image by alis.alberta.ca
image by alis.alberta.ca

Menurut organisasi profesi kearsipan Internasional Council on Archives (ICA,1998)  menyebutkan bahwa arsip adalah “informasi yang terekam dalam media  apa pun yang diterima, dibuat dan dikelola oleh suatu badan, lembaga, organisasi atau individu dalam rangka pelaksanaan kegiatan atau kewajiban hukumnya”.  Sedangkan menurut ISO 15489 dan SNI, arsip adalah “information created, received, and maintained as evidence and information by an organization or person, in pursuance of legal obligation or in the transaction”.

Di Indonesia, pengertian arsip secara resmi tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 43 tahun 2009. “Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai  bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat  dan diterima oleh  lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.

Dalam pandangan umum di masyarakat, terdapat terminologi umum tentang arsip yang memiliki 2 (dua) sudut pandang. Pandangan negatif menganggap arsip adalah tumpukan kertas yang sudah tidak terpakai, yang menggunung dalam gudang, yang boleh dijual di tempat penjualan barang-barang bekas, sedangkan dalam pandangan positif; arsip dimaknai sebagai rekaman informasi yang berharga  merupakan bukti penyelenggaraan organisasi.

Dalam buku Archival silences; missing, losd and, uncreated archives (edited by michael Moss and David Thomas);  “ …’the archive’ is endowed with a capital “A,” is figurative, and leads elsewhere. It may represent neither material site nor a set of documents. Rather it may as a strong metaphor for any corpus of selective forgettings and collections,”. Foucault juga berpendapat bahwa “ Foucault [in his Archaeology of Knowledge) provocatively warned [that) the archive is neither the sum of all texts that a culture preserves nor those institutions that allow for that record and preservation sedangkan Blouin berpendapat, “ Blouin and others challenged archivists with the “need to become more self-aware of our role as mediators . . . between records creators and records repositories, between archives and users, between conceptions of the past and extant documentation

Ditinjau dari beberapa terminologi arsip, sebenarnya arsip memiliki peluang untuk memberikan manfaat besar pada bidang dan profesi lain, sekaligus bisa memperbaiki terminologi negatif yang selama ini beredar di tengah masyarakat.

Permasalahan dan Peran  Arsiparis Referens

Arsiparis adalah orang yang melakukan kegiatan pengelolaan terhadap arsip. Di Indonesia, arsiparis memiliki tugas dan fungsi dalam melakukan preservasi arsip sesuai dengan Peraturan Pemerintah  Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Sumber Daya Manusia (SDM) kearsipan, dalam hal ini arsiparis dan pengelola arsip adalah penanggung jawab pengelolaan arsip,  tentu menjadi unsur paling dominan dalam bidang kearsipan. Pandangan dan pengakuan pada bidang kearsipan merupakan representasi SDM kearsipan. Selain persoalan penerapan manajemen kearsipan, salah satu masalah yang dihadapi SDM kearsipan adalah pengakuan dan penghargaan atas profesi kearsipan.

Profesi kearsipan masih dianggap sebagai pekerjaan yang tidak popular, pekerjaan yang tidak bergengsi, kurang mendapat apresiasi, serta profesi yang dienggani. Pada lembaga pemerintahan banyak yang menganggap bahwa profesi arsiparis merupakan profesi buangan (Kurniatun : 2014). Penempatan SDM pada bidang kearsipan dianggap hanya bagi pegawai yang kurang kompeten. Anna Nunuk Nuryani (2014) dalam penelitiannya mengenai Persepsi Pejabat Struktural terhadap Pelaksanaan Tata Kearsipan di Pemerintah Daerah DIY menyatakan bahwa seluruh pejabat struktural mengatakan bahwa arsip sangat penting, namun dalam penempatan pegawai, sangat jarang seseorang yang berpendidikan tinggi, terampil dan cekatan, jujur, dan berkemampuan ditempatkan di unit kearsipan. Porsi perhatian bagi perbaikan-perbaikan di bidang kearsipan relatif masih terkesan sangat kecil.

Tidak dapat dipungkiri bahwa penghargaan atas bidang kearsipan masih sangat rendah. Hampir dalam setiap kesempatan pendidikan dan pelatihan maupun seminar bidang kearsipan, persoalan klasik selalu muncul, yakni seputar tidak diperhatikannya bidang kearsipan oleh suatu instansi atau organisasi, rendahnya apresiasi pimpinan terhadap bidang kearsipan, pengelola arsip dipandang tak lebih dari sekedar “pemulung kertas”, serta institusi kearsipan yang dianggap sebagai “tempat rehabilitasi” pegawai bermasalah. (Aryni Ayu : 2012).

