatku muak sekaligus iri. Iya, muak dengan tingkah mereka yang sok tegar dan ikhlas menghadapi dunia yang super kejam serta iri karena meskipun mereka jelas diperlakukan buruk oleh lingkungan, namun mereka memiliki seseorang yang bisa dijadikan sandaran untuk menopang beban hidup yang semakin tak wajar. Aura Cantika dengan keluarga bahagianya, sedang Amelia Nafi’an dengan kakek dan nenek yang rela berkorban banyak demi cucu terkasih mereka. Oleh karenanya, aku hanya berharap sedikit saja bentuk keadilan kehidupan dengan membiarkan dan memaklumi setiap kenakalan yang telah aku perbuat.

###

Siang itu selepas kelas Fisika aku berjalan sambil membaca ayat suci Alquran yang sudah ku hafal. Setiap santri memang dibebaskan dari kewajiban menghafal Alquran. hanya saja, apabila dari santri ada yang berniat menghafal, pengasuhan tidak melarang bahkan menganjurkan dan menyediakan wadah untuk mengembangkan dan mempertahankan hafalannya. Di koridor penghubung antara asrama santri dan sekolah aku dicegat oleh kakak senior yang menanyakan perihal hasil rekap berkas kebendaharaan pasca acara ‘Festival Biologi Al-Qur’an’ yang di dalamnya diisi dengan berbagai kegiatan berpotensi seperti analisa teori penciptaan manusia; antara dalil dan hasil, cerdas biologi jawab cepat, dan berbagai macam lomba lainnya.

Aku memekik kaget ketika dari arah belakang sesuatu yang keras menabrak bahuku dan seketika tumpukan buku tebal berjatuhan mengenai kakiku. Aku mendesis marah dan melotot kesal saat melihat Amel teman ‘si gadis keluarga harmonis’ sedang berusaha memindahkan buku-buku yang menimpa kakiku. “Berdiri!!” desisku pelan namun tegas. Amel dengan tangan gemetar yang saling bertautan berdiri di depanku dengan kepala menunduk. Aku mencegkeram dagunya kasar dan membuatnya mendongak menatapku. Kaca mata minus yang dipakainya basah karena terkena lelehan air mata yang tak henti mengalir dari pelupuk matanya. Aku tersenyum sinis. Sebelah tanganku hendak menarik bagian belakang kerudungnya ketika panggilan dari arah punggungku mengintrupsiku.

“Natha, ada yang mau bertemu dengan kamu”. aku berbalik dan melihat ustadzah Aisha yang tidak berdiri sendiri, melainkan dengan seorang wanita tua yang sama sekali tidak ku sangka akan berdiri di sini, di pondok cucu laknatnya. Yup benar sekali, di sana berdiri nenekku yang telah menorehkan banyak luka untuk ibu dan aku. Kakiku mengikuti langkah keduanya setelah panggilan ustadzah Aisha yang kesekian kalinya mengembalikan ekspresiku yang sama sekali tidak menutupi raut kebencian pada wanita tua itu.

Ustadzah Aisha idzin undur diri untuk melanjutkan pekerjaannya dan meninggalkanku dengan seorang yang tidak pernah sekali pun ku harapkan kedatangannya. “Maaf”. Ucap nenek lirih setelah keheningan menyelimuti.

“Nenek minta maaf Natha, ini semua salah nenek. Kalau saja.. kalau saja..” ucapnya tersendat-sendat dengan mata memerah karena air mata yang tak hentinya mengaliri pipi tuanya. Aku mendecih sinis. Dasar ratu drama, umpatku dalam hati.

“Semua salah nenek. Nenek yang telah tega menyuruh orang lain membawa ibumu pergi dan mengatakan bahwa semua itu adalah perintah ayahmu. Ayahmu tidak tau apa-apa. Setelah ayahmu tau kalau kalian tidak lagi ada di rumah, ia berkeliling mencari kalian. Hanya saja dengan kejam nenek mengatakan kalau ibumu kabur dengan selingkuhannya. Ayahmu terpukul nak, dia sakit hati. Selama sembilan tahun dia hanya bekerja dan bekerja, setahun setelahnya ayahmu mulai mencari kalian entah dengan alasan apa dan dia berhasil membawamu kembali”. Tubuhku menegang kaku mendengar cerita nenek, aku baru tau kenyataan pahit yang telah membuat hidupku dan ibu menderita selama sepuluh tahun lamanya disebabkan oleh siapa. Dan selama ini, aku telah menyalahkan orang yang jelas-jelas sangat menyayangi kami. aku tersadar ketika tangan tua nenek menggenggam kedua tanganku dan meremasnya pelan.

“Nenek mohon Natha, ampuni ayahmu. Dia tak salah apa-apa. Semua ini karena keegoisan nenek memisahkan ayahmu dengan kalian. Nenek mohon temui ayahmu, pulanglah bersama nenek, sekarang ayahmu sedang melalui sakaratul maut. Pulanglah nak..”.

