image by democracy.fes.de
image by democracy.fes.de

Sekitar abad ke-18 sampai 19 di Prancis dan Inggris, masyarakat sipil tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Kekuasaan tak terbatas raja, monopoli, dan hambatan perdagangan sebagai cerminan pemerintahan otoriter membelenggu tatanan kehidupan. Namun kemudian timbullah semangat kebebasan dari setiap individu dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan meraih kebahagiaan, dengan mendorong perubahan dan inovasi organisasi sosial, yang kemudian dikenal sebagai gerakan liberalisme.

Gerakan tersebut secara pesat berkembang dan menyebar ke berbagai aspek, tidak saja di bidang sosial, tetapi juga politik, ekonomi dan budaya, yang ditandai lahirnya gerakan-gerakan meliputi perjuangan penghapusan perbudakan, penyebaran hak suara bagi masyarakat sipil, kebebasan berekspresi dalam kesenian hingga perlindungan terhadap hak asasi manusia. Liberalisme membawa manusia mencapai kebebasan dari jerat sistem monarki; hak istimewa dan hak absolut raja.

Liberalisme dan keberhasilannya, dalam konteks kehidupan modern, menjadi pembuka bagi kesetaraan martabat di antara sesama manusia. Masyarakat sipil bebas untuk berpendapat, ada kesamaan hak dalam politik, dan berbagai bentuk kebebasan lainnya. Butir-butir pemikiran liberal lalu turut menjadi dasar terciptanya sistem pemerintahan modern, maka lahirlah sistem demokrasi, yang dalam teori maupun praktik telah dimodifikasi dari era Yunani Kuno. Demikian adanya.

Pada abad ke-5 SM di negara kota (polis), kedaulatan rakyat dijalankan secara langsung dalam pemerintahan sekelompok kecil. Di pusat polis ini seluruh penduduk berkumpul, membahas segala masalah menyangkut kepentingan umum. Rakyat diberi kebebasan untuk membuat keputusan-keputusan politik berdasarkan prosedur mayoritas. Seiring berjalannya waktu, implementasi kedaulatan rakyat bergeser menemui istilahnya yang lebih praktis, disebutnya demokrasi.

Meski begitu, masih terdapat pula kecenderungan memaknai demokrasi sebagai bagian dari agenda liberalisme dalam aspek politik, sehingga benar bahwa ketimpangan ekonomi adalah hal yang wajar. Sebab demokrasi maupun pasar bebas (kapitalisme) hanya sebatas representasi liberalisme pada masing-masing aspek. Padahal antara liberalisme dan demokrasi, bukan juga satu konsepsi pemikiran, tetapi kebetulan saja memiliki keselarasan visi, pun dengan keharusan sejarah, saat berakhirnya sistem pemerintahan otoriter di akhir abad ke-19.

Implementasi kedaulatan rakyat, yang merupakan prinsip dasar demokrasi, telah memberi ruang bagi segala bentuk kreativitas manusia; ada toleransi dan penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan dan pandangan. Nilai-nilai demokrasi dengan sendirinya berlaku ke arah yang lebih beragam. Juga demikian liberalisme saat mengganti monarki absolut dengan sistem demokrasi, sebagai syarat untuk membuka persamaan derajat diantara sesama manusia dalam berbagai aspek.

Tetapi keberhasilan liberalisme tidak sampai menjadi pemutus mata rantai ketimpangan sosial, dan malah semakin memperparah. Sebabnya tidak sedikit anggapan terhadap liberalisme sebagai penyebab atas segala bentuk penderitaan umat manusia, dengan memunculkan persaingan hidup akibat semangat kebebasan, yang membuka peluang bagi manusia berbuat semena-mena hingga yang saling membunuh satu sama lain, terutama yang didasarkan pada kalkulasi ekonomi.

Kesalahpahaman ini, yang dalam gilirannya turut menormalisasi ketimpangan sosial, hanya dimulai oleh liberalisme sendiri. Para pemikir dan gerakan liberal selalu menyertai doktrin liberal yang berbeda, sehingga pada “liberalisme” terdapat keberagaman misi, baik di setiap waktu, budaya dan benua. Suatu pemikiran yang terpisah dan sering kali bertentangan. Tetapi satu-satunya yang pasti adalah bahwa ia tidak lahir kecuali dari semangat zaman yang menghendaki pembebasan manusia dari penindasan raja (monarki absolut).

Sebab itu, liberal hendaknya tidak dimaknai sebagai ‘keinginan’ bebas begitu saja, tetapi bebas dari belenggu, yakni kembali memanusiakan manusia; menghilangkan kebendaan, ketergantungan dan kekerasan, yang niscaya demokratis sebagai satu-satunya pilihan prinsip untuk mengatur tatanan sosial. Suatu keperluan untuk membedakan dengan zaman yang hanya terbatas oleh hak-hak raja, demikian dalam peradaban modern, pasar dan negara sering kali bersekutu menjadikan manusia pengabdi, penindasan terhadap martabat manusia masih saja berlangsung.