Rizky Ardian Pratama (2017) dalam kajiannya “Persepsi Pengelola Arsip Terhadap Jabatan Fungsional Arsiparis (Studi Deskritif Tentang Persepsi Pengelola Arsip Terhadap Jabatan Fungsional Arsiparis di Badan Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur)”, menemukan bahwa pengelola arsip memiliki persepsi yang baik terhadap pendidikan fungsional arsiparis, namun masih cukup kurang pada peran serta kegiatan ilmiah dan menemukan teknologi tepat guna bidang kearsipan.

Selanjutnya Wisudowati Ayu Sugito (2018) dalam penelitian “Profesi Kearsipan : Antara Pengakuan dan Integritas (Studi Kasus Pada Diplomatika)” menyampaikan salah satu kesimpulannya yaitu motivasi sebagaian besar pegawai yang memilih profesi kearsipan melalui inpassing dikarenakan prosedur persyaratan inpassing yang relatif lebih mudah, kenaikan kelas jabatan sehingga menaikan tunjangan kinerja dan tunjangan profesi, penempatan sejak awal pada bidang kearsipan, dan kenaikan golongan dan pangkat dengan keterbatasan pendidikan.

Masalah lama yang selalu menjadi topik pembicaraan, sebagaimana terdapat dalam beberapa penelitian di atas secara garis besar adalah rendahnya pengakuan terhadap profesi kearsipan karena arsiparis masih dianggap pekerjaan yang tidak popular, walaupun sudah ada pengakuan tentang pentingnya arsip, namun tidak diikuti dengan kebijakan untuk menempatkan SDM yang berkualitas di bidang kerasipan. Ditambah dengan permasalahan yang terjadi pada internal arsiparis terkait motivasi dalam memandang pekerjaan, masih sebatas pengakuan profesi dan kepentingan untuk memperoleh kesejahteraan.

Di Indonesia, pengakuan terhadap profesi arsiparis  sebenarnya sudah ditindaklanjuti oleh Badan  Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan yang merupakan lompatan besar bagi dunia kearsipan di Indonesia. Undang-undang ini memberi pesan komprehensif untuk dapat mendorong agar seluruh komponen bangsa mulai dari unsur birokrasi, organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan sampai dengan masyarakat luas dapat menghargai dan memperhatikan bidang kearsipan yang selama ini masih dipandang sebelah mata.

Melengkapi peraturan perundang-undangan tersebut, dalam bidang SDM kearsipan, ANRI juga menerbitkan Peraturan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengangkatan PNS dalam Jabatan Fungsional Arsiparis melalui Penyesuaian Inpassing guna menjaring dan memberikan kesempatan kepada PNS yang berminat terjun pada bidang kearsipan.   Namun kembali lagi, persoalan utama terletak pada persepsi arsiparis pada peran mereka dalam bidang kearsipan untuk memenuhi kebutuhan pengguna arsip, diperlukan  perubahan persepsi tentang arsip dan peran arsiparis.

Tugas pokok arsiparis adalah melaksanakaan kegiatan pengelolaan arsip dan pembinaan kearsipan, pembuatan petunjuk kearsipan, pengolahan arsip, layanan kearsipan, publikasi kearsipan, pengkajian dan pengembangan kearsipan, pembinaan dan pengawasan kearsipan (Kemenpan Nomor 09/KEP/M.PAN/2002). Jika kita tinjau dari tugas pokok arsiparis ini, maka kita memerlukan pandangan yang berbeda tentang peran arsiparis agar bisa menjawab kebutuhan pengguna arsip. Arsiparis bukanlah barang antik dan unik yang harus disembunyikan dan diabadikan. kemudian terkungkung pada anggapan atau persepsi sebagian masyarakat tentang “kebisuan” dalam suatu ruang sunyi penuh kebekuan. Sudah saatnya arsiparis keluar dari tuduhan menyakitkan sebagian masyarakat tentang tidak populernya seorang arsiparis.

Arsiparis harus mampu berperan bukan hanya sekedar deskripsi arsip, namun bisa juga berperan sebagai peneliti, sejarawan atau analisis demi kepentingan strategis lembaga/instansi tempat para arsiparis bekerja. Sebenarnya telah banyak hal diusahakan oleh pemerintah, misal dengan menetapkan Undang-Undang  RI tentang Kearsipan Nomor 43 Tahun 2009, bahkan telah pula mengeluarkan dan memberikan ruang jenjang karir bagi pustakawan dan orang-orang yang ingin menjadi pustakawan dengan program infassing.

