Categories: FilsafatSosial

Kemajuan Teknologi dan Implikasinya terhadap Manusia

Dalam pembahasan tentang teknologi dan manusia perspektif filsafat teknologi, setidaknya topik yang dibicarakan terbagi ke dalam lima aspek. Pertama, Epistemologi. Di dalamnya terdapat ulasan mengenai hubungan antara teknologi dan ilmu pengetahuan, peran eksperimen dalam penemuan ilmiah, dan efek teknologi pada persepsi manusia.[1] Kedua, Metafisika. Bagian ini membedah antara sesuatu yang “alami” dan “buatan”, bagaimana teknologi mengubah manusia dan alam serta bagaimana teknologi mengubah kehidupan tumbuhan dan hewan.[2] Ketiga, Moral. Melalui pendekatan ini, hubungan antara etika dan teknologi dianalisis, seperti apakah segala sesuatu bersifat netral atau sarat nilai serta apa yang pantas untuk dibuat dan dilakukan manusia dengan teknologi.[3] Keempat, Politik. Pembahasan bagaimana teknologi memengaruhi hak dan kebebasan politik, bagaimana konstitusi mengatur teknologi, dan serta bagaimana manfaat dan beban teknologi harus didistribusikan.[4] Kelima, Lingkungan. Penelaahan bagaimana teknologi mengintervensi alam, hubungan yang tepat antara teknologi dan alam serta apakah lingkungan alam lebih unggul daripada lingkungan buatan.[5] Dengan kata lain, teknologi dapat menimbulkan persoalan dalam tataran epistemologi, metafisika, moral, politik, serta lingkungan; dan tugas filsafat teknologi adalah menganalisis sifat teknologi, signifikansinya, dan cara teknologi itu memediasi dan mengubah pengalaman manusia.

Namun, pelbagai pendekatan di atas masih belum sepenuhnya menjadi cara pandang manusia terhadap teknologi. Hal ini dapat ditemukan contohnya pada kasus penyebaran polusi industri, penelitian sel induk, teknologi komunikasi (seperti email), teknologi reproduksi (seperti pil KB), teknologi memasak (seperti oven microwave), pesawat terbang, AC, mesin pemindai CAT, baja dalam periode Amerika modern, komputer dalam masyarakat informasi, dan risiko lingkungan dari makanan yang dimodifikasi secara genetik. Biasanya, pembahasan berfokus pada pembuatan dan penggunaan teknologi.

Padahal, batasan masalah dalam persoalan diatas dapat terkait biaya dan manfaat, risiko yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, konsekuensi yang diinginkan dan tidak diinginkan, bahkan berkenaan kesinkronan antara inovasi teknologi dengan moral atau ajaran agama. Kemudian, hal yang perlu ditekankan lagi adalah analisis terhadap teknologi dalam ranah filosofis juga berkelindan dengan pelbagai konsep, seperti “kebebasan”, “kesejahteraan”, dan seterusnya. Pendekatan ini menegaskan batas-batas teknologi dan menganalisis apakah masyarakat harus mengejar artefak atau hal itu bersifat pilihan.[6] Akan kontras dengan tindakan manusia yang menciptakan teknologi baru berlandaskan kewajiban moral, sehingga berhati-hati dengan batasan-batasan dan pandangan ke masa depan.

Maka, pertanyaan-pertanyaan berikut patut dipertimbangkan, misalnya apakah teknologi tertentu adalah sesuatu yang ingin diterapkan oleh masyarakat, apa konsekuensi jangka panjangnya, siapa yang harus memutuskan teknologi mana yang diinginkan atau tidak diinginkan, dan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Dengan pendekatan filsafat teknologi, persoalan di atas dijawab melalui perpaduan konsep praktis dan filosofis yang matang serta upaya penerapannya pada situasi-situasi yang bersinggungan dengan teknologi.[7]

Definisi Teknologi

Terdapat tiga definisi mengenai teknologi, yakni teknologi sebagai perangkat keras, teknologi sebagai aturan, dan teknologi sebagai sistem. Teknologi sebagai perangkat keras didefinisikan sebagai alat dan mesin, seperti roket, pembangkit listrik, komputer, dan pabrik. Mumford membuat perbedaan antara alat dan mesin di mana pengguna secara langsung memanipulasi alat, sementara mesin lebih independen dari keterampilan pengguna.