Demokrasi Berarti Supremasi Hukum.

Kesetaraan hak diantara sesama manusia sebagai konsekuensi dari tendensi demokrasi, harus diakui juga lahir dan berkembang dari perjuangan liberalisme, dimana dalam pemahaman liberal, tidak ada warga negara dalam rezim yang dapat mengklaim untuk memerintah dengan hak alami atau supernatural, tanpa persetujuan dari yang diperintah (Government by the Consent of The People or The Governed). Meski begitu, kaum liberal awal sering kali tidak setuju dengan bentuk pemerintah yang paling tepat, tetapi mereka semua percaya bahwa kebebasan itu adalah natural dan bahwa pembatasannya membutuhkan pembenaran yang kuat.

Kondisi ini yang kemudian menjadi pembenaran dilain sisi, bahwa liberalisme bukan pula sebuah kerangka utuh, melainkan hanya prinsip dasar, karenanya ada upaya yang memungkinkan individu untuk membentuk tatanan alternatif, disebutlah dengan kontrak sosial sukarela. Dimana setiap individu menyerahkan sebagian dari kebebasan mereka dan tunduk kepada keputusan (mayoritas) dengan imbalan perlindungan hak dan pemeliharaan tatanan sosial. Secara simbolis, yang demikian adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (from the people, of the people and for the people). Nilai-nilai demokrasi berlaku secara sederhana.

Untuk memastikan persamaannya, dibuatlah hukum (the Rule of Law (Anglo Saxon) / Rechtsstaat (Eropa Kontinental)). Tatanan sosial yang bukan berdasarkan kekuasaan, dengan kata lain supaya dalam masyarakat modern, tidak ada seorang pun bisa menikmati manfaat lebih dari siapa pun dan semua orang adalah subjek yang sama di hadapan hukum. Dengan begitu negara hukum menandai adanya perubahan sosial yang secara historis berakar pada pergolakan melawan tekanan arbitrase dan kekuatan politik. Rule of law/Rechtsstaat berarti supremasi hukum.

Melalui keyakinan dan pemahaman yang dimiliki bersama, yang diberikan melalui hukum, masyarakat mengkoordinasikan aktivitasnya secara lebih baik dan berguna. Hingga dikemudian, terdapatnya ikatan yang kuat antara rule of law yang individualis dan rechstaat yang liberalis dengan keinginan untuk menetapkan kebebasan politik individu dan kebebasan individu untuk berkeyakinan dan beragama, juga (larut) membuka peluang bagi siklus ekonomi pasar bebas dan menjadi bagian dari hasil kedaulatan hukum.

Sebab kekuatan ekonomi dan pengambilan keputusan tersebar di seluruh masyarakat. Maka percampuran antara hukum, individu dan masyarakat, juga sulit dihindari, lalu terjadilah pemisahan antara dunia hukum publik dan politik dengan bidang yang lebih pribadi mengenai relasi-relasi pasar, kehidupan keluarga dan pola-pola terkait (agama, politik dan intelektual) yang berbasis pada kebebasan individu sebagai aktor utamanya dalam masyarakat.

Sedangkan dalam masyarakat yang sejauh mana mereka diatur berdasarkan konsep rule of law maupun rechtstaat, terdapat perbedaan, bukan hanya masyarakat yang memiliki keterbatasan secara teknis, organisasi dan kompleksitas ekonomi, melainkan juga masyarakat yang unggul dalam perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya hukum terbit sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi.

Yang bukan saja dimanfaatkan oleh kekuatan ekonomi tertentu, untuk mengejar keuntungan-yang utamanya didasarkan pada rasionalitas (akumulasi), tapi juga membuat ‘hukum’ sendiri seperti tak berdaya, oleh terbatasnya fungsi untuk menjaga stabilitas tatanan individu. Tentu supremasi hukum yang sedari awal memperlakukan sama dan tidak memihak (Equality Before the Law), benar-benar masih tetap berada dalam relnya.

Sampai pada titik inilah, kekuasaan hukum tidak lagi menjadi jaminan untuk menjawab akibat-akibat yang ditimbulkan rasionalitas aktivitas ekonomi, yang dalam  berorientasi untuk memperoleh keuntungan, dan pendapatan lainnya. Sebagaimana pertukaran dalam pasar, dimana perencanaan dan implementasi investasi untuk menghasilkan keuntungan pribadi, kepemilikan properti dan kewajiban kontraktual akan diberikan prediktabilitas dan keamanan.

Pada saat yang sama, aktivitas ekonomi yang membutuhkan seperangkat peraturan itu, agar sejalan dengan tatanan sosial yang teratur, memerlukan beberapa langkah untuk menunjukkan kekuatan negara agar menyelesaikan konflik ekonomi serta dapat mempertahankan keteraturan sosial. Melalui mekanisme yang didasarkan pada norma positif (perundang-undangan), negara dan pasar menopang satu sama lain.

Menuju Demokrasi Deliberatif

Tampaknya, walau supremasi hukum benar terjadi, tidak juga sepenuhnya menjamin tatanan sosial berlaku demokratis, entah hukum terjerumus atau hukum yang salah urus, yang oleh suatu sumber kekuasaan politik tertentu difungsikan untuk melegitimasi tindakan, bahwa hilangnya kebebasan politik (kesetaraan hak) tidak hanya menimbulkan kemerosotan budaya, melainkan juga menyebabkan bencana kemelaratan. Sehingga cita-cita demokrasi yang demikian niscaya hanya berorientasi pada penguatan kepentingan individu dan kelompok tertentu.

Keadaan tersebut telah ditandai dengan adanya penurunan eksistensi negara (dalam hal ini negara hukum), dan menganggap negara tidak lagi dibutuhkan akibat tidak dapatnya membendung ketimpangan sosial. Tetapi oleh sebab distorsi ini pula, konsep negara hukum mengalami perkembangan, yang awalnya hanya mendahulukan hukum dan ketertiban masyarakat (sebagai pandangan filosofis pergaulan masyarakat berkenaan dengan prinsip demokrasi) kemudian bertransformasi dalam konsepnya yang baru mengenai pembangunan kesejahteraan, sebagai wujud tanggungjawab atas sejahteranya rakyat.

Rumusan rechtsstaat maupun rule of law dalam periode selanjutnya (khususnya dalam memenuhi tuntutan perkembangan abad ke-20) juga bertransformasi menjadi law as tool of social engineering (hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat),  yang dimulai di Amerika Serikat. Hukum tidak lagi hanya sebagai titik temu, melainkan turut berlaku mendistribusikan bermacam kebutuhan sosial. Pergeseran secara drastis lalu terjadi oleh karena rakyat tidak dalam keadaan yang sejahtera, dan membuat negara-negara hukum mengatur berbagai pokok persoalan kehidupan bernegara. Dalam istilahnya yang sederhana, dikenal kemudian negara kesejahteraan (welfare state).

Hanya saja dalam persoalan berikutnya, hukum yang sudah semakin kuat keberadaannya (supremasi hukum), malah tidak juga menciptakan kesejahteraan, tetapi justru berlaku sesuai selera dan kehendak dari kekuatan yang berlegitimasi. Hal ini pula yang kemudian turut menguatkan tesis tentang sistem demokrasi yang sifatnya negatif, sebab selalu ditemuinya jalan terjal bagi upaya-upaya demokratisasi untuk menciptakan kehidupan bersama, terlebih dalam masyarakat modern, demokrasi boleh jadi menjadi lebih sulit sebagai akibat perkembangan teknologi, tetapi ia juga telah berlaku lebih penting.

Maka terdapat keperluan untuk membuka ruang di luar kekuasaan administratif negara, agar masyarakat sama-sama memahami kepentingan yang diperjuangkan, menegaskan eksistensi setiap individu dalam pemenuhan hak-hak dasarnya; hak dasar kebebasan dan hak dasar partisipasi, melalui pemanfaatan ruang publik dengan kesempatan secara merata bagi semua pihak, yang didasarkan atas tidak diperolehnya legitimasi sebagai negara hukum tanpa demokrasi radikal, yakni demokrasi deliberatif.

Suatu sistem yang mengedepankan konsensus dan tindakan komunikatif, sebagai upaya melibatkan aspirasi dan gagasan masyarakat dalam pembentukan hukum maupun kebijakan publik. Untuk membuka jalan politik baru bagi integrasi sosial masyarakat modern (setelah kemajemukan hampir tidak mungkin lagi didamaikan dengan menggunakan cara-cara berpikir lama) dan menempatkan masyarakat pada posisi yang lepas dari ketidaktahuan dan dominasi penguasa; membangun tradisi emansipasi.

Sebab dengan tidak terpenuhinya proses demokrasi, baik masih berlakunya sistem perwakilan atau terbatasnya hak dasar setiap individu, justru pertegas keberadaan negara dan pasar yang berlaku larut menormalisasi ketimpangan sosial, dan tidak hanya membuat manusia kembali terisolasi, maka harus diakhiri, yang hanya mungkin terjadi selepas kembalinya hak-hak setiap individu untuk membuat keputusan-keputusan mengenai kehidupan bersama, melalui mekanisme ruang publik, dengan hubungan sukarela yang lepas dari tendensi ekonomi, secara mandiri.