Categories: PsikologiSosial

Tren Childfree dan Problem Paradigma Anak di Mata Perempuan

Relasi perempuan dan anak tidak sebatas relasi antara orang tua dan anak semata. Lebih dari itu, relasi perempuan dan anak adalah sebuah ikatan manifestasi periodik antara masa lalu dan masa depan. Perempuan memiliki panggung khusus untuk sebuah peran dalam membangun peradaban. Konsep dasar ibu sebagai sekolah pertama bagi anak adalah hal prinsipil dalam meletakkan episentrum baru sebuah nilai dan spirit zaman.

Interpretasi seorang ibu menjadi angin segar penembus dahaga akan hasrat keingintahuan seorang anak terhadap dunia. Anak sebagai kertas putih polos yang sejalan dengan wajah dan tingkah manis mereka memiliki ketergantungan pada retorika perempuan sebagai seorang ibu. Secara garis besar ketergantungan tersebut berbalik arah pada perempuan. Hasrat perempuan untuk menjadi seorang ibu mendeskripsikan relasi dua arah antara perempuan dan anak.

Akan tetapi pada akhir abad 20 istilah childfree terjadi pergeseran paradigma anak di mata perempuan menjadi gencar di dunia internasional. Di Indonesia sendiri, istilah ini baru viral dan menjadi opini publik setelah deklarasi dari salah seorang selebgram tentang pilihan untuk menerapkan childfree. Banyak faktor yang mempengaruhi childfree sebagai nilai baru yang digandrungi para perempuan misalnya ekonomi, mortalitas yang tak sebanding dengan kelahiran, gerakan feminisme, dsb.

Fenomena childfree menjadi visualisasi paradigma perempuan masa kini terhadap hakikat anak. Dengan begitu childfree untuk dipandang sebagai suatu pemikiran baru yang memberikan sumbangsih pada peradaban perlu mendapat kritik dalam tubuh perempuan berkemajuan. Sebab childfree sendiri lebih tergolong sebagai problem dan sangat jauh dari pola pikir ilmiah yang jauh dari sifat alamiah. Hal ini berangkat dari hubungan alamiah dan ilmiah dalam ikatan konsekuensi logis, dimana hal bisa dikategorikan ilmiah merupakan bentuk penjabaran secara logis dari kejadian-kejadian alamiah.

Filologi childfree sendiri mengandung polemik yang sangat krusial. Kesepakatan dalam penentuan filologi “childfree” seolah-olah meletakkan anak sebagai suatu tembok penjara bagi perempuan. Penyandingan “child” dan “free” sebagai suatu kebebasan memberikan penekanan bahwa “child is not free”. Layaknya kata sifat dan penunjukan kata yang meletakkan arti khusus tentang relasi antara anak dan kebebasan.

Penisbatan childfree sebagai suatu pilihan pun menjadi suatu bamper pelindung akan kritik fundamental terhadap konsep ini. Sebab hal ini akan dibungkus dalam rona zeitgeist tentang liberalisme, humanisme dan materialisme. Dalam liberalisme, childfree dikategorikan sebagai pilihan memiliki naungan sempurna pada prinsip free of will yang mengakar pada HAM. Dalam humanisme, hal ini lebih condong pada humanis-individualis dimana childfree merupakan suatu kerangka berpikir tentang manusia dan kemanusiaan menjadi objek utama pemikiran.

Pada tatanan materialisme ada suatu petimbangan pada faktor-faktor ekonomi dalam sebuah pertimbangan childfree. Dari ketiganya akan ada suatu pola yang sama dalam melihat childfree sebagai suatu hal yang dilindungi dalam kerangka berpikir dasar dengan mengkategorikannya sebagai suatu pilihan. Efektifitas kategorisasi childfree sebagai pilihan membentuk suatu penegasan childfree bukan lagi sebagai perihal salah dan benar, melainkan perihal tepat dan tidak tepat sebagaimana suatu pilihan yang tidak bisa disalahkan.

Rona tersebut terkadang membuat sedikit silau dengan adanya suatu pembenaran pada tindakan diluar garis alamiah layaknya LGBTQ+ yang berlindung pada selaput humanisme. Padahal tindakan yang non-alamiah semacam itu haruslah mendapat pertolongan dalam bentuk rehabilitasi. Stigma negatif mungkin menolong para pejuang LGBTQ+ merengkuh batas-batas humanisme, tapi sekali lagi humanis sejati tidak memberikan pembenaran pada garis menyimpang dari sifat alamiah. Akan tetapi membantu mereka kembali pada batas wajar kecenderungan sex dan gender yang bergeser dari garis edarnya. Lebih parah lagi, sains sebagai dogma kebenaran masa kini tak bisa memberikan inferensi ilmiah bahwa peyimpangan tersebut adalah suatu kelainan. Dengan kata lain sains tak memiliki taringnya sebagai kebenaran objektif yang dielu-elukan saat berhadapan dengan hyperhumanisme semacam ini.

