image by wikimedia commons via kompas.com
image by wikimedia commons via kompas.com

Agama di satu sisi merupakan sebuah penghayatan, kepercayaan atau keyakinan (keimanan) secara personal. Demikian di sisi lain,  agama memiliki dimensi sosial-kultural sebagai perwujudan dari perilaku pemeluk agama serta berpengaruh terhadap realitas sosial serta melahirkan beragam sikap dan perilaku keagamaan. Demikian juga hal itu meniscayakan adanya otoritas bagi orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keimanan yang lebih baik (orang saleh),  pengetahuan keagamaan lebih dalam atau keturunan dari orang-orang saleh.

Otoritas-otoritas ini muncul bahkan sejak adanya para Nabi dan telah dipraktikan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana posisinya sebagai pemegang otoritas tertinggi di antara umat manusia yang lain karena tugasnya sebagai utusan Allah dan penerima Kitab Allah (Al-Qur’an), namun setelah ia wafat, pemegang otoritas ini berpindah pada sahabat-sahabatnya sampai kepada khalifah sebagai pemimpin agama dan pemimpin pemerintah. Hal demikian berdampak pada legitimasi pengetahuan dan keilmuwan Islam ada pada pemimpian tertinggi Islam, yakni khalifah pada saat itu.

Perkembangan dan ekspansi Islam ke Negara lain meniscayakan adanya akulturasi pemikiran sehingga melahirkan gagasan-gagasan baru dan ilmu baru serta paradigm baru dalam mengembangkan pengetahuan. Pola ini memuncak pada masa Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah, yakni epistemologi baru yakni irfani dan Burhani, di sisi lain otoritas teks sebagai landasan agama tentap menjadi sandaran umat Islam serta sebagai rujukan yang sangat berkaitan dengan tradisi dan budaya masyarakat Arab sehingga disebut epistemologi bayani. Ketiga epistemologi ini  yang digagas oleh Abid al-Jabiri memberika keleluasaan dan gambaran bagaimana pengetahuan itu lahir dan berkembang serta pengaruhnya yang juga merasuki sosok pembaharu Islam, yakni Muhammad Iqbal dalam filsafat Khudi-nya. Sehingga penelusuran terhadap ketiga aspek tersebut dirasa penting  untuk dikaji lebih mendalam dalam tulisan ini.

Dalam tataran epistemologi keilmuwan, Al-Jabiri mengklasifikasi babakan geneologi epistemologi Islam yang masyhur disebut epistemologi Arab dan perkembangan pemikiran Islam menjadi 3 jenis tradisi, yakni Bayani, Irfani dan Burhani. Jenis pertama, yakni epistemologi bayani, merupakan epistemologi yang berkembang pertama kali dan melekat dalam kultur masyarakat Arab bahkan sebelum berakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Epistemologi bayani memprioritaskan teks sebagai sumber otoritatif sehingga aktivitas inteletual berada dalam ruang gerak ijtihad yang terikat erat dengan nass. Adapun epistemologi irfani, muncul dan berkembang setelah mengalami gesekan dengan tradisi persia sehingga pendekatan gnosis dan intuitif masuk dalam diskursus pemikiran Islam sehingga kecenderungan tersebut melahirkan tradisi irfani. Epistemologi kedua ini meniscayakan adanya penyatuan spiritual, yakni antara jiwa manusia dengan Tuhan sehingga mampu mencapai maqam tertinggi dan pengetahuan yang hakiki dan bersifat spiritual-sufistik. Sedangkan, berbeda dari dua epistemologi sebelumnya, epistemologi burhani lahir dari adanya akulturasi dengan pemikiran Yunani yang mengidealkan pengetahuan melalui indera dan daya rasio. Epistemologi ini memusatkan kemampuan intelektual dan eksperimen manusia  sebagai landasan utama untuk mencapai pengetahuan yang sistematis, valid dan postulatif dalam memahami realitas.[1]

Muhammadun memposisikan ketiga epistemologi tersebut berkembang dan berkelindan dalam diskursus pemikiran Islam. Epistemologi bayani yang terpaku pada teks lahir dari kontruksi pemikiran Arab sehingga tak terpisahkan dari buah hasil pemikiran yang kemudian melahirkan ragam ilmu-ilmu al-Qur’an dan fikih serta aturan-aturan yang melekat pada pola budaya Arab, ia memaparkan bahwa epistemologi bayani hanya berkutat pada teks atau sumber-sumber ayng sudah ditetapkan oleh sumber otoritatif dalam agama, seperti al-Qur’an dan Hadis serta ijma’dan qiyas. Meskipun di satu sisi al-Qur;an sebagai landasan atau spirit, namun di sisi lain epistemologi bayani menggunakan epistemologi Arab yang berkaitan erat dengan budaya yang menjadi rujukan sehingga menghasilkan pemikiran yang tidak dapat dilepaskan dari budaya Arab dan kajian tekstualis. Adapun terkait kedua epistemologi berikutnya, yakni epistemologi irfani dan burhani tidak terlepas dari gesekan dan dinamika resepsi dan distorsi apabila dihadapkan dengan realitas dan perkembangan keilmuwan dan perkembangan pemikiran Islam, karena satu sama lain terikat dalam membangun pola peepistemologian masyarakat Arab dan yang mendominasi pemikiran Islam.[2]

