image by nu.or.id
image by nu.or.id

Heterogenitas kini menjadi realitas kehidupan yang tidak mungkin dihindari. Semangat postmodernisme telah menggerakkan arus dekonstruksi terhadap nilai-nilai mapan yang dominan dan pluralitas tumbuh dengan sendirinya demi mewujudkan kehidupan yang harmonis dalam perbedaan. Banyak pengamat khawatir, pluralisme akan mengganggu nilai-nilai Islam yang telah mapan. Tetapi, tak kurang yang melihat itu sebagai cara pandang yang keliru terhadap Islam. Sebab, Islam sangat menghargai perbedaan.

Seperti pernah dikemukakan Kuntowijoyo (1998), Islam justru tumbuh menjadi agama besar dalam semangat pluralisme Piagam Madinah menjadi tonggak demokrasi dan pluralisme paling awal di dunia. Karya monumental Rasulullah SAW itu punya tujuan strategis bagi terciptanya keserasian politik dengan mengembangkan toleransi yang seluas-luasnya.

Sejarah mencatat, negara Madinah menjadi contoh kongkret keserasian hidup bernegara dan beragama. Sejumlah pengamat barat pun mengakui, Piagam Nabi itu merupakan sebuah konsensus bersama antara berbagai golongan, ras, suku, maupun agama, yang paling demokratis sepanjang sejarah. Sebab, telah mewariskan kepada kita prinsip-prinsip yang tahan banting dalam menata masyarakat pluralistik yang harmonis berlandaskan moral religius yang kokoh.

Yang menarik, piagam tersebut menjadi persetujuan bersama yang diadakan oleh Rasulullah dengan berbagai pihak di Madinah untuk hidup bersama dan membentuk suatu masyarakat yang dipimpin Nabi SAW. Di sini terlihat masyarakat memiliki kepercayaan yang besar kepada Nabi dari kalangan Yahudi, Nasrani dan kaum Anshor (penduduk asli Madinah) serta Muhajirin menunjukkan bahwa Nabi adalah sosok yang amanah dan mampu memimpin mereka dalam tatanan yang plural. Karena itulah, mereka semua meminta Nabi menjadi imam mereka. Figur Rasulullah menjadi variabel penting suksesnya pelaksanaan kesepakatan dalam piagam itu dan figur inilah yang tidak tergantikan.

Lebih dari itu, negara Madinah tidak hanya membuktikan bahwa Rasulullah memang seorang negarawan, legislator, penyeru moral, pembaharu, ahli politik dan ekonomi tapi juga sekaligus mematahkan tuduhan barat bahwa Islam anti-demokrasi. Sebab, sebelum negara demokrasi menemukan bentuknya di Barat, Rasulullah justru telah meletakkan dasar-dasar demokrasi yang sanggup menjawab kebutuhan bermasyarakat dan bernegara. Sebagai sebuah produk peradaban, Piagam Madinah banyak memberi pelajaran penting Sebagaimana umat beragama membangun suatu tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi.

Menurut Haedar Nashir (2020) menyebutkan, tatanan yang didambakan itu dapat tercapai karena substansi piagam itu memenuhi syarat syarat yang memungkinkan terwujudnya suatu konstelasi masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban. Piagam Madinah menjadi jendela bagaimana umat manusia membangun sistem peradaban yang tercerahkan dan memberi manfaat bagi semua orang. Ia menjadi aturan main agar tercapai semacam etika kolektif bagi kehidupan bersama.

Memang, substansi Piagam Madinah menegaskan suatu cita-cita terciptanya tatanan masyarakat zaman Nabi yang Islami dan sekaligus dapat menjadi tempat berlindung bagi umat lain dari berbagai suku dan agama. Piagam tersebut, menurut Haedar, menjadi contoh suatu sistem dan konstitusi yang mewadahi masyarakat yang plural. Karena itu, tidak berlebihan sosiolog Barat, Robert N Bellah, menyebutnya sebagai konstitusi termodern pada zamannya.

Setidaknya ada dua nilai penting yang dapat diambil dari Piagam Madinah dan masih relevansi hingga saat ini.

Pertama, Nabi meletakkan prinsip integrasi sosial dan politik dalam sebuah negara Madinah. Ini merupakan nilai penting dan merupakan peristiwa sejarah yang luar biasa mengingat masyarakat Madinah saat itu bersifat majemuk.

Kedua, adalah dasar penghormatan yang kokoh bagi sebuah kehidupan yang toleran dengan menjamin hak-hak kaum non-Muslim. Ini diwujudkan dengan perlindungan pada kehidupan dan harta benda mereka. Inilah sumbangan terbesar Piagam Madinah yang kemudian diadopsi oleh kehidupan modern dalam wujud hak asasi manusia.

Karena itu, jika Indonesia ingin keluar dari krisis multidimensional saat ini, bangsa Indonesia harus kembali ke fitrahnya yang murni dengan cara menghayati dan memahami ajaran agamanya lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk mengambil nilai-nilai penting yang ada di dalam piagam Madinah dan menjaga spirit Piagam Madinah dapat tetap menjiwai kehidupan sehari-hari, baik kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Untuk itu, agenda kultural harus dijadikan acuan bersama dalam membangun masyarakat madani yang bukan sekadar demokratis, tapi juga bisa diterima semua kalangan disertai penegakan hukum dan keadilan bagi semua tanpa pandang bulu.

About The Author