Mumford mengklaim bahwa “mesin” paling awal dalam sejarah manusia adalah organisasi atau sejumlah besar orang yang menjadi tenaga kerja manual di bumi, contohnya dalam proyek bendungan atau irigasi di peradaban paling awal, seperti Mesir, Sumeria kuno di Irak, atau Cina kuno. Bagi Mumford, buruh terorganisir atau massa ini layaknya “mesin besar”.[8] Sedangkan, Ellul menganggap pola perilaku yang mengikuti aturan atau “teknik” adalah inti dari teknologi. Bagi Ellul, selalu ada konsekuensi yang tidak diinginkan dari tindakan manusia, bahkan terutama ketika tindakan tersebut menjadi lebih besar dalam kekuatan dan ruang lingkupnya melalui teknologi.[9] Dari pandangan kedua filsuf di atas dapat dipahami, bahwa definisi atau karakterisasi teknologi pada tingkat awal adalah sebagai alat dan mesin atau perangkat keras.

Sedangkan, teknologi sebagai aturan bagi Ellul dapat pula diartikan sebagai “teknik”, karena teknologi berlaku lebih dari sekadar alat. “Perangkat lunak” versus “perangkat keras” misalnya, akan menjadi cara lain untuk mengkarakterisasi perbedaan dalam penekanannya (teknik). Teknologi melibatkan pola hubungan sarana-akhir. Kemudian, sosiolog Weber dengan penekanannya pada “rasionalisasi”, mirip dengan pandangan Ellul, bahwa ciri kebangkitan Barat dalam hal teknologi terletak pada sistem yang dikelola oleh aturan baik sains, hukum, atau birokrasi.[10] Sehingga, alat atau mesin fisik bukanlah yang utama, melainkan pola sarana-akhir yang dikembangkan secara sistematis.

Kemudian, teknologi sebagai sistem dapat dipahami melalui beberapa fenomena. Pertama, munculnya “kultus kargo” ketika pesawat AS selama Perang Dunia II menjatuhkan sejumlah barang di pulau-pulau Pasifik. Anggota kultus menjadikan barang-barang tersebut sebagai objek keagamaan dan menunggu kembalinya pesawat AS. Kedua, Shah Iran selama tahun 1960-an berusaha untuk memodernisasi negara dengan menggunakan kekayaan minyak untuk mengimpor teknologi tinggi, seperti pesawat jet dan komputer, tetapi kekurangan jumlah operator dan personel servis yang memadai. Dan ketiga, perangkat keras teknologi tidak berfungsi sebagai teknologi bukan semata-mata di wilayah masyarakat adat atau negara berkembang, tetapi juga dapat hadir dalam lingkungan teknologi tinggi dan kecanggihan perkotaan.

Beberapa fenomena ini menunjukkan, bahwa agar artefak atau perangkat keras menjadi teknologi, maka perlu diatur dalam konteks penggunanya dan pihak lainnya. Dengan kata lain, teknologi sebagai system dilihat manakala teknologi mencakup perangkat keras serta keterampilan manusia dan organisasi untuk mengoperasikan dan memeliharanya.

Antara Teknologi dan Nilai

Menurut Winner, teknologi telah dimaknai sebagai totalitas sarana yang digunakan oleh manusia untuk menyediakan sendiri objek budaya material.[11] Definisi ini, tidak menyebutkan aspek sosial dan nilai budaya, selain budaya material yang banyak disumbangkan oleh teknologi. Sehingga sering terjadi, karena pemahaman yang tidak memadai tentang hubungan teknologi dengan etika, maka solusi teknis diterapkan untuk masalah yang bersifat moral. Sejak awal modernitas, teknologi telah merambah semua domain aktivitas manusia, sehingga turut membentuk budaya saat ini. Bentuk khusus atau landasan filosofis teknologi telah menyebabkan masalah-masalah, seperti yang dikemukakan oleh para filsuf serta kritikus budaya dan sosial. Sederhananya, teknologi menjadi bermasalah, salah satunya karena minim dengan etika dasar.

Teknologi pada awalnya ditujukan untuk kemanusiaan, seperti menyembuhkan penyakit manusia. Tetapi berbelok, setelah tujuan-tujuan bersama ditinggalkan dan gagal untuk memberikan prinsip-prinsip epistemologis atau etika yang mendasar. Bagi Hofmann, teknologi mengandung sarat nilai melalui fungsinya yang berkaitan dengan tujuan atau nilai lainnya.[12] Sarat nilai tidak berarti, bahwa teknologi menjadi penting, sementara tanggung jawab etis terabaikan, menurut Hofmann.[13] Sebagaimana dalam paradigma nihilistik postmodern, imperatif teknologi menjadi operasional, karena tidak adanya nilai-nilai etika dan landasan untuk menentukan tujuan-tujuan di mana teknologi bertindak sebagai sarana secara tepat. Hofmann menyebutkan contohnya dalam bioteknologi untuk menunjukkan karakter teknologi yang sarat nilai:

“Ketika menciptakan teknologi, secara bersamaan membuat pilihan tentang nilai-nilainya. Saat memproduksi respirator dan senjata bakteriologis, maka hal ini menyiratkan akan adanya kemampuan untuk mempertahankan pernapasan (secara buatan) dan menaklukkan orang dengan membuat mereka sakit, sebagai tujuan. Pengenalan teknologi juga dapat menjadi promosi bagi nilai-nilai yang mendasarinya.”