Epistemologi bayani meragukan keabsahan dan kevalidan sebuah hasil pemikiran apabila terpisah jauh atau tidak melibatkan teks sebagai sandaran atau pijakan pembenaran, sedangkan epistemologi burhani meragukan keabsahan hasil pemikiran apabila tidak sesuai dengan aturan dalam logika,  serta prinsip-prinsip sebuah pemikiran dikatakan ilmiah. Pun dengan epistemologi irfani yang justru terlepas dari keduanya, sehingga epistemologi ini meragukan sebuah pemikiran apabila kaku dan menyempitkan pemahaman hanya pada teks, serta tidak mengindahkan posisi intuisi sebagai intrumen untuk memperoleh pengetahuan.[3]

Dialektika yang terbangun, baik dalam epistemologi bayani dengan kecenderungan tekstualitas dan pengabaian terhadap rasio dan di sisi lain epistemologi burhani dengan orientasi terhadap rasio sebagai landasan utama, demikian epistemologi irfani dengan prioritas terhadap intuisi dan spiritualitas. Ketiganya akan selalu saling berintegrasi dan secara dinamis dan menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielak karena akan selalu sejalan dengan kompleksitas umat Islam baik di Timur hingga Barat dengan ruang lingkup dan objek kajian yang akan terus berkembang dalam studi Islam.

Filsafat Khudi

Muhammad Iqbal merupakan sosok penyair, filsuf,serta sosok pembaharu Islam. Iqbal lahir di Sialkot, Punjab (saat ini menjadi bagian Pakistan) pada 9 November 1877 M. Salah satu pemikiran Iqbal yang cukup terkenal adalah tentang filsafat khudi yang nanti berpengaruh terhadap pemikirannya yang lain seperti mempengaruhi pemikirannya tentang dinamisme Islam. Adapun Khudi secara harfiah berarti ego atau individualitas yang dipahami sebagai upaya mengungkapkan diri. Individu, ego dan pribadi atau khudi merupakan aspek terpenting dalam filsafat Iqbal, sehingga filsafat khudi seringkalu juga disebut filsafat ego. Konsep tentang ego tersebut yang nanti menjadi landasan dari struktur pemikiran Muhammad Iqbal. Khudi, menurut Iqbal merupakan sebuah prinsip kesatuan yang mengatur bukan sbuaharus yang tak terbentuk. Manusia memiliki sekumpulan kekuatan dalam menyusun perintah dan dorongan, salah satunya adalah ego. Ia memahaminya sebagai suatu realitas yang nyata dan menjadi fondasi dari seluruh unsur kehidupan.[4]

Ego merupakan sesuatu yang dinamis, ia mampu menggorganisir dirinya sesuai waktu dan mampu mendisiplinkan pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Ego dipahami oleh Iqbal sebagai semua jalinan masa lalu dan ingatan, ia juga merupakan esensi watak seseorang dan yang menghubungkannya dengan Tuhan. Hal itu karena ego bergerak sesuai perintah Ilahi, sehingga kebebeasan manusia atau realitas eksistensi manusia adalah terletak pada unsure keterpimpinan egonya oleh Tuhan. Sedangkan Tuhan merupakan ego mutlak (khuda) yang menurutnya, semakin kehendak-dan perbuatannya melemahkan egonya, maka semakin jauh pula ego diirinya dengan ego mutlak. Sebaliknya, semakin dekat seseorang dengan Tuhan, maka egonya semakin kuat. Demikian karena ego yang sifatnya dinamis dapat dipengaruhi oleh faktir dari luar atau factor lingkungan yang membentuk dan terinternalisasi dalam dirinya[5].

Filsafat ego Muhammad Iqbal berbeda dengan pemahaman ego yang dipaparkan oleh Descartes karena ego yang dimaksud oleh Iqbal tidak sekadar dipahami sebagai kegiatan berpikir, melainkan sebagai sebuah tindakan, harapan atau keinginan. Ego tersebut yang kemudian merefleksikan gerak pada manusia yang terbentuk dari tindakan-tindakan dan pembiasaan pada ego.

