image by Abby Chung
image by Abby Chung

Tidak bisa dipungkiri bahwa buku menjadi perantara suatu pengetahuan sekaligus sumber pengetahuan itu sendiri. Lewat keterampilan membaca, buku mengisi pikiran. Buku dan membaca tidak mungkin dipisahkan. Jadi, budaya membaca yang kuat menjadi dasar penting bertumbuhnya pikiran dan pengetahuan bangsa.

Di negara dengan budaya membaca tinggi, buku diperlakukan dengan baik dan optimal. Begitu pun sebaliknya, negara yang tak mampu meletakkan buku sebagai pilar utama pengetahuan selalu menjadi negara tertinggal.

Di Finlandia, membawa kantung besar saat ke perpustakaan sudah menjadi hal biasa.  Orang Finlandia tidak pernah dibatasi dalam meminjam buku. Sedangkan di Amerika, pergi ke toko buku tidak harus membeli buku, orang Amerika cukup legal bila sekadar ingin membaca atau menyalin. Seperti Finlandia, perpustakaan di Amerika sangat mudah diakses dan selalu diperbaharui di setiap kota.

Lalu di negara matahari terbit, Jepang. Melihat orang-orang di tempat umum membaca buku sambil berdiri  bukan hal aneh. Orang Jepang selalu menyempatkan membaca buku di mana pun. Selain itu, komoditas buku di sana sejajar dengan komoditas barang konsumsi. Bila ada buku terbitan baru, televisi nasional Jepang mendukung promosi beserta  ulasannya.

Di Jerman, Australia, Singapura, dan negara maju lainnya, buku dan budaya membaca juga tidak kalah baiknya. Mutu buku dan minat baca bagi negara seperti itu sungguh luar biasa. Anehnya, negara-negara seperti Indonesia tidak pernah mencontoh dan memiliki poin penting tersebut.

Kita sebagai bangsa yang berperadaban harusnya merenung sejenak perihal masalah ini. Kita sebagai bangsa agaknya gagal memahami betapa fundamentalnya buku dan keterampilan membaca. Walaupun amanat konstitusi jelas mengatakan “mencerdaskan kehidupan bangsa”,  nyatanya hingga era 4.0 implementasi perihal itu tak kunjung jelas dan keteteran.

Kita bisa bangga dengan jumlah perpustakaan Indonesia yang jadi terbanyak kedua di dunia setelah India. Tetapi, kita juga harus sadar, dari jumlah tersebut berapa yang efektif dan berkualitas.

Di kelurahan tempat saya tinggal, hampir setiap RW memiliki ruang perpustakaan. Cuma, saya tidak pernah melihat ada kualitas di dalamnya. Baik dari segi bacaan, pelayanan, dan pengonsepan literasi. Kita juga sering mejumpai perpustakaan di taman-taman dan instansi publik, tetapi itu lebih mirip tempat kosong yang tak terawat ketimbang tempat perantara pengetahuan.

Jelas sangat tidak logis membicarakan kemajuan bangsa bila buku dan keterampilan membaca hanyalah kebutuhan tersier paling akhir. Kita bisa melihat sama-sama, bagaimana para penerbit tak berdaya dengan pembajakan, kampus-kampur masih sibuk dengan akreditasi, lalu sekolah-sekolah masih sibuk dengan kesejahteraan guru. Elemen-elemen yang seharusnya menjunjung tinggi perbukuan dan dunia baca tulis itu, nyatanya tidak mampu berbuat banyak.

Sosok dan Apresiasi

Bila ingin benar-benar memulai perubahan yang besar dalam dunia perpustakaan dan literasi, maka hal-hal yang dianggap fundamental seperti pembaruan kebijakan, pembentukan gerakan, pengadaan seminar, dan pengadaan lomba tidak akan pernah cukup. Butuh lompatan besar yang mengakar, jelas, dan berkelanjutan.

Membuat lompatan tersebut bukanlah hal yang mudah, tetapi hal itu harus segera dimulai. Kita bisa mulai dengan menghadirkan sebuah sosok (citra) yang memiliki kekuatan dan pengaruh. Sosok dalam hal ini bukan hanya duta literasi. Minimal ialah mereka yang memunyai narasi besar dan kekuatan dalam memengaruhi.

Indonesia sudah memulai dalam poin ini dengan menunjuk Najwa Shihab sebagai Duta Baca Nasional. Tapi agaknya hal itu kurang optimal. Najwa lebih dikenal masyarakat sebagai pembawa acara politik ketimbang duta baca itu sendiri. Kita butuh yang lebih banyak, yang lebih besar, yang berkelanjutan, dan fokus.

Setelah sosok (citra) itu diperoleh, pengapresiasian harus menjadi penyeimbangnya. Wadah apresiasi itu harus disediakan secara tepat dan menyeluruh. Bukan melalui lomba, seminar, dan gedung perpustakaan baru. Hal seperti itu mudah lenyap dan hilang. Kita butuh lompatan besar.

Manusia dewasa ini membutuhkan motivasi bersifat menguntungkan. Keuntungan nyata selalu menjadi timbang pikir mereka. Entah itu berupa keuntungan citra atau materi, manusia hari ini butuh itu. Kita bisa coba masuk ke dalam poin ini.

Pemerintah harus benar-benar memiliki konsep utuh, jelas, dan terarah. Jangan sampai dalam kebijakan dan narasi terselip kontradiktif dan tumpang tindih. Rakyatnya disuruh membaca, tetapi pembajakan buku dilanggengkan, bacaan dibatasi, dan buku-buku digeledah. Kasus seperti itu masih sangat menjamur. Jadi jangan heran bila rakyat berpikir bahwa membaca sangat susah dan tidak menguntungkan sama sekali.

Contoh lain yang lebih menjamur justru di dunia pendidikan. Ada siswa yang gemar membaca, tapi perpustakaan di sekolahnya tidak mendukung. Bahan bacaannya monoton, tidak sesuai dengan narasi pengujian sekolah. Selain itu ruangan perpustakaannya kotor dan tempatnya terpencil di ujung lorong. Di sisi lain, guru-guru di sekolahnya juga malas membaca dan rendah minat literasi. Model pengahapalan soal atau materi menjadi konsumsi belajar. Pada waktu yang lain, siswa berprestasi dan istimewa adalah mereka yang pandai berhitung rumus. Saat ujian pun, soal yang diujikan tidak berkait dengan literasi. Ini konsep atau keadaan yang aneh, membingungkan, dan merugikan. Siswa jadi ragu dengan kegunaan membaca itu sendiri, akhirnya membaca menjadi kebutuhan tersier paling akhir yang seperti selama ini terjadi. Dan perpustaakan menjadi tempat paling akhir setelah kamar mandi.

Semua orang pada akhirnya akan berpikir realistis, mending saya berjoged di tiktok ketimbang membaca buku. Karena berjoged di tiktok, memberinya citra (dikenal) dan apresiasi (iklan) yang nyata. Menjadi content creator lebih realistis ditempuh ketimbang menghargai buku dan membaca. Karena kita sebagai bangsa masih gagal membuat narasi besar membaca beserta kebijakan yang apresiatif.

* Guru Swasta sekaligus pedagang terang bulan. Lahir di Kota Pahlawan 29 April 1993. Crafter di Algallery Surabaya. Telah menerbitkan antologi cerpen Bau Badan yang Dilarang (2018). Instagram @suaraalfian47.