Anak pada umumnya adalah sebuah karunia dari Tuhan yang sangat diimpikan oleh sebagian besar pasangan pernikahan. Keberadaan anak dalam sebuah keluarga memberikan harapan bagi setiap pasangan dalam mengembangkan pernikahan yang positif dan terhindar dari konflik berkepanjangan. Sebaliknya, ketidakhadiran anak dalam sebuah keluarga karena faktor yang tidak disengaja seperti infertilitas (ketidaksuburan) menjadi hambatan bagi pasangan dan berpotensi menimbulkan dampak-dampak psikologis seperti depresi, kecemasan, dan distress (Rooney & Domar, 2018).
Terbaru, faktor psikologis tidak hanya menjadi dampak dari kondisi infertilitas yang dialami oleh pasangan, namun juga bisa menjadi penyebab dari infertilitas itu sendiri pada pasangan (Szkodziak, Krzyżanowski & Szkodziak, 2020). Dibandingkan laki-laki, perempuan pada umumnya lebih rentan memiliki masalah kesehatan, cemas, depresi, dan kesedihan yang mendalam ketika mereka tidak dikaruniai sang buah hati (Lechner, Bolman & van Dalen, 2007).
Meski demikian, pasangan pernikahan yang tidak memiliki anak juga bisa merasakan kebahagiaan dengan kondisi yang dialaminya tersebut, terutama pada sebagian masyarakat Indonesia (Aryeni, 2020; Iskandar, Kasim & Halim, 2019; Lestari & Suprapti, 2018; Patnani, Takwin & Mansoer, 2021). Hal ini bisa mereka lakukan dengan cara mengembangkan emosi positif pasangan yang didapat dari dukungan keluarga dan faktor spiritual (Lestari & Suprapti, 2018).
Di samping keberadaan anak yang sangat diharapkan oleh sebagian besar pasangan pernikahan, namun terdapat pula sebagian pasangan pernikahan yang memilih untuk tidak memiliki anak dengan sengaja dan terencana, atau biasa dikenal dengan “childfree” atau “voluntary childlessness”. Akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah childfree dari beberapa platform media sosial maupun portal berita online. Istilah ini mungkin bagi sebagian dari kita masih terdengar asing, dan bahkan bisa dianggap sebagai fenomena baru di Indonesia. Padahal fenomena ini sebelumnya sudah ada, dan mulai booming lagi pasca salah satu influencer mempublikasikan keputusannya dengan sang suami untuk memilih tidak mempunyai anak di media sosial miliknya.
Selain childfree, sebagian dari kita mungkin juga pernah mendengar istilah yang hampir mirip, yakni “childless” atau “involuntary childlessness”. Namun perlu diketahui, meskipun keduanya sama-sama dengan kondisi tidak memiliki anak, namun terdapat perbedaan tertentu antara keduanya. Childfree adalah suatu kondisi dimana mereka memiliki pilihan untuk memiliki anak namun mereka lebih memilih untuk tidak memilikinya. Sedangkan childless lebih pada kondisi tidak memiliki anak karena tidak punya pilihan untuk memilikinya, biasanya disebabkan oleh faktor-faktor tertentu seperti keturunan dan biologis. Terkadang kita dibuat rancu dengan kedua istilah tersebut, meski childfree lebih sering diperbincangkan akhir-akhir ini daripada childless.
Sebelum booming di Indonesia, keputusan untuk childfree sejatinya sudah banyak terjadi pada sebagian perempuan di barat, terutama di Amerika. Angka kelahiran di Amerika mengalami penurunan dalam jangka waktu 40 tahun terakhir (Blackstone, 2014). Selain itu, hasil survey dari “Current Population Survey” pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 19,1% perempuan kulit putih, 17,2% perempuan kulit hitam, dan 15,9% perempuan Asia dengan usia 40-44 tahun di Amerika tidak memiliki anak. Jumlah ini cukup tinggi jika melibatkan perempuan yang sudah menikah dan sudah berusia 40 tahun ke atas.
Alasan memilih untuk tidak memiliki anak
Memilih untuk tidak memiliki anak tentu bukan perkara mudah. Perlu beberapa pertimbangan yang matang sebelum memutuskan untuk childfree, dan alasan tersebut cukup bervariasi. Keputusan untuk tidak memiliki anak bisa disebabkan oleh faktor traumatis yang terjadi di masa lalu, dimana beberapa dari mereka pernah menjadi saksi dan korban dari kekerasan di waktu silam. Mereka tidak mau pola kekerasan (khususnya terhadap anak) berlanjut dan mereka ingin memutus siklus dehumanisasi ini agar tidak terjadi jika mereka merawat anak kelak. Perempuan-perempuan ini tidak ingin anak yang dilahirkannya kelak mengalami apa yang pernah dialami atau dilihatnya di masa lalu (Doyle, Pooley & Breen, 2012).