Sebagai seorang manusia yang merupakan bagian dari masyarakat harus selalu progresif sehingga mampu mampu untuk terus bergerak menuju kemajuan dan memperbaiki peradaban yang dalam pemahaman Iqbal masih cenderung jumud atau kaku.  Oleh sebab itu, manusia sendiri yang mampu mengendalikan dan mengatur kegiatannya agar dekat dengan Tuhan. Selanjutnya, khudi  atau ego manusia akan cenderung mengarahkan pada dua hal, apabila ego diaplikasian pada aspek sosial politik, maka perlu adanya dinamisme Islam dan apabila khudi masuk dalam tasawuf maka Ia membuka tabir-tabir aktualisasi manusia kepada Tuhan. Namun, di samping itu, untuk mencapai kesempurnaan dan kedekatan dengan ego mutlak (khuda) maka manusia harus berusaha mengendalikan dirinya dari hal-hal yang menghambat keterkaitan dan kekuatan egonya dengan ego mutlak. Adapun upaya-upaya dalam mencapai kesempurnaan khudi seseorang, terdapat tiga fase yakni kekuatan pada hukum Ilahi, penguasaan dan perwakilan ilahi. [6]

Di samping itu, terdapat beberapa karakteristik khudi sebagaimana ia mampu menjadi esensi gerak manusia. Pertama, khudi bersifat tesendiri dam unik. Walaupun hidup adalah diri yang berinteraksi dengan diri-diri lain diluar dirinya, namun ia tetap terpusat pada setiap diri seseorang dan menjadi esensi dari kedirian seseorang, sehingga khudi tersebut yang menjadi pembeda manusia dengan organisme lain. Kedua, khudi efektif bersifat dinamis. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, khudi dapat berkembang dan terus dinamis, serta dapat melemah dan menguat. Apabila seseorang memiliki hasrat keakuan dalam dirinya semakin kuat maka semakin kuat pula khudi-nya serta berlaku sebaliknya. Menguat dan melemahnya khudi  dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti cinta kasih, Faqir, berani atau keberanian, hingga urgensi adanya toleransi. Ketiga, khudi bersifat teleologis, artinya khudi tidak terikat dengan ruang dan waktu, serta ia merupaka potensi yang ada dalam diri manusia sehingga dapat terus dikembangkan dan diupayakan agar bisa mendekat dengan Tuhan.[7]

Epistemologi Islam dalam Filsafat Khudi

Paparan mengenai filsafat khudi  Muhammad Iqbal mengindikasikan pola epistemology yang dapat dilihat dari kerangka berpikirnya dalam membentuk konsep khudisebagai landasan gerak dan berpikir seorang manusia. Melalui pisau analisis paradigm epistemology Islam Abid al-Jabiri, filsafat khudi  Muhammad Iqbal dapat dipahami sebagai berikut:

Filsafat khudi Muhammad Iqbal cenderung menggunakan epistemologi burhani dan Irfani, adapun bayani sebagai epistemology yang mendasarkan teks sebagai otoritas kebenaran tertinggi tidak digunakan secara gamblang dalam konsepnya. Namun, ia menggunakan spirit al-Qur’an sebagai bentuk legitimasi bahwa ada anjuran perubahan dan kemajuan dalam al-Qur;an. Di sisi lain, Iqbal sangat mengktirik terhadap pemikiran-pemikiran yang jumud dalam memahami al-Qur’an. Bahkan ia menekankan bahwa adanya teks bukan sebagai teks perundangan yang kaku dan stagnan sehingga tidak relevand dalam menjawab problematika umat Islam saat ini.

Lahirnya dinamisme Islam merupakan salah satu bentuk upayanya dalam memantik spirih kebaharuan umat Islam agar terus bergerak karena masing-masing manusia dianugerahi ego atau khudi yang senantiasa merujuk kepada kebenaran dan kemajuan apabila manusia mengembangkannya, serta adanya kehendak ilahiyah atau ketersambungan khudi dengan khuda.

Epistemologi Burhani banyak mewarnai pola pikir Muhammad Iqbal dalam proses lahirnya filsafat Islam. Pergulatan pemikirannya di Barat serta kekagumannya pada kemajuan Barat menjadikan Iqbal pembaharu yang menghendaki Islam mampu bersaing dengan peradaban Barat. Ia memandang bahwa realita keterpurukan umat Islam saat ini karena kejumudan umat Islam dalam segi pengembangan keilmuwan sehingga Barat menguasai sector-sektor penting yang mana Umat Islam justru bergantung dan perlahan terhegemoni. Proposisi-proposisi yang demikian menghasilkan gagasan bahwa umat Islam perlu bangun dan bergerak, mereinterpretasi sumber-sumber agama yang humanis dan terbuka, serta perlunya umat Islam meniru Barat dalam persoalan keilmuwan namun tidak bisa mengambil sisi sekularisme, liberalism dan imperialism yang menjadi ideology Barat. Di samping itu, umat Islam perlu mengambil peran sosial politik sebagaimana ia contohkan sebagai pelopor lahirnya Republik Pakistan sebagai Negara Islam yang memisahkan diri dari India yang notabene memiliki beragam kepercayaan.