Nafasku tercekat, seperti terdapat bongkahan batu besar mengimpit jalur pernapasanku. Kenyataan apa lagi ini? Mengapa aku harus tau ketika kesempatan bertemu dengan ayahku sangat kecil? Mengapa Tuhan menghukum aku sebegini sakitnya? Apa salahku? Aku tersadar, aku tak memiliki waktu banyak untuk merutuki diri dan tenggelam dalam penyelasan yang berlarut-larut. Ayah tak bersalah, ayah tak berdosa hingga harus melewati pedihnya sakaratul maut. Aku ingin berbakti untuk terakhir kalinya dengan cara meminta maaf dan memberi maaf pada ayahku. Nenek memelukku yang mulai gemetar karena menangis sesenggukan. Kemudian nenek menarik pelan tanganku dan bergegas meninggalkan ‘Pondok Pesantren Darul Hikmah’ untuk menemui ayahku.

###

Air mataku merembes turun membasahi kedua pipiku mengingat kenangan ketika ayah hidup, dan semuanya tidak ada yang berjalan baik. Aku semakin meremas kuat cucian dan mulai menjemurnya di bagian pojokan. Aku sengaja melakukannya untuk menghindari santri lain melihat sisi lemahku. Sudah tiga hari yang lalu aku memilih kembali ke pondok, setelah dua hari pulang dan mengurus jasad ayahku. Aku sengaja tak memilih berlama-lama di rumah karena tak tau harus bersikap bagimana pada nenek dan keluarga besarku, meski dengan lapang aku telah memaafkan mereka.

“Natha” terdengan panggilan lirih dari arah sampingku. Aku berheneti sejenak dan kembali melanjutkan kegiatan menjemur yang tertunda setelah mengetahui si pemanggil.

“Natha, biar Amel dan Aura yang menjemurnya” aku tetap menghiraukannya.

“Natha..” panggilnya lagi disertai dengan sentuhan pada bahuku, aku reflek menepis tangan Amel dan berbalik menghadap mereka. Aku mulai berkata dalam satu tarikan napas.

“kalian sengaja kan mau liat aku merasa bersalah pada kalian? Kalian mau mengejekku karena aku terlihat lemah? Hhha?”

Amel dan Aura menggeleng cepat dengan mata berkaca-kaca. “Nggak Natha, kita gak gitu..” ucap Aura pelan. Ia berusaha mengambil tanganku, namun lagi-lagi aku menepisnya.

“Sudahlah, aku minta maaf karena selama ini aku melampiaskan kemarahanku pada kalian. Mulai sekarang kalian gak akan aku ganggu lagi. Sekali lagi aku minta maaf” sesalku, aku berbalik hendak beranjak pergi dari hadapan Amel dan Aura.

“Nat.. Nat…tunggu..” Amel memegang lenganku. Aku berusaha melepaskannya, nemun cekalan Amel lumayan kuat. “Amel lebih baik liat Natha marah-marah sama kita, nyuruh-nyuruh kita, dari pada liat Natha nangis begini.”

“Iya Nat, kita tulus kok pengen temenan sama Natha. Meskipun selama ini Natha selalu marah-marah dan kadang semaunya, tapi kita ikhlas kok. Kita sayang sama Natha” Aura mengucapkannya dengan senyum terkembang tulus. Aku mematung sesaat, lidahku terasa kelu untuk membalas perkataan Amel dan Aura. Aku tak tau harus menanggapinya bagaimana, semua ini terlalu tiba-tiba dan terlalu mustahil untuk kudapatkan. Aku yang selama ini selalu berlaku kejam, dapat pengampunan dengan mudah.

“Mau ya Nat temenan sama kita..” pinta Aura lirih. Aku menacari-cari kebohongan dan kebencian dari mata mereka, namun yang kutemui hanya pancaran ketulusan.

Sambil menangis aku bergerak cepat memeluk mereka. Betapa aku bodoh karena menganggap mereka sebagai musuhku, betapa aku hina menganggap mereka objek yang bisa membalas sakit hatiku. Kita menangis sama-sama dan berjanji mulai detik ini kita adalah teman, sahabat, dan saudara.

###

Suara menggemaskan bacaan Alquran terdengar semangat mengalun dari bangunan sederhana di depanku. Saat ini  aku berdiri di depan papan tulisan ‘Sekolah Al-Qur’an’. Sekolah ini dikhususkan bagi anak-anak dengan ekonomi menengah ke bawah dan anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik yang berniat dan bertekad untuk mempelajari Alquran dan menghafalkannya. Sekolah ini didirikan oleh salah satu sahabatku_Aura dan suaminya. Mereka dengan semangat tinggi dan ketulusan rela mengesampigkan kebutuhan mereka dan merengkuh anak-anak kurang mampu untuk belajar Alquran tanpa dibayar.

Aku meyapukan pandangan ke sekeliling bangunan tersebut. Sekolah ini terdiri dari dua kelas, kelas pertama untuk pemula yang hendak mengetahui dan mempelajari Alquran lebih dalam. Sedang kelas kedua dikhususkan untuk anak yang hendak menghafal Alquran. di depan bangunan sekolah, terdapat lapangan kecil yang bagian pinggirnya ditumbuhi tanaman-tanaman hias, pepohonan besar yang dibawahnya terdapat kursi panjang untuk sekedar bersantai dan arena mainan anak seperti ayunan maupun jungkat-jungkit. Aku tersenyum kecil. Tempat ini sangat hoomy.

Menarik napas pelan, aku mulai berjalan dan berhenti di depan pintu bangunan madrasah. “Assalamualaikum..” panggilku dan tampaknya Aura tak mendengar panggilan salamku, sehingga kuputuskan untuk memanggil salam sekali lagi lebih keras. “Assalamualaikum..”

Gerakan tangan Aura yang akan menerangkan sesuatu di papan terhenti dan berbalik melihat siapa gerangan yang barusan memanggil salam. Aura terkesiap menutup mulutnya dan berlari tergopoh-gopoh mendatagi tempatku berdiri. Ia melompat ke dalam pelukanku dan mulai mengomel menyebalkan, “Waalaikumussalam. Astaghfirullah Natha, kamu kok gak kasih kabar sih kalau sudah nyampek. Aku kan bisa suruh mas Aksa jemput kamu di stasiun. nyebelin” aku terkekeh melihat reaksinya. “Sengaja dong, biar jadi surprise.” Aura mengerucutkan bibir mendengar responku.

“Amel mana? Udah sampai gak?” tanyaku karena tak kulihat gerak-geriknya sama sekali.

“Udah tadi malem, kamu tau sendiri dia kalau ke sini manfaatin banget buat jalan-jalan ke pasar.” Aku tertawa kecil. “Ya udah yuk masuk..” Aura menarik tanganku dan meminta salah satu anak didiknya membawakan koperku yang langsung diikuti anak yang lain berlari berebutan. Aku dan Aura menggeleng pelan dengan tingkat lucu mereka.

“Aku kangen tau, tapi yang dikangenin sibuk semua” keluhnya dengan kedua tangan memeluk lenganku setengah menggeret memasuki rumahnya yang terletak disamping bangunan sekolah. 

“Maap beb, baru bisa ambil cuti sekarang. Dari kemarin kantorku hectic banget. Aku sampek bela-belain tuh kerja rodi karena Amel bilangnya mau pulang kampung.” Balasku. Aura mengajakku duduk di sofa di depan tv yang terletak di ruang tamunya. Biasanya, setiap ada kesempatan aku dan Amel memang sering menghabiskan liburan di sini untuk bantu-bantu, karena cuma kita yang belum married. Si Aksa_suami Aura juga tidak keberatan dan malah senang karena istrinya memiliki temen ngobrol.

Tak lama kemudian, Amel datang dan berlari heboh menghampiriku lalu memelukku erat. Aku tertawa dibuatnya. Selanjutnya yang kami lakukan adalah menghabiskan waktu dengan bercengkrama dan bercerita banyak hal. Oh iya, setelah lulus SMA, aku melanjutkan pendidikanku di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, dan memilih meneruskan bisnis perusahaan ayahku yang sebelumnya dijalankan oleh om Anto_Asisten kepercayaan ayah. Amel memilih menempuh pendidikan ke Kairo, Mesir dan hingga sekarang tetap tinggal di Kairo untuk melanjutkan pendidikan master-nya. Selain itu, Amel juga menyibukkan diri dengan mengikuti kelompok tour untuk menjadi Guide bagi para pelancong di Mesir atau jemaah haji di Arab Saudi. Sedangkan Aura memilih mengabdikan hidupnya untuk suami hasil perjodohan orang tuanya.

Bagi kami, tak ada yang salah dengan ideologi dan pejalanan hidup yang berbeda. Selama kita bersama dengan satu tujuan sama, maka segala permasalahan pasti ada jalan keluarnya, segala yang terjadi pasti ada hikmahnya. Meski masa lalu kami bisa dikatakan buruk. Namun hal tersebut tak menjadi halangan bagi kami untuk terus berkomitmen dan istiqomah beribadah bersama-sama hingga besok dikembalikan oleh Allah ke Jannah-nya.

Irawati

Share
Published by
Irawati

Recent Posts

Agama dan Sains: Konflik Hingga Integrasi Keilmuan

Dilihat perspektif kesejarahan, agama dan sains mulanya bersahabat, ini pada abad 17 dimana keduanya pertama…

4 bulan ago

Konstruksi Patriarki dalam Ruang Seni

Beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat masyarakat Madura terhadap bidang seni. Peningkatan minat tersebut tidak…

6 bulan ago

Menjelajahi Konsep Kebebasan dalam Neon Genesis Evangelion melalui Lensa Filosofis Jean-Paul Sartre

Neon Genesis Evangelion merupakan salah satu anime yang sangat populer di seluruh dunia, terutama karena…

6 bulan ago

Globalisasi dan Konsekuensi Inferiority Complex

“Bodo amatlah pada standar kesuksesan yang diagungkan oleh society dan media. We Will be something,…

6 bulan ago

Hans Kelsen: Positivisme Hukum, Grundnorm, dan Stufenbau Theory

Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat…

8 bulan ago

Seni Bertahan Hidup ala Victor E. Frankl

Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan,…

8 bulan ago