Namun hal ini nampaknya tidak cukup. Karena perubahan peran arsiparis ini bukan hanya soal eksistensi dan kesejahteraan. Tapi lebih dari itu adalah soal peran yang bermanfaat optimal bagi cabang kehidupan lain dan ilmu lainnya. Tentu bukan dengan berpindah profesi ke profesi yang lebih menjanjikan. Melainkan upaya meningkatkan kompetensi atau kualitas arsiparis dalam banyak multi kompetensi. Misal; kecakapan (skill) dalam melayani, public speaking, performance, dan paling penting sebagai mediator untuk terlibat dalam keputusan pihak-pihak keilmuan lainnya dalam proses pengambilan keputusan bidang lain. Misal; peran mediasi dalam kesuksesan penelitian seorang akademisi.

Arsiparis bisa berperan sebagai arsiparis referens yang tugasnya bisa sebagai konsultan atau partner peneliti sehingga bisa menjadi mediator dalam kesuksesan pengguna arsip. Untuk menjadi arsiparis referens tentu banyak faktor yang harus ditingkatkan. Namun yang paling utama adalah motivasi dari seorang arsiparis referensi;  jangan hanya sebatas keingin mencari materi, namun lebih memiliki motivasi untuk sosial motive; menebar kebaikan, memfasilitasi dan memediasi orang-orang yang memerlukan catatan-catatan atau informasi masa lalu terkait arsip  dalam bidang masing-masing.

Diperlukan perubahan paradigma berpikir bagi seorang arsiparis. Sebab salah satu cara agar cara pandang seseorang kepada arsiparis berubah adalah meyakinkan dan memberikan bukti bahwa arsiparis memiliki kedudukan penting dan memberi manfaat kepada pengguna arsip, khususnya peneliti. Adapun tugas arsiparis referens yang memungkinkan untuk dilakukan, antara lain : 1). Memilihkan sumber rujukan yang lebih tepat untuk pengguna arsip, 2). Memberikan pengarahan kepada pengguna arsip untuk memperluas wawasan mereka mengenai subjek maupun topik tertentuyang diperlukan dan 3). Mendayagunakan sumber informasi maupun teknologi informasi yang tersedia di arsip .

Urgensi Subject Specialist Arsiparis

Tantangan dan peluang bagi arsiparis untuk memberikan pelayanan di luar dari deskripsi arsip yang selama ini berlaku, memerlukan perubahan persepsi bagi para arsiparis. Namun ini bukanlah perkara mudah, sebab memenuhi dan menyesuaikan dengan kebutuhan pengguna arsip, misal berperan sebagai konsultan, partner peneliti dan menjadi mediator bagi pengguna arsip yang beragam memerlukan skill yang harus mumpuni.

Oleh karena itu, sudah saatnya kearsipan memerlukan peran spesialis, seperti spesialisasi subjek (subject specialist).  Subject specialist  ini akan sangat membantu arsiparis untuk memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna arsip. Penting bagi pemerintah untuk segera membuat regulasi atau kebijakan berkenaan dengan pengadaan subject specialist  bidang kearsipan. Bisa dimulai dengan mengadakan sosialisasi, mengadakan pendidikan dan pelatihan kepada arsiparis yang berkeinginan untuk menjadi subject specialist arsiparis. Untuk jangka menengah dan jangka panjang, pemerintah sudah harus merencanakan untuk bekerjasama dengan Perguruan Tinggi atau Sekolah tinggi untuk membuka jurusan subject specialist bagi para arsiparis.

Sumber Bacaan :

  • Archival silences; missing, losd and, uncreated archives (edited by michael Moss and David Thomas)
  • Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan
  • Kemenpan Nomor 09/KEP/M.PAN/2002 tentang tuga arsiparis.
  • Wisudowati Ayu Sugito. (2018). Artikel Profesi Kearsipan: Antara pengakuan dan integritas (studi kasus pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral)
  • Margaret Hedstrom. Archives, memory, and interface with the past. Sekolah Informasi, Universitas Michigan, Ann Arbor MI 48109-1092 USA ( E-mail: hedstrom@umich.edu)
  • Role of public archivists in post-apartheid South Africa_passive custodians or proactive narrators

About The Author