Teknologi adalah proses kreatif (seperti seni) serta melambangkan tujuan dan inspirasi manusia. Karakter teknologi mewakili identitas peradaban manusia tertentu dari mana dimunculkannya dan pondasi teknologi dapat ditemukan dalam nilai-nilai yang mendasari peradaban itu. Christians berpendapat, bahwa paradigma instrumentalis tradisional (menganggap teknologi sebagai sarana menuju tujuan yang telah ditentukan) tidak cukup, karena hanya mempertanyakan fitur atau produk tertentu (teknologi), padahal kenyataannya diperlukan analisis menyeluruh terhadap fenomena teknologi.[14]

Problem “Kemajuan” Teknologi

Winner menulis, bahwa pada abad ke-20 telah diterima begitu saja mesin, instrumen, dan teknik baru untuk memperbaiki kondisi manusia, padahal terjadi masalah lingkungan dan sosial.[15] Persoalan antara pengembangan teknis dan kesejahteraan manusia masih berlanjut hingga sekarang, karena gagasan kemajuan yang berhubungan dengan industrialisasi dan penerapan teknologi secara luas dalam semua aspek kehidupan yang terhubung dengan mitos kemajuan, bagi Hofmann.[16] Suatu pandangan reduktif tentang tujuan manusia di mana dalam budaya teknologi, nilai akhir terletak pada kemajuan teknologi.

Rivers berpendapat, bahwa istilah ‘kemajuan’ menunjukkan gerak menuju kondisi yang lebih tinggi.[17] Tetapi, perubahan demi perubahan tak dinilai memenuhi syarat sebagai kemajuan, kecuali keuntungan nyata telah dihasilkan sebagai hasil dari perubahan tersebut. Bahkan dalam amatan Rivers, kemajuan moral nampak tidak sejalan dengan kemajuan teknologi. Karena keyakinan yang kuat pada kemajuan teknologi, walaupun jika hasil yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi sering kali merugikan, kemajuan teknologi tidak ditinggalkan. Kemajuan teknologi adalah gagasan modern yang spesifik tentang kemajuan. Tetapi, jika ada sesuatu yang disebut ‘kemajuan’, maka harus ditanyakan terlebih dulu dari perspektif mana hal itu dinilai.

Teknologi juga turut membentuk aktivitas manusia yang menyebabkan permasalahan terus-menerus (seperti gaya hidup konsumerisme), sehingga menjauhkan manusia dari aspek realitas dan nilai spiritual. Thiele menjelaskan, bahwa kelesuan spiritual merupakan karakteristik postmodernitas di mana kebaruan teknologi terus-menerus dituntut oleh individu postmodern.[18] Kebaruan ini, pada gilirannya akan menuntut manusia sebagaimana penilaian Heidegger, bahwa dorongan untuk inovasi teknologi tanpa akhir dan pertumbuhan ekonomi dalam budaya postmodern mencerminkan kebosanan yang mendalam tentang kondisi manusia. Kebosanan ini adalah kondisi eksistensial yang mencerminkan hilangnya makna dalam era postmodern.

Hiperaktivitas teknologi yang ditampilkan melalui produksi dan konsumsi komoditas, informasi, media dan transportasi yang cepat, adalah cara untuk memastikan bahwa tidak ada waktu yang tersisa untuk pemikiran yang mengganggu tentang diri dan kehidupan manusia secara umum. Teknologi mengalihkan manusia menghadapi pertanyaan tentan hakikat segala sesuatu melalui kegiatan yang cenderung meaningless. Ketika memiliki waktu luang, manusia saat ini membuangnya melalui hiburan. Kenyamanan atau kemalasan harus diisi oleh pelbagai bentuk konsumsi, seperti makanan, barang dagangan, hiburan, rekreasi atau informasi, menurut Thiele.[19] Teknologi melakukan pekerjaan dengan baik dalam menyediakan semua gangguan seperti itu dalam jumlah besar.

