Categories: FilsafatSejarahSosial

New Normal dalam Analisis “Struggle for Life” Darwinisme

Banyak yang menyamakan kebijakan “new normal” yang digagas pemerintah dengan wacana herd immunity yang akhir-akhir ini dipercaya menjadi solusi wabah pandemi. Tak sedikit pula yang menganggap bahwa “new normal” hanya sebagai kamuflase dari perwujudan herd immunity yang dinilai ganas dan dapat memberikan dampak berbahaya bagi kehidupan masyarakat. Tentu para pembaca boleh tidak sepakat dengan wacana ini. Namun, asumsi demikian turut meramaikan wacana-wacana publik mengenai pandemi yang tak kunjung selesai, serta menandakan bahwa masyarakat masih memiliki perhatian lebih di tengah-tengah sikap acuh mereka akibat ketidakpastian wabah ini.

Saat ini Indonesia sudah memasuki bulan ke-4 sejak penyebaran pandemi menyerang bangsa ini. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari cara yang sederhana hingga yang kompleks, dari yang normal menuju new normal. Turut andil pula para pakar dan beberapa kalangan professional dalam upaya ini, tak terkecuali para tenaga medis yang senantiasa mengorbankan waktu mereka yang sebelumnya mereka habiskan untuk bercengkerama bersama keluarga. Begitu pun kita yang juga harus menjaga diri dengan tidak keluar rumah sekaligus menjadi waktu berharga bersama keluarga yang sebelumnya selalu dipadatkan dengan berbagai aktivitas.

Istilah “new normal” diartikan sebagai pola perilaku baru yang diterapkan pemerintah dengan melakukan aktivitas seperti sedia kala melalui beberapa protokol kesehatan dalam melawan pandemi. Artinya, segala aktivitas yang sebelumnya sempat vakum akibat pandemi ini, sekarang sudah bisa berjalan kembali seperti semula, namun tanpa melupakan protokol kesehatan yang telah ditetapkan secara konvensional seperti jaga jarak, memakai masker, cuci tangan, dan pola hidup sehat lainnya. Inilah yang dimaksud dengan kehidupan normal baru yang diharapkan pemerintah saat ini. Sementara John Hopkins Bloomberg School of Public Health mengungkapkan bahwa herd immunity merupakan suatu cara ketika sebagian besar populasi kebal terhadap penyakit menular, sehingga memberikan perlindungan tidak langsung bagi mereka yang tidak kebal dengan penyakit ini.

Kondisi yang tidak pasti seperti ini memaksa pemerintah menerapkan kebijakan “new normal” sebagai respon atas semakin luasnya penyebaran pandemi. Entah atas dasar kesejahteraan masyarakat atau hanya agar ekonomi negara tidak collapse, intinya kebijakan yang mulai diterapkan pada bulan Juni ini menjadi tanda tanya sekaligus memancing kebingungan publik. Banyak yang masih ragu dengan kebijakan ini. Sebab, dari sistem kerja, “new normal” ini mirip dengan herd immunity. Keduanya sama-sama tidak melakukan pembatasan sosial dengan mengusung prinsip “aktivitas berjalan, protokol kesehatan tetap diterapkan”.

Bukannya ini malah berpotensi menciptakan gelombang baru penyebaran pandemi? Tentu jawabannya “bisa jadi”. Kembali normalnya aktivitas masyarakat bisa membuat keadaan semakin rumit walaupun dengan penerapan protokol dan pola hidup sehat. Sebab, tak semua masyarakat memiliki cara yang sama dalam pencegahan. Minimnya kesadaran masyarakat serta sikap acuh yang masih mengakar kuat pada pribadi masing-masing tentu hanya akan berharap pada imunitas dan daya tahan tubuh, dan ini prinsip utama dari herd immunity. Bagaimana dengan masyarakat lansia atau mereka pengidap penyakit kronis yang cenderung memiliki kekebalan tubuh yang rendah di tengah penerapan “new normal“? Ya sudah, mau bagaimana lagi, jika mereka kuat maka akan selamat, jika tidak, ya koit. Alih-alih dapat menurunkan penyebaran pandemi, kebijakan “new normal” dapat berdampak pada munculnya gelombang baru penyebaran wabah di tanah air ini jika tidak diperhatikan secara cermat.

