Categories: Filsafat

Manusia Theomorfis: Manusia Ideal Dalam Pandangan Ali Syari’ati

Ali Syari’ati (1933-1977) merupakan salah satu tokoh yang disebut-sebut sebagai tokoh yang memiliki peran penting bagi revolusi di Islam di Iran pada tahun 1979, yaitu sebagai peletak ideologinya. Ia dilahirkan di Khurasan, Iran pada 23 November 1933. Ayahnya merupakan seorang aktivis dan sufi di Iran. Maka tidak mengherankan jika ayahnya sangat peduli dengannya, sehingga membesarkannya denga keilmuan.

Pemikiran-pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, dan para tokoh sosiologi dari Barat. Ali Syari’ati meninggal di Southampton, Britania Raya pada 19 Juni 1977. Kematiannya di usia 43 tahun terjadi karena dibunuh oleh mata-mata yang diduga kuat sebagai pengikut Syah Pahlevi yang masih tersisa. Meskipun hanya memiliki waktu hidup selama 43 tahun, pemikiran-pemikirannya menjadi dikenali oleh banyak orang dan dijadikan rujukan oleh akademisi Muslim.

Ia memiliki setidaknya 29 karya saat ia masih hidup. Beberapa karya yang terkenal darinya adalah Hajj (The Pilgrimage), Marxism and Other Western Fallacies: An Islamic Critique, Where Shall We Begin?, Mission of a Free Thinker, The Free Man and Freedom of the Man, Declaration of Iranian’s Livelihood, Reflections of a Concerned Muslim on the Plight of Oppressed People, The Philosophy of Supplication. Karya-karyanya banyak membahas tentang agama dan manusia.

Salah satu pemikiran Ali Syari’ati yang terkenal adalah konsep tentang manusia ideal (theomorfis). Pemikirannya tentang manusia ideal juga banyak dipengaruhi oleh Muhammad Iqbal. Menurut Ali Syari’ati, manusia merupakan salah satu makhluk dari Allah yang mendapatkan keistimewaan untuk mengubah dirinya dari makhluk yang biasa (being) menjadi makhluk yang sempurna (becoming).

Becoming merupakan tipe manusia yang bergerak untuk maju, mencari kesempurnaan, merindukan keabadian, dan tidak terhenti atau tidak terhalangi apapun untuk mencapai kesempurnaan. Ali Syari’ati juga berpendapat bahwa untuk mencapai kesempurnaan, manusia telah dibekali oleh Allah SWT dengan tiga potensi dasar, yaitu kesadaran diri, kehendak bebas dan kreatifitas. Sisanya tinggal manusia sendiri apakah mereka bisa mengembangkan tiga potensi dasar yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya.

Di samping itu, Ali Syari’ati juga menegaskan bahwa hendaknya manusia dapat memenangkan pertarungan dalam dirinya sendiri untuk lebih memilih sifat-sifat mulia Ketuhanan dari pada harus memenuhi sifat-sifat yang rendah lainnya. Hal tersebut didasarkan olehnya dengan perintah Allah yang menegaskan bahwa manusia merupakan khalifah Tuhan di bumi. Manusia memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk menjaga bumi sebagai wakil dari Allah SWT.

Bagi Ali Syari’ati, manusia ideal juga memiliki tiga aspek utama yaitu kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Ketiga aspek tersebut dapat tercapai dengan maksimal apabila manusia dapat memaksimalkan tiga potensi utama dari Tuhan yang telah dijelaskan di atas yaitu kesadaran, kebebasan, dan kreativitas. Manusia ideal dalam pandangan Ali Syari’ati juga memiliki otak yang brilian dan kelembutan hati yang berimplikasi pada aspek filosofis dalam dirinya karena manusia ideal menurutnya adalah manusia yang filosofis.

Namun perlu digarisbawahi bahwa filosofis yang disebut oleh Ali Syari’ati tidak mudah terlena dengan pikiran-pikiran yang abstrak. Manusia ideal merupakan manusia filosofis yang tidak melupakan kondisi di sekitarnya dan peduli dengan aktivitas dalam lingkup sosio-politik tanpa terjebak pada kerakusan, kekuasaan, gila kehormatan, dan lain sebagainya.

Konsep pemikiran manusia ideal (theomorfis) dalam pandangan Ali-Syari’ati sepertinya memiliki banyak pengaruh dari konsep manusia ideal (insan kamil) dari Muhammad Iqbal. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran-pemikirannya tentang manusia idealnya memberikan kontribusi besar bagi masyarakat Islam Syiah di Iran selaku dia merupakan seorang Syiah.

Naufal Robbiqis Dwi Asta

Share
Published by
Naufal Robbiqis Dwi Asta

Recent Posts

Agama dan Sains: Konflik Hingga Integrasi Keilmuan

Dilihat perspektif kesejarahan, agama dan sains mulanya bersahabat, ini pada abad 17 dimana keduanya pertama…

4 bulan ago

Konstruksi Patriarki dalam Ruang Seni

Beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat masyarakat Madura terhadap bidang seni. Peningkatan minat tersebut tidak…

6 bulan ago

Menjelajahi Konsep Kebebasan dalam Neon Genesis Evangelion melalui Lensa Filosofis Jean-Paul Sartre

Neon Genesis Evangelion merupakan salah satu anime yang sangat populer di seluruh dunia, terutama karena…

6 bulan ago

Globalisasi dan Konsekuensi Inferiority Complex

“Bodo amatlah pada standar kesuksesan yang diagungkan oleh society dan media. We Will be something,…

6 bulan ago

Hans Kelsen: Positivisme Hukum, Grundnorm, dan Stufenbau Theory

Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat…

8 bulan ago

Seni Bertahan Hidup ala Victor E. Frankl

Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan,…

8 bulan ago