Epilog: Bijaksana terhadap Teknologi

Masalah mendasar ilmu pengetahuan dan teknologi adalah pandangan dunia dualistic yang pada gilirannya membawa berbagai implikasi seperti telah disinggung di atas. Upaya penanaman nilai-nilai Islam dengan worldview Islam menjadi sangat penting. Pandangan tersebut diproyeksikan oleh wahyu sebagai bangunan konseptual yang pada interpretasi dan penjelasan lebih lanjut didukung dengan tradisi kenabian, akal, pengalaman dan intuisi, sehingga menjadi cara pandang dalam memahami realitas secara keseluruhan. Pandangan ini tidak hanya terbatas pada akal manusia terhadap dunia fisik atau pengalaman indra, tetapi mencakup al-dunya dan al-ākhirah. Yang pertama harus terkait secara mendalam dengan yang terakhir dan yang terakhir memiliki makna tertinggi dan terakhir.[20] Pendekatan semacam ini memberikan alternatif kerangka filosofis yang lebih baik bagi interaksi manusia dengan alam maupun sesama manusia di mana teknologi terlibat di dalamnya.

Dalam Islam, segala aktivitas dalam kehidupan termasuk teknologi tidak dapat dipisahkan dari aspek moral dan spiritual, begitu pula sebaliknya. Relevansi syari’ah dalam kaitannya dengan teknologi dapat dilihat dari tujuannya yang didefinisikan oleh Imam al-Ghazzali sebagai berikut:

“Tujuan syari’at (Maqāsid al-Syari’ah) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh umat manusia, yang terletak pada menjaga iman (din), diri manusia (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl) dan harta (mal). Apapun yang menjamin perlindungan kelima hal ini, maka telah melayani kepentingan umum yang diinginkan.”[21]

Termasuk ihwal maslahah, sebagaimana penjelasan Imam al-Ghazali:

Maslahah pada dasarnya adalah suatu hal untuk memperoleh manfaat atau penolakan bahaya. Tapi bukan hanya itu, karena perolehan manfaat dan penolakan bahaya mewakili tujuan manusia, yakni kesejahteraan manusia melalui pencapaian dari tujuan-tujuan ini. Apa yang dimaksud dengan maslahah adalah pelestarian tujuan syariah.[22]

Imam al-Shatibi mengikuti pemahaman Imam al-Ghazzali dalam mendefinisikan maslahah di “al-Muwafaqat”nya[23] dan lebih lanjut mengklasifikasikan maslahah ke dalam tiga kategori, yakni daruriyat (esensi), hâjiyât (pelengkap), dan tahsîniyât (perhiasan).[24] Dengan menerapkan hal-hal tersebut, manusia dapat memperoleh fleksibilitas, kedinamisan, dan kreativitas dengan benar dalam pelbagai aspek termasuk teknologi,[25] sehingga pelbagai hal yang tidak maslahah dapat dihindari.

Aspek lainnya yang patut dijadikan landasan adalah hikmah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Syed M. Naquib al-Attas, bahwa tiap objek ilmu terdapat batas kebenaran yang menentukan maknanya serta memiliki batas kebenaran yang berbeda, dan ilmu tentang batas-batas kebenaran ini adalah hikmah.[26] Dengan hikmah, tiap kebenaran mendapatkan maknanya yang tepat, tidak mengurangi maupun melebihkannya. Di antaranya ada yang lebih dalam dan sulit ditemukan bandingannya dengan yang lain, sehingga dalam upaya penemuannya terdapat pembatasan penelitian dengan dibimbing oleh hikmah. Dengan demikian, ilmu yang mengenal batas kebenaran dalam tiap objek dapat dikatakan sebagai ilmu yang benar,[27] sehingga mampu beramal dengan benar dan berlaku bijaksana.

Referensi:

[1] Wybo Houkes, The Nature of Technological Knowledge, Philosophy of Technology and Engineering Sciences, 2009.

[2] László Ropolyi, “Virtuality and Reality—Toward a Representation Ontology,” Philosophies 1, no. 1 (2015): 40–54.

[3] Michael Klenk, “How Do Technological Artefacts Embody Moral Values?,” Philosophy and Technology, 2020, 525–44.

[4] Isaac Ben-Israel et al., “Towards Regulation of AI Systems,” 2020.

[5] Nicolas Rigaud, “OECD International Futures Project on Biotechnology : Ethical and Social Debates,” Debate on GMO Issue – Ada Case in Malaysia 33, no. 0 (2008): 1–89.