Adapun epistemology Irfani merasuki pemikiran Muhammad Iqbal dalam memahami posisi khudi dan khuda, namun Iqbal tidak semerta-merta mengambil konsep irfani sebagai salah satu metode yang digunakan secara utuh dalam menemukan kebenaran atau pengetahuan, melainkan Iqbal menyadari bahwa ada sisi intuisi yang tidak dapat diabaikan sebagai bentuk kehendak ilahi yang terhubung melalui khudi dengan khuda (ego mutlak). Iqbal memposisikan ego sebagai esensi penggerak yang ada dalam diri manusia, ego tersebut yang menjadi jalan manusia terhubung dengan Tuhan, dan dari kekuatan ego pula yang melahirkan tata laku dan tata nilai yang terefleksi dalam kegiatan dan sikap keseharian, pembiasaan dan lain sebagainya. Namun, perlu digarisbawahi bahwa keterhubungan tidak lantas sebagaima penyatuan dalam konsep-konsep sufi. Melainkan potensi atau fitrah yang selalu cenderung pada kebaikan dan kemajuan. Sedangkan konsep penyatuan, terutama yang digagas oleh Ibnu ‘Arabi sangat ditentang oleh Muhammad Iqbal karena mengabaikan kedirian manusia, hakikat manusia sebagai anugerah Tuhan yang juga berfungsi sebagai khalifah di bumi. Sehingga aspek duniawi dan ukhrawi harus seimbang, dari sinilah lahir konsep Insan Kamil yang menurut Iqbal merupakan bentuk manusia yang ideal yang mampu mengembangkan potensi kemanusiaannya dan mencapai puncak spiritualitas.

Kesimpulan

Epistemologi Islam menggambarkan bahwa dalam beragama gagasan dan pemikiran yang lahir memiliki kecenderungan metode dan pola dalam mendapatkan dan memvalidasi sebuah kebenaran. Pemikiran Iqbal hadir sebagai bentuk integrasi dari beberapa epistemologi hingga hadir pemikiran tentang Filsafat khudinya. Meskipun tidak dapat dielakkan bahwa ada kecenderungan terhadap salah satu epistemologi tersebut. Namun, sekelumit pemikirannya tentang ego menunjukkan bahwa gagasan ini lahir melalui pergumulan epistemologi Islam, baik dari kedudukan teks, proposisi ilmiah dan aspek ruhaniah yang menurut Iqbal penting untuk dimiliki manusia sebagai upaya mencapai keempurnaan diri yakni Insan Kamil.

Referensi

Masruri, Muhammad. Muqowim, dan Radjasa. “Konsep Khudi Iqbal dalam Pengembangan Kreativitas Pembelajaran di Madrasah”. Jurnal Penelitian Keislaman. Vol. 16. No. 1. (2020).

Muhammadun.“Kritik Epistemologi Al-Jabiri: Bayani, Irfani dan Burhani dalam Membangun Islamic Studies Integrasi-Interkoneksi” EduProf. Vol. 1. No. 02. September 2019.

Rusdin.  “Insan Kamil dalam Perpektif Muhammad Iqbal”.Rausyan Fikr. Vol. 12, No. 2, Desember 2016.

Soleh, Khudori. FIlsafat Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.

[1] Muhammadun, “Kritik Epistemologi Al-Jabiri: Bayani, Irfani dan Burhani dalam Membangun Islamic Studies Integrasi-Interkoneksi” EduProf, vol. 1, no. 02, September 2019, hlm. 136-137.

[2]  Ibid., 139.

[3] Ibid.,140.

[4]Muhammad Masruri, Muqowim, dan Radjasa, “Konsep Khudi Iqbal dalam Pengembangan Kreativitas Pembelajaran di Madrasah”, Jurnal Penelitian Keislaman, vol. 16, no. 1, (2020), hlm. 52.

[5] Ibid., hlm. 53

[6] Ibid., hlm. 53-54.

[7] Rusdin, “Insan Kamil dalam Perpektif Muhammad Iqbal”Rausyan Fikr, vo. 12, no. 2, Desember 2016, hlm. 264-265.