Kesadaran ini menegaskan bahwa kritik secara fundamental terhadap ontologi childfree akan membantu masyarakat dalam melepaskan diri dari rona humanisme destruktif. Hal ini memerlukan objektivikasi ulang childfree dengan mengeluarkannya dari lingkaran perlindungan sebuah pilihan semata. Sehingga pendefinisian childfree yang awalnya hanya bersifat aksiologis menjadi lebih fundamental dalam membentuk ontologi baru terhadap childfree. Dengan begitu redefinisi childfree yang hanya sebatas pilihan haruslah bergeser menjadi fakta sosial.

Pergeseran definisi ini memungkinkan masyarakat untuk meberikan kategorisasi terhadap childfree secara holistik dan integralistik yang bisa menaungi segala bentuk childfree apabila dikembalikan pada arti dasarnya sebagai kondisi hidup tanpa memiliki anak. Sebab kondisi tersebut berada pada dua kutub, yaitu kemampuan untuk memiliki dan kemauan untuk memiliki. Kemampuan untuk memiliki merupakan objektifikasi dari childfree alamiah dimana variabel yang berdiri diatasnya merupakan kondisi biologis perempuan dengan mengenyampingkan kehendaknya. Sedangkan pada kemauan untuk memiliki adalah tahap lanjutan dari variabel pertama, sebab hangusnya variabel pertama berkonsekuensi pada sirnanya varibel kedua.

Kedua variabel ini harus terhubung dalam membangun reason mulia dalam membentuk masa depan anak. Definisi holistik dan integralistik tersebut akan membantu masyarakat dalam menganalisis problem childfree dengan kategorisasi objektif karena tak semua perempuan tidak memiliki anak berkehendak untuk tidak memiliki anak, begitupun sebaliknya. Dengan dua realitas yang berbeda akan menimbulkan fakta sosial yang objektif bagaimana posisi childfree sebenarnya di luar bamper liberalisme dan kebebasan untuk memilih.

Anak dalam paradigma perempuan adalah anugerah, sebagaimana manusia yang berkesadaran tak ada yang akan terbesit untuk menolak anugerah. Childfree bukanlah kehendak tersebut, sehingga childfree secara objektif merupakan kondisi dan bukan kehendak pribadi perempuan. Childfree adalah sebuah pergeseran nilai negatif tentang anak dalam tren yang akan berimplikasi pada masa depan suatu peradaban.

Dalam Islam, Aisyah ra. sebagai fakta historis kondisi childfree dalam perempuan memberikan retorika sejak dahulu bagaimana memandang dan menyikapi kondisi childfree. Hal itu dibuktikan dari banyaknya riwayat hadist yang bersumber darinya dan aktifitas politiknya yang ikut mewarnai peradaban Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW. Aisyah menjadi simbol perempuan berdaya yang dahulu dianggap tak berdaya. Pemberdayaan perempuan menjadi dasar para feminis dalam mengupayakan persamaan hak dan hal prisnsipil lainnya agar perempuan tidak lagi diperdaya. Akan tetapi alih-alih berdaya untuk keluar dari lingkaran diperdaya, perempuan justru malah diperdaya oleh paham pemberdayaan mereka sendiri.

Childfree menjadi salah satu contoh dalam praktik tersebut, dimana para perempuan yang berdayalah yang akan gandrung pada childfree untuk menggambarkan mereka mandiri dan bebas dari kuasa laki-laki. Sehingga childfree dianggap sebagai bentuk berdayanya seorang perempuan. Ini bukanlah hal yang baik, mengingat Jepang dan negara-negara di Eropa dalam krisis ketidakseimbangan antara mortalitas dan angka kelahiran. Sehingga mengeluarkan childfree dari tempat yang bernama pilihan adalah keharusan agar perempuan tidak lagi diperdaya oleh paham pemberdayaan.

Luqman Banuzzaman

Share
Published by
Luqman Banuzzaman

Recent Posts

Agama dan Sains: Konflik Hingga Integrasi Keilmuan

Dilihat perspektif kesejarahan, agama dan sains mulanya bersahabat, ini pada abad 17 dimana keduanya pertama…

4 bulan ago

Konstruksi Patriarki dalam Ruang Seni

Beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat masyarakat Madura terhadap bidang seni. Peningkatan minat tersebut tidak…

6 bulan ago

Menjelajahi Konsep Kebebasan dalam Neon Genesis Evangelion melalui Lensa Filosofis Jean-Paul Sartre

Neon Genesis Evangelion merupakan salah satu anime yang sangat populer di seluruh dunia, terutama karena…

6 bulan ago

Globalisasi dan Konsekuensi Inferiority Complex

“Bodo amatlah pada standar kesuksesan yang diagungkan oleh society dan media. We Will be something,…

6 bulan ago

Hans Kelsen: Positivisme Hukum, Grundnorm, dan Stufenbau Theory

Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat…

8 bulan ago

Seni Bertahan Hidup ala Victor E. Frankl

Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan,…

8 bulan ago