[6] Wenceslao J. Gonzalez, The Philosophical Approach to Science, Technology and Society, Science, Technology and Society: A Philosophical Perspective, 2011.

[7] David M. Kaplan, Readings in the Philosophy of Technology, vol. 148, 2009.

[8] Robert M. MacIver and David Spitz, “War and Civilization,” Politics & Society, 2020, 427–40.

[9] Stephan Konz and Steven Johnson, “Technological Society,” Work Design, 2018, 1–16.

[10] Wiebe E. Bijker, Tomas P. Hughes, and Trevor Pinch, The Social Construction of Technological Systems, Anniversary Edition, 2012.

[11] Stanley R. Carpenter and Langdon Winner, Autonomous Technology: Technics-out-of-Control as a Theme in Political Thought, Technology and Culture, vol. 19, 1978.

[12] Bjørn Hofmann, “When Means Become Ends Technology Producing Values,” Seminar.Net 2, no. 2 (2006): 1–12.

[13] Bjørn Hofmann, “Technological Medicine and the Autonomy of Man.,” Medicine, Health Care, and Philosophy 5, no. 2 (2002): 157–67.

[14] Clifford G. Christians, “Religious Perspectives on Communication Technology,” Journal of Media and Religion 1, no. 1 (2002): 37–47.

[15] Langdon Winner, The Whale and the Reactor, The Whale and the Reactor, 2013.

[16] Bjørn Hofmann, “The Myth of Technology in Health Care,” Science and Engineering Ethics 8, no. 1 (2002): 17–29.

[17] Maximilian Mayer, Mariana Carpes, and Ruth Knoblich, The Global Politics of Science and Technology: An Introduction, vol. 1, 2014.

[18] Leslie Paul Thiele, “Postmodernity and the Routinization of Novelty: Heidegger on Boredom and Technology,” Polity 29, no. 4 (1997).

[19] Amana Raquib, “Islamic Perspectives on Science and Technology,” Islamic Perspectives on Science and Technology, 2016, 143–67.

[20] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena To the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: The International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995).

[21] Mohsin S. Khan, Islam and The Economic System, Review of Islamic Economics, vol. 2, 1992.

[22] Ahmad Zaki Mansur Hammad, “Abu Hamid Al-Ghazali Juristic Doctrine In Al- Mustasfa Min ’Ilm Al-Usul With A Translation of Volume One of Al-Mustasfa Min ’Ilm Al-Ususl Volume Two,” 1987.

[23] Ibrahim Ibn Al-Shatibi, The Reconciliation of the Fundamentals of Islamic Law, vol. I, 2012.

[24] Ibrahim Ibn Translated By: Imran Ahsan Khan Nyazee Al-Shatibi, “The Reconciliation of the Fundamentals of Islamic Law (Al-Muwāfaqāt Fī Usūl Al-Sharī∏a)” II (2014): 320.

[25] H F Zarkasy, “Inculcation of Values Into Technology An Islamic Perspective,” Afro Eurasian Studies 5, no. 1&2 (2016): 90–118.

[26] Al-Attas MNS, Islam and the Philosophy of Science., MAAS Journal of Islamic Science, 1st ed., vol. 6 (Penang: ISTAC, Malaysia, 1990).

[27] Syed Muhamed Naquib Al-Attas, Islam-and-Secularism-Attas.Pdf (Kuala Lumpur: ISTAC, Malaysia, 1993).

Taufik Hidayat

Share
Published by
Taufik Hidayat

Recent Posts

Agama dan Sains: Konflik Hingga Integrasi Keilmuan

Dilihat perspektif kesejarahan, agama dan sains mulanya bersahabat, ini pada abad 17 dimana keduanya pertama…

4 bulan ago

Konstruksi Patriarki dalam Ruang Seni

Beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat masyarakat Madura terhadap bidang seni. Peningkatan minat tersebut tidak…

6 bulan ago

Menjelajahi Konsep Kebebasan dalam Neon Genesis Evangelion melalui Lensa Filosofis Jean-Paul Sartre

Neon Genesis Evangelion merupakan salah satu anime yang sangat populer di seluruh dunia, terutama karena…

6 bulan ago

Globalisasi dan Konsekuensi Inferiority Complex

“Bodo amatlah pada standar kesuksesan yang diagungkan oleh society dan media. We Will be something,…

6 bulan ago

Hans Kelsen: Positivisme Hukum, Grundnorm, dan Stufenbau Theory

Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat…

8 bulan ago

Seni Bertahan Hidup ala Victor E. Frankl

Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan,…

8 bulan ago