Categories: PolitikSosial

Suaraku Dieksploitasi Oligarki (Sebuah Paradoks Kebebasan Berpendapat)

Indonesia merupakan negara kepulauan dan menjadikannya sebagai salah satu negara dengan kekuatan maritim terbesar di dunia. Sebuah negara dengan wilayah yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke, yang kaya akan flora dan faunanya. Di samping itu, Indonesia cukup beragam dengan kemajekukannya, memiliki karakter masyarakat pluralis perbedaan perbedaan suku, budaya, ras, dan agama. Ini semua merupakan kekayaan dan anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada Indonesia. Keberagaman ini semuanya diikat dalam sebuah rumpun persatuan Indonesia yang bernama “Bhinneka Tunggal Ika”.

Di umurnya yang hampir satu abad ini, Indonesia masih giat dan berkomitmen dalam mengontruksi infrastruktur-infrastruktur pembangunan negara sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Di samping itu, selalu terdapat dinamika dan problematika pada masing-masing kepala negara (Presiden) berupa tantangan dan permasalahannya tersendiri dalam proses pembangunan negara.

Meskipun Indonesia merupakan negara dengan mayoritas umat muslim, hukum bernegara dan berbangsa dalam menjalanjakan aktivitas kenegaraan di Indonesia tidak menjadikannya sebagai suatu negara yang berasaskan Negara Islam. Melalui sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 agustus 1945, Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara dan sekaligus pengesahan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dengan melihat kondisi Indonesia yang bercorak keberagaman.

Sebagai nilai (value) filosofis dan dasar ideologis dalam setiap aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara, pancasila dan UUD 1945 merupakan orientasi hidup masyarakat yang adil dan makmur dengan dijaminnya Hak-hak Asasi Manusia (HAM) sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Pancasila sebagai sumber nilai.

Namun faktanya, jaminan dan perlindungan hak-hak asasi di negera demokrasi ini mengalami disorientasi pemaknaan dan aktualisasi dari amanat-amanat yang ada di dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan butir-butir Pancasila. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM seperti kebebasan berpendapat (freedom of speech) di Indonesia begitu marak. Banyak lagi konflik-polemik akhir-akhir ini yang muncul di publik akibat dari gaya pemerintahan yang otorier, phobia atas kritikan terhadap kinerja pemerintah dalam membangun infrastruktur negara ataukah membangun kekayan pribadi dan kolega?

Bagaimana tidak, kasus perkasus penyalahgunaan dana yang dikucurkan untuk kalangan yang membutuhkan di era pandemi ini menjadi persoalan pelik bangsa dan akhirnya bisa berpotensi menimbulkan suatu mosi kolektif ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah yang mengelola dana. Belum lagi kasus-kasus lain seperti pada sector Agraria dan lainnya.

Hal ini menjadi keluhan masyarakat secara umum dengan menyatakan pikirannya atas ketidak puasannya kepada kinerja pemerintah yang tidak pro kepada keadilan dan kemakmuran rakyat. Menyampaikan pikiran adalah salah satu bentuk hak asasi yang dijamin oleh Undang-undang 1945, yakni hak untuk berpendapat, menyatakan pikiran dan berserikat (UUD 1945 pasal 28 E, F). Namun, bagaimana dengan penerapannya di lapangan dalam hidup berbangsa dan bernegara?

Kebebasan berpendapat di negeri ini yang bentuknya mengkritisi kinerja pemerintah, seakan menjadi sebuah anomali yang menghambat akselerasi pembangunan. Jika dilihat dalam aspirasi yang disampaikan itu berdasarkan data dan lapangan sesuai yang terjadi dan dialami masyarakat. Sikap kritis (critical attitude) seperti ini sangat dibutuhkan oleh pemerintah seharusnya jika pemerintah mendengar dan melihat menggunakan nuraninya, akan terlihat bahwa ini semua sifatnya upaya dalam mengontruksi. Namun pada akhirnya semua yang mengkritik berujung dipanggil dan dilaporkan (dibungkam suaranya).

Sifat “baper” pemerintah saat mendapat kritikan berujung pada pelaporan dan sampai di penjara. Sungguh kelakuan seperti ini memilukan di negara yang berlabel demokrasi. Indonesia sebagai negara yang berasaskan demokrasi pancasila, menjamin setiap warga negaranya hidup dengan aman dan rukun. Nilai-nilai pancasila dan amanat Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) hanya semacam sebuah simbol atau atribut yang tertulis secara konseptual tanpa memiliki nilai-nilai spiritual dan ruh kehidupan dalam bernegara.

Stereotipikal masyarakat terhadap pemerintah di negara yang menganut sistem demokrasi ini bukan hal yang dianggap tabu dan bukan sekali ini saja. Banyak kasus pembungkaman terhadap pemikiran kritis mahasiswa-mahasiswa yang disuarakan dan akhirnya berakhir di balik jeruji besi dan hilang. Hilang kemana?