Alasan lain untuk terlibat dalam keputusan memilih untuk childfree ini juga dilatari oleh faktor ketidaksiapan. Hal ini berkaitan dengan perasaan yang menganggap dirinya belum sepenuhnya dewasa secara emosional dan merasa tidak memiliki bakat dan keterampilan dalam pengasuhan anak (Doyle, Pooley & Breen, 2012). Dalam kasus ini, mereka merasa masih terlalu muda untuk memiliki anak dan kurang yakin bisa memberikan terbaik bagi anaknya setelah melahirkan. Pemikiran seperti ini dilandasi dari kesadaran bahwa merawat anak bukan tugas yang main-main, namun juga harus mengorbankan waktu, energi, dan tanggung jawab yang besar.
Selain itu, mereka yang memilih untuk tidak memiliki anak pada umumnya karena sudah terlalu nyaman dengan aktivitas dan kesibukan mereka. Selain itu, mereka juga mengisi kehidupannya dengan lebih fokus pada karir dan pencapaian akademik. Namun ada juga yang disebabkan faktor keuangan yang tidak cukup jika sambil membiayai anak (Bimha & Chadwick, 2016; Veevers, 1980), dan merasa tidak memiliki pasangan yang cocok dalam hal pengasuhan (Bimha & Chadwick, 2016).
Kesadaran akan kebebasan, bahwa setiap manusia memiliki kebebasan dalam menentukan hidupnya sendiri juga berkontribusi pada keputusan seseorang untuk memilih tidak mempunyai anak (May, 1995; Veevers, 1980). Keputusan tersebut mereka anggap sebagai bagian dari pilihan hidup, dimana mereka bebas menentukan pilihan dan berekspresi. Semua itu sudah menjadi pilihan hidup mereka, dan tentunya dengan konsekuensi yang disadari pula (Doyle, Pooley & Breen, 2012).
Memilih untuk childfree tidak hanya bisa terjadi dan dilakukan oleh kalangan perempuan seperti yang terdapat di banyak fenomena dan literatur yang ada, namun laki-laki juga ada yang memilih kondisi ini. Kedua identitas gender ini bisa sama-sama memilih untuk tidak punya anak, meskipun alasan yang melatarinya berbeda. Pada kebanyakan kasus, perempuan memilih untuk tidak memiliki anak karena ingin mengembangkan karir dan mencapai kesuksesan di bidang akademik, sedangkan laki-laki lebih pada faktor ekonomi. Menurutnya, keputusan untuk tidak memiliki anak merupakan pilihan yang tepat di samping tingginya biaya dalam merawat dan membesarkan anak (Blackstone, 2014).
Stigma Sosial dan Kepuasan Hidup
Pilihan untuk childfree tidak selamanya membuat pasangan merasa tenang. Pasalnya, tidak jarang pilihannya tersebut tidak diindahkan secara sosial. Tidak semua lingkungan sepakat dengan pilihannya, bahkan, mereka cenderung memperoleh stigma negatif karena pilihannya dianggap tidak sesuai norma sosial yang berlaku (Morison, dkk, 2016).
Riset dari Doyle, Pooley & Breen (2012) mengungkapkan bahwa partisipan yang memilih untuk tidak memiliki anak memperoleh sanksi sosial dan dianggap tidak memiliki identitas perempuan sama sekali sebelum mereka punya anak. Artinya, lingkungan sosial telah tertanam pola pikir bahwa setiap perempuan pasti dan akan selalu punya anak. Seseorang yang memutuskan untuk tidak memiliki anak juga cenderung mendapatkan stereotip negatif dan tekanan sosial dari lingkungan (Park, 2002).
Dalam konstruksi pola pikir masyarakat Indonesia, perempuan selalu identik dengan keibuan. Artinya, perempuan yang tidak memiliki anak pada umumnya dirasa kurang lengkap tanpa kehadiran seorang anak dan dianggap gagal dalam mencapai peran sosial sebagai ibu dalam keluarga (Bennett, 2012). Oleh sebab itu, stigma sosial dari lingkungan sekitar terhadap perempuan atau pasangan yang tidak memiliki anak masih cukup tinggi.
Meski demikian, banyak dari mereka yang tidak menyesal atas pilihannya tersebut. Mereka merasa pilihannya sudah tepat dan telah melalui pertimbangan yang cukup matang. Ada kepuasan tersendiri dalam benak mereka. Mereka merasa dirinya sama seperti perempuan pada umumnya, namun yang membedakan adalah perihal kepemilikan anak. Perempuan pada umumnya mungkin merasa bahwa anak merupakan unsur yang tidak boleh dipisahkan dari kehidupan perempuan, namun mereka tidak (Doyle, Pooley & Breen, 2012).
Di samping anggapan miring tentang childfree, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang childfree mungkin memiliki lebih banyak waktu dan motivasi untuk berkontribusi pada kelompok mereka secara sukarela. Mereka juga banyak yang berkontribusi terhadap lingkungan sekitar dengan menjadi mentor, guru, konselor, dan teman bermain bagi anak-anak lain. Dan yang terpenting, mereka merasa puas dan bahagia dalam menjalani kehidupan (Blackstone, 2014).