Jauh sebelum “new normal” direncanakan, Charles Darwin sudah menegaskan bahwa setiap manusia hidup di muka bumi ini dengan cara berevolusi dan siap menerima seleksi alam. Konsep Darwin mengenai “struggle for life” semakin memperkuat anggapan bahwa orang yang kuat dalam berjuang adalah mereka yang mampu bertahan di muka bumi ini. Orang yang memiliki imunitas kuat yang berkesempatan menghirup udara segar kehidupan, sedangkan mereka yang memiliki daya tahan tubuh rendah akan tersingkir, begitulah kiranya analisis pemikiran Darwin jika dikaitkan dengan kondisi saat ini.

Konsep “struggle for life” merupakan salah satu proses evolusi yang selama ini menjadi magnum opus Charles Darwin dan para pengikutnya di seluruh dunia, baik yang masih sepakat maupun yang tidak. Darwin juga sering menyebutnya dengan istilah “struggle for existence”. Hal tersebut mengarah pada perjuangan hidup yang keras. Organisme yang lemah akan lenyap dimakan sejarah, sejarah kemudian milik mereka yang kuat, yang mampu bertahan di tengah kesulitan. Suatu proses seleksi yang kemudian dapat menentukan kualitas seseorang. 

Proses evolusi semacam ini sudah terjadi di zaman dahulu. Sebagai upaya untuk bertahan hidup, setiap organisme atau individu pada masa pra-sejarah akrab dengan kebiasaan kanibalisme, saling membunuh antar sesama dalam bertahan hidup. Bedanya, jika manusia pra-sejarah mampu bertahan hidup dengan melakukan persaingan dan saling membunuh, manusia di tengah krisis pandemi ini mampu bertahan dengan mengandalkan kekebalan tubuh. Namun keduanya sama-sama diraih melalui proses perjuangan dalam hidup. Mereka yang bisa membunuh dan memiliki imunitas yang kuat berhasil melawati seleksi alam, sedangkan mereka yang kalah terbunuh dan memiliki daya tahan tubuh rendah akan hanyut ditelan realitas.

Dalam pandangan Darwin, dunia merupakan medan peperangan, tempat dimana setiap organisme saling berkompetisi satu sama lain untuk bertahan hidup. Jika kita tarik pada era sekarang, tak selalu proses bertahan hidup dilalui dengan persinggungan secara fisik. Hal ini ditunjukkan dengan kuatnya norma kelompok dan norma sosial yang menjadi pertimbangan setiap manusia dalam bertindak, meskipun di sisi lain tak jarang kasus pembunuhan berulang kali muncul di balik layar televisi kita. Dalam fenomena kali ini, kita dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa hidup matinya seseorang ditentukan oleh seberapa kebal daya tahan tubuh mereka dalam menghadapi virus pandemi ini. Menyikapi hal ini, perlu kiranya pejabat pemerintahan serta para teknokrat melakukan reorientasi kembali dalam menentukan kebijakan ini. Dan tentunya, presiden sebagai simbol supremasi masyarakat dapat memanfaatkan otoritasnya demi kepentingan masyarakat luas.

Faqihul Muqoddam

Pegiat kajian dan isu-isu seputar Psikologi Sains. Aktif di Komunitas Simposium dan Nalar Psikologi

Share
Published by
Faqihul Muqoddam

Recent Posts

Agama dan Sains: Konflik Hingga Integrasi Keilmuan

Dilihat perspektif kesejarahan, agama dan sains mulanya bersahabat, ini pada abad 17 dimana keduanya pertama…

4 bulan ago

Konstruksi Patriarki dalam Ruang Seni

Beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat masyarakat Madura terhadap bidang seni. Peningkatan minat tersebut tidak…

6 bulan ago

Menjelajahi Konsep Kebebasan dalam Neon Genesis Evangelion melalui Lensa Filosofis Jean-Paul Sartre

Neon Genesis Evangelion merupakan salah satu anime yang sangat populer di seluruh dunia, terutama karena…

6 bulan ago

Globalisasi dan Konsekuensi Inferiority Complex

“Bodo amatlah pada standar kesuksesan yang diagungkan oleh society dan media. We Will be something,…

6 bulan ago

Hans Kelsen: Positivisme Hukum, Grundnorm, dan Stufenbau Theory

Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat…

8 bulan ago

Seni Bertahan Hidup ala Victor E. Frankl

Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan,…

8 bulan ago