Bukankah ini sebuah paradoksal? Hal yang tidak masuk akal yang muncul dari sejumlah premis yang kebenarannya diakui tetapi bertolak belakang dari suatu pernyataan. Seperti pada teori Kidnapper paradox, suatu hal yang membingungkan, tetapi lebih membingungkan lagi konsep demokrasi di negeri yang menerapkannya. Kesemrawutan sistem demokrasi di Indonesia tidak mampu mengontekstualisasikan dan mempribumisasikan dalam gerak aktualisasi akibat adanya kepentingan pribadi dan kroni, sehingga suara kritis dianggap bising dan perlu dieksploitasi.

Akankah keadaan ini kita langgengkan secara skeptis tanpa adanya presure yang ditujukan kepada pemerintah untuk membenahi sistem ini. Penting untuk kita sadari secara kolektif bahwa Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan pancasila sebagai payung yang menyatukan keberagaman dan menegaskan komitmennya terhadap perwujudan keadilan sosial.

Perlu rasa solidaritas kita untuk menjunjung tinggi semangat kesatuan, kebersamaan, kepedulian dan kepekaan sosial dalam hal amar ma’ruf nahi munkari. Dalam hal ini perlu adanya upaya-upaya solutif menjembatani masyarakat dan memperbaiki konotasi sistem demokrasi sebagai negara yang menjamin hak asasi manusia (HAM) dalam wujud mengaktualisasikan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara oleh pemangku kebijakan di negeri persada ini, yakni sebagai berikut, pertama, pemerintah umumnya perlu melakukan kontemplasi baik secara mandiri atau kolektif dalam memaknai negara yang bersistem demokrasi. Semuanya harus dijamin kebebasan menyuarakan pikiran atau pendapat di depan umum sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 28 E, F.

Kedua, setelah adanya kesadaran diri (self-awareness), perlu untuk mengoptimalkan kinerga lembaga-lembaga pemerintah dan penyeimbang kebijakan secara teknisnya bekerja secara integritas dan profesionalisme, baik oleh lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif dan pihak-pihak birokrat lainnya yang langsung memegang dan mempunyai tugas di dalam menyelenggerakan kepentingan publik.

Ketiga, perlu adanya i’tikad bersama (common will) antar komponen masyarakat sebagai warga negara yang mempunyai hak asasi yang selama ini dibatasi dengan mencoba memberikan presure terhadap pemerintah agar hak asasi tidak hanya sifatnya secara sentralisasi milik pemerintah saja, melainkan hak-hak asasi harus bersifat desentraliasi (merata) ke bawah masyarakat secara keseluruhan.

Keempat, berijtihad dengan membentuk kesadaran moral, etika dan itegritas yang penuh ghirah dengan menitikberatkan terhadap kinerja-kinerja kepemerintahan yang good and clean government di tingkat pusat, provinsi, kota dan desa-desa.

Melalui langkah ini dengan memperbaiki sistem yang ada di dalam kepemerintahan, sama halnya dengan melakukan normalisasi dari hulurnya, yakni kerja-kerja yang profesional, integritas dan bermoral. Stereotip masyarakat terhadap pemerintah dipatahkan dengan berupa hasil yang cukup memuaskan dari kerja keperintahan.

Namun, hal ini tidak bisa jauh-jauh dari yang namanya sebuah kritikan karena di manapun kerja-kerja publik selalu ter-Zoom oleh masyarakat layaknya selaku dewan juri dalam sebuah perlombaan. Mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat perlu mengekspresikan pikirannya, menilai kepuasan kinerja kepemerintahan dan pemerintah selaku peserta  tidak boleh baperan.

* Penulis adalah Mahasiswa Universitas Mataram

Arkam Mulhakim

Share
Published by
Arkam Mulhakim

Recent Posts

Agama dan Sains: Konflik Hingga Integrasi Keilmuan

Dilihat perspektif kesejarahan, agama dan sains mulanya bersahabat, ini pada abad 17 dimana keduanya pertama…

4 bulan ago

Konstruksi Patriarki dalam Ruang Seni

Beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat masyarakat Madura terhadap bidang seni. Peningkatan minat tersebut tidak…

6 bulan ago

Menjelajahi Konsep Kebebasan dalam Neon Genesis Evangelion melalui Lensa Filosofis Jean-Paul Sartre

Neon Genesis Evangelion merupakan salah satu anime yang sangat populer di seluruh dunia, terutama karena…

6 bulan ago

Globalisasi dan Konsekuensi Inferiority Complex

“Bodo amatlah pada standar kesuksesan yang diagungkan oleh society dan media. We Will be something,…

6 bulan ago

Hans Kelsen: Positivisme Hukum, Grundnorm, dan Stufenbau Theory

Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat…

8 bulan ago

Seni Bertahan Hidup ala Victor E. Frankl

Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan,…

8 bulan ago