Dari Ruang Privat Menuju Gerakan Sosial
Fenomena childfree pada awalnya hanya sebuah pilihan yang terjadi dalam ruang privat keluarga dan tidak untuk dipublikasikan menjadi konsumsi publik. Mereka melakukan hal tersebut hanya dalam lingkungan keluarga yang tertutup. Artinya, hanya keluarga saja yang tahu dan memahami keputusan yang dipilihnya. Namun pada kenyataannya, pilihan untuk childfree semakin meluas dan membentuk sebuah komunitas dengan melibatkan mereka yang memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree.
Seperti dikutip dari laman resmi International Child Free Day, pada bulan Agustus 1973, organisasi bernama National Organization for Non-Parents (NON) merayakan hari “Non-Parents Day”. Perayaan ini sempat dimuat di New York Times dengan judul “A King and a Queen, but There Are No Princes or Princesses in Sight”. Momen tersebut merupakan perayaan pertama tentang pengakuan atas orang-orang yang bebas anak dan kehidupan mereka. Perayaan ini sempat meredup dan muncul kembali pada 1 Agustus 2013 yang dipelopori oleh Laura Carroll beserta pada aktivis childfree lainnya. Dalam perjalanannya, nama perayaan ini diganti menjadi “Hari Bebas Anak Internasional” dan berfungsi untuk mendorong dan mempromosikan penerimaan dari pilihan seseorang untuk tidak memiliki anak.
Dari ruang privat itu pula, seseorang dengan pilihan yang sama untuk tidak memiliki anak kemudian juga berkembang menjadi komunitas online yang mulai meningkat dari waktu ke waktu dan dari satu wilayah ke wilayah lain. Komunitas ini kemudian menciptakan pola penyatuan antar satu sama lain dalam minat yang sama, yakni kebebasan diri untuk tidak memiliki anak.
Fenomena childfree saat ini sudah menjadi tren dan gaya hidup yang semakin meningkat dari waktu ke waktu di berbagai negara, terutama Indonesia. Tak hanya menjadi konsumsi personal dalam ruang privat keluarga, mereka yang memilih untuk childfree sudah menunjukkan identitas mereka ke ruang publik dengan terbentuknya kelompok dan komunitas online yang diproyeksi dapat mengkampanyekan untuk menghargai dan mengutuk segala bentuk stigmatisasi terhadap mereka yang memutuskan untuk tidak memiliki anak dengan sukarela.
Sumber:
Aryeni, D. N. (2020). Keharmonisan keluarga tanpa sang buah hati (Studi fenomenologi pasangan suami-istri dalam keluarga kontemporer di kota bandung). Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Bennett, L. R. (2012). Infertility, womanhood and motherhood in contemporary Indonesia: Understanding gender discrimination in the realm of biomedical fertility care. Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific, 1(28).
Bimha, P. Z. J., & Chadwick, R. (2016). Making the childfree choice: Perspectives of women living in South Africa. Journal of Psychology in Africa, 26(5), 449–456. DOI :10.1080/14330237.2016.1208952
Blackstone, A. (2014). Childless… or Childfree? Contexts, 13(4), 68–70. DOI: 10.1177/1536504214558221
Doyle, J., Pooley, J. A., & Breen, L. (2012). A phenomenological exploration of the childfree choice in a sample of australian women. Journal of Health Psychology, 18(3), 397–407. DOI: 10.1177/1359105312444647
Iskandar, A. M., Kasim, H., & Halim, H. (2019). The childless couple efforts to harmonize their marital relationships. Society, 7(2), 135-149. DOI: 10.33019/society.v7i2.100
Lechner, L., Bolman, C., & van Dalen, A. (2007). Definite involuntary childlessness: Associations between coping, social support and psychological distress. Human Reproduction, 22(1), 288–294. DOI: 10.1093/humrep/del327
Lestari, B. D., & Suprapti, V. (2018). Proses pencapaian happiness pada pasangan suami dan istri yang mengalami involuntary childless. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 7, 56-64.
May, E. T. (1995). Barren in the promised land: Childless americans and the pursuit of happiness. Harvard University Press.
Morison, T., Macleod, C., Lynch, I., Mijas, M., & Shivakumar, S. T. (2016). Stigma resistance in online childfree communities: The limitations of choice rhetoric. Psychology of Women Quarterly, 40(2), 184-198. DOI: 10.1177/0361684315603657
Park, K. (2002). Stigma management among the voluntarily childless. Sociological Perspectives, 45(1), 21–45. DOI: 10.1525/sop.2002.45.1.21
Patnani, M., Takwin, B., & Mansoer, W. W. (2021). Bahagia tanpa anak? Arti penting anak bagi involuntary childless. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 9(1), 117-129. Doi: 10.22219/jipt.v9i1.14260
Rooney, K. L., & Domar, A. D. (2018). The relationship between stress and infertility. Dialogues in Clinical Neuroscience, 20(1), 41–47. DOI: 10.31887/DCNS.2018.20.1/klrooney
Szkodziak, F., Krzyżanowski, J., & Szkodziak, P. (2020). Psychological aspects of infertility. A systematic review. Journal of International Medical Research. 48(6). DOI: 10.1177/0300060520932403
Veevers, J. E. (1980). Childless by choice. Butterworths.