Categories: Pendidikan

Bagaimana Seharusnya Pendidikan yang Humanis?

Dewasa ini pembahasan tentang Pendidikan sudah bukan barang baru, terutama peran pendidikan yang cukup sentral dan menjadi salah satu indikator kemajuan suatu bangsa. Acap kali kita abai tentang esensi dan bentuk pendidikan yang telah kita jalani seperti apa, seolah-olah kita hanya mengikuti arus dalam proses belajar tersebut. Kita dengan asik menjalankan nilai-nilai dalam pendidikan sehingga lupa pendidikan itu untuk siapa dan keguanaanya bagaimana.

Pendidikan seringkali disalahgunakan oleh seseorang yang memiliki otoritas terhadap dalam dunia pendidikan. Banyak hubungan parasitisme yang terjadi di ranah pendidikan itu sendiri. Pendidikan seringkali hanya menjadi reproduksi ideologi kelas dominan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Peserta didik seolah diberlakukan sebagai “Bejana Kosong” yang akan diisi sebagai sarana tabungan. Artinya, peserta didik hanya menerima materi dan seorang guru menyampaikan materinya tanpa melihat kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya terpenuhi dari seorang peserta didik.

Dalam ilustrasi Freire, pendidikan yang ada dan mapan seperti saat ini dapat diibaratkan sebagai sebuah “Bank”. Artinya, peserta didik merupakan objek investasi dalam pendidikan. Pendidik sebagai isvestor yang mewakili lembaga kemasyarakatan yang berkuasa sementara   tabungannya berupa pengetahuan yang diberikan kepada peserta didik. Dengan istilah lain, pendidik sebagai subjek aktif, sedangkan peserta didik merupakan sebuah objek pasif yang penurut sehingga pendidikan cenderung tendensius dan bersifat negatif, dimana pendidik memberikan informasi yang harus di ingat dan dihafalkan. Akibatnya, peserta didik diberlakukan sebagai objek teori pengetahuan yang tidak berkesadaran terhadap realitas di sekelilingnya.

Sistem seperti itu tentunya dapat memunculkan “dehumanisasi pendidikan” yang dapat diartikan seorang pendidik dapat sewenang-wenang untuk menghegemoni peserta didik. Sering kali dalam proses pendidikan seorang pendidik abai terhadap keberlangsung proses belajar mengajar dan mengorbankan peserta didik, sehingga proses belajar mengajar tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Era seperti ini (pembelajaran daring) bisa saja digunakan sebagai alat untuk mengelabuhi peserta didik. Pada kasus ini, bisa saja seorang pendidik dengan sistemnya sebagai subjek aktif hanya memberikan materinya, akan tetapi lupa terhadap keadaan mahasiswanya. Peserta didik dipaksa harus paham dan mengerti mengenai materi-materi yang disampaikan tanpa melihat aspek yang membelenggu terhadap keberlangsungan proses belajar mengajar.

Tulisan ini bukan semata ungkapan sinis terhadap pembelajaran daring, melainkan bentuk keresahan yang terjadi karena kurangnya perhatian terhadap proses yang dilewati oleh seorang peserta didik dari seorang pendidik. Akibat dari itu semua adalah semakin menumpuknya penugasan yang dijadikan rukun dalam proses pendidikan yang sepertinya telah men-dehumanisasikan peserta didik dalam proses pendidikan. Seharusnya pendidikan lebih memprioritaskan peserta didik sebagai subjek aktif dan peka dengan keadaan sosiologis di ranah pendidikan itu sendiri.

Sejatinya seorang pendidik benar-benar dapat digugu dengan memprioritaskan keselarasan dalam pendidikan dan menempatkan peserta didik untuk bebas mengeskpresikan hal-hal yang dapat menunjang kreativitasnya dalam proses belajar mengajar. Hal ini agar selaras dengan semboyan “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” dengan filosofi dan pemaknaan yang tentunya akan selalu menjadi panutan bagi seorang pendidik.

Makna filosofis dari semboyan di atas adalah bahwa seorang pendidik apabila berada di depan harus memberikan teladan yang baik terhadap peserta didik atau anak didiknya, ketika berada di tengah memberikan nilai dan kemauan (penyeimbang) terhadap peserta didik untuk tetap giat dalam pembelajaran dan ketika berada di belakang memberikan dorongan atau motivasi yang baik ke arah kemandirian peserta didik.

Semboyan di atas perlu kita cermati, hayati, dan diinternalisasikan ke dalam diri pendidik dan peserta didik masing-masing melalui praktik yang dapat diharapkan bersama. Saya rasa Pendidikan yang baik itu demikian, yakni pendidikan yang memanusiakan manusia, dan tidak ada jurang pemisah antara pendidik dengan peserta didik yang kemudian bisa tercipta Pendidikan yang membebaskan dan dialogis.

Gharizi Akbar

Share
Published by
Gharizi Akbar

Recent Posts

Agama dan Sains: Konflik Hingga Integrasi Keilmuan

Dilihat perspektif kesejarahan, agama dan sains mulanya bersahabat, ini pada abad 17 dimana keduanya pertama…

4 bulan ago

Konstruksi Patriarki dalam Ruang Seni

Beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat masyarakat Madura terhadap bidang seni. Peningkatan minat tersebut tidak…

6 bulan ago

Menjelajahi Konsep Kebebasan dalam Neon Genesis Evangelion melalui Lensa Filosofis Jean-Paul Sartre

Neon Genesis Evangelion merupakan salah satu anime yang sangat populer di seluruh dunia, terutama karena…

6 bulan ago

Globalisasi dan Konsekuensi Inferiority Complex

“Bodo amatlah pada standar kesuksesan yang diagungkan oleh society dan media. We Will be something,…

6 bulan ago

Hans Kelsen: Positivisme Hukum, Grundnorm, dan Stufenbau Theory

Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat…

8 bulan ago

Seni Bertahan Hidup ala Victor E. Frankl

Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan,…

8 bulan ago