Categories: Agama

Tidak Ada Takdir Buruk, Semua Ketetapan adalah Takdir Terbaik

Oleh Thoriq Jayana Al-Fakir

Saya awali tulisan ini dengan pernyataan bahwa “tidak ada takdir buruk, karena semua ketetapan dari Tuhan adalah kebaikan”. Mungkin pernyataan ini oleh sebagian orang dianggap sok suci, sok sufistik. Terserah, itu urusan mereka yang belum betul-betul beriman kepada takdir.

Selama ini banyak orang mengaku beriman kepada takdir, tapi ketika Allah menetapkan sesuatu yang tidak mereka inginkan, lalu terbesitlah rasa kesal, stres, atau mungkin menyalahkan Tuhan. Lalu, pantaskah orang itu disebut orang yang beriman? Atau bisa saja keimanan mereka selama ini hanyalah sebagai ‘tukar-tambah’ atas keinginan materialistik yang disandarkan pada Tuhan (?!)

Sebelum saya jelaskan secara ringkas konsep takdir, terlebih dulu akan saya klasifikasikan model keimanan seseorang. Dalam kajian tasawuf, dikenal 3 model keimanan. Pertama, model pedagang (trader). Tipe orang seperti ini selalu mematerialisasikan hasil keimanannya dengan sesuatu yang mereka inginkan. Selayaknya pedagang, mereka ini senantiasa mencari keuntungan dari apa yang mereka lalukan, yang seakan-akan memaksa Tuhan untuk mengikuti keinginan mereka. “Pokoknya, Tuhan harus mengabulkan keinginan, jika tidak, maka jangan salahkan jika mereka tidak beriman lagi”.

Kedua, model budak (slave). Tipe orang ini selalu melakukan sesuatu karena takut dimarahi tuannya. Mereka terpaksa melakukan bukan karena dari hati dan kesadaran, tapi karena paksaan.

Ketiga, model pecinta (lover). Tipe orang ini jauh berbeda dari dua tipe sebelumnya, karena tipe orang seperti ini mengerjakan sesuatu bukan karena paksaan atau iming-iming keuntungan (pahala), tapi berangkat dari kecintaan dan kesadaran kepada Sang Pencipta yang dicintainya.

Kembali pada takdir. Orang yang bertipe pedagang selalu hitung-hitungan kepada Tuhan, ini takdir baik atau buruk. Jika mereka menerima takdir yang tidak sesuai dengan keinginannya, maka muncullah rasa kesal kepada Tuhan atau bahkan menyalahkan ketetapan Tuhan. Dalam konteks ini, mereka memaksa Tuhan agar mengikuti keinginan mereka sendiri.

Lebih parahnya, dalam kehidupan sosial, orang semacam ini mudah iri, dengki, dan lekas stres ketika melihat keberhasilan orang lain, meski hanya terbesit secuil debu dalam hatinya. Mereka merasa bahwa Tuhan tidak adil, dan tidak memihak dirinya. Mereka ini tidak layak disebut sebagai orang yang beriman, namun tentu saja mereka akan bersikukuh bahwa mereka masih beriman karena masih berharap hubungan ‘dagang’ dengan Tuhan.

Berbeda dengan orang yang bertipe budak. Mereka ini selalu menganggap bahwa takdir Tuhan adalah buruk. Tidak ada baiknya sama sekali. Dalam pandangannya, kehidupan dunia ini tidak lain adalah neraka yang menyengsarakan.  Sifat orang seperti ini lebih mudah pesimis, tidak kreatif, dan selalu ada kebencian yang begitu besar dalam hatinya. Selalu merasa paling benar, sedangkan yang lain adalah salah.

Terakhir, tentang tipe orang pecinta. Dalam menghadapi takdir, mereka selalu memandang bahwa semua keputusan Tuhan adalah takdir terbaik, entah itu berupa keberhasilan maupun kegagalan. Berhasil atau gagal adalah dua hal yang sama, karena sama-sama dari Tuhan, Dzat yang mereka cintai. Apa pun yang datang dari Tuhan adalah terbaik. Tidak bisa ditawar lagi.

Tipe orang seperti ini dilakoni oleh para sufi dan pengamal tasawuf. Namun, sedikit sekali orang yang memahami dan mengamalkannya. Padahal ini adalah paradigma yang paling baik untuk implementasi keimanan. Dalam kehidupannya, jangankan menyalahkan Tuhan, mereka ini tidak pernah merasa stres dengan keadaan dan tidak pernah mengeluh atau kesal ketika dihadapkan pada sesuatu yang tidak diinginkan.

Jika tipe pecinta (lover) dapat diimplementasikan dalam kehidupan semua orang Islam, maka tentu tidak ada kebencian, tidak ada keputusasaan, tidak ada upaya menyalahkan yang lain, dan tidak ada segala hal yang memunculkan sifat kebinatangan (hawa nafsu). Namun, semua itu sangat sulit. Mengapa? Karena banyak orang yang hanya mengaku beriman, tapi tidak betul-betul beriman. Oleh karena itu, marilah kita me-refresh iman kita agar menjadi iman yang berksistensi, bukan manipulasi.

Tabik….

Thoriq Aziz Jayana

Share
Published by
Thoriq Aziz Jayana

Recent Posts

Agama dan Sains: Konflik Hingga Integrasi Keilmuan

Dilihat perspektif kesejarahan, agama dan sains mulanya bersahabat, ini pada abad 17 dimana keduanya pertama…

4 bulan ago

Konstruksi Patriarki dalam Ruang Seni

Beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat masyarakat Madura terhadap bidang seni. Peningkatan minat tersebut tidak…

6 bulan ago

Menjelajahi Konsep Kebebasan dalam Neon Genesis Evangelion melalui Lensa Filosofis Jean-Paul Sartre

Neon Genesis Evangelion merupakan salah satu anime yang sangat populer di seluruh dunia, terutama karena…

6 bulan ago

Globalisasi dan Konsekuensi Inferiority Complex

“Bodo amatlah pada standar kesuksesan yang diagungkan oleh society dan media. We Will be something,…

6 bulan ago

Hans Kelsen: Positivisme Hukum, Grundnorm, dan Stufenbau Theory

Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat…

8 bulan ago

Seni Bertahan Hidup ala Victor E. Frankl

Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan,…

8 bulan ago