Categories: CerpenKarya Sastra

Selagi Itu Bapak, Itu Ibuk Juga

“Birunya cinta… kita berdua… semoga kan abadi seperti birunya na na na…” Ah lirik itu sudah kulupa. Sudah lama aku tak mendengar lagu dangdut tersebut, judulnya pun apa, entahlah? Pada intinya lagu itu sering diputar tiap kali pernikahan di kampung. Di zaman yang serba korea ini, lagu itu memiliki kesakralannya tersendiri hingga tak ada kandidat lagu lain yang berhak ambil kursi.

Dahulu waktu pernikahanku dan bapak juga tak lepas dari lagu itu, meski aku tak suka dangdut dan menolak lagu dangdut didendangkan pada pernikahanku, entah siapa pelakunya-saat itu-lagu itu tetap mengalun dengan gagahnya iringi prosesi pernikahan. Terganggu? Oh tentu. Ibarat dalam telinga terdapat Unidentified Flying Object yang menjadi buron oleh tentara Amerika Serikat. Tapi Alhamdulillah, pernikahan kami tetap berjalan mulus tanpa adegan aku terjatuh dan pingsan. Sungguh sangat kusyukuri bahwa hari itu tetap hari terindah dengan lagu ter…., ter apalah yang intinya tak enak saja di telingaku. Memang susah menampakkan ketidaksukaan pada sesuatu, apalagi menyangkut orang-orang yang dicintai.

Bagaimanapun bapak adalah maniak dangdut, dimana ada konser, di situ ada bapak. Dimana ada alunan dangdut-pernikahan-belum tentu ada bapak di sana, karena bapak tak selalu diundang juga. Hanya saja bapak tetap berada pada radius keasyikannya, dan ikut menikmati alunannya. Satu hal yang membuat bapak tampak begitu berbeda dari pecinta dangdut lainnya adalah bahwa bapak tak pernah sekalipun nyawer para penyanyi dangdut. Bapak bilang dia tidak mau nyawer bukan karena tidak mempunyai uang, namun karena dangdut asyik bukan perihal uang dan goyang, itu hanya ekspresi keasyikan. Dangdut sudah asyik dalam alunan “Deng tok, deng deng dem…” suara bapak menirukan. Ahahaha… bapak.. bapak.. kau membuatku paham dangdut lebih dari pada film Lallaland kesukaanku.

“Buk, makan buk?” kata Halimah istri si Hilmi. Halimah adalah kakak kandung Rahmaniah, istri dari anak tunggalku yang kebetulan ikut membantu dalam prosesi pernikahan cucu pertamaku.

“Oh iya nak, kamu duluan saja, ibuk masih kenyang.”

“Ah masa ibuk kenyang? Sudah pukul sebelas ibuk tak makan, semalam pun hanya seperdelapan piring dihabiskan.”Halimah menyodorkan piringnya ke dadaku. “Ibuk kalo ada apa-apa bilang sama Halimah saja, Halimah masih mau buat kue untuk tamu undangan dulu di belakang.” Halimah meletakkan piring itu di meja sebelah tempat tidurku. Dia mengerti, aku tidak berbohong meski sejak pagi tak makan.

“Ahahaha… iya Halimah, terimakasih.” Kupegang tangan Halimah dan kuusap-usap. Halimah keluar dari kamarku sambil pamit undur diri.

Sejak bapak mangkat, separuh jiwaku ikut bapak dan separuhnya di sini. Bapak adalah pintu surgaku, berbakti kepadanya bukan hanya saat hidup, mati pun aku harus dalam keadaan bakti. Bahkan saat bapak pergi, ingin sekali aku ikut sebagai seorang istri yang setia menemani hidup dan mati, tapi timbangan Tuhan-bapak selalu ingatkan-jangan sekali-kali kau kurangi.

Waktu menikah, tak ada perjuangan lain selain menjadi abdi pada suami. Mulai dari sehat sampai sakitnya, kupastikan bapak dalam pelayanan terbaik seorang istri. Kopi kesukaannya kuhafal setelah melalui proses panjang mengatur takaran gula dan sedikit campuran garam. Sayur lodeh, tempe bacem dan sambal kesukaannya sudah berada jauh di luar kepala kuhafal.

Bukannya aku bahagia atas penderitaan bapak, tapi saat bapak dalam keadaan sakitnya, itulah masa-masa paling bahagia dalam hidup kami. Bahagia terpantul di matanya seakan berkata beruntung sekali bapak menemukanku, aku hanya tersenyum dan berkata beruntung sekali bisa merawat suami seperti bapak. Waktu itu hanya tersisa aku, bapak dan Tuhan.

“Bapak pecinta yang manis-manis, makanya bapak melamar ibuk.” Lucu sekali mengingat kata-kata bapak yang sangat sulit sekali romantis, terdengar kaku dan telah melalui proses latihan yang berulang-ulang. Bapak memang menyukai makanan manis seperti orang berdarah Jawa pada umumnya.

Kadar gula bapak meninggi dan terus meninggi sampai akhirnya meninggal. Aku tak sedih, juga tak bahagia. Tak ada alasan yang bisa terselip dari kedua rasa itu. Untuk sedih, bapak sudah terbebas dari rasa sakit yang ia derita selama 5 tahun. Untuk bahagia, aku
sudah kehilangan alasan utama hidup di dunia. Sekali lagi aku tak sedih dan tak bahagia, rasa tidak selalu salah satunya meski air mata tanda dari keduanya.

Aku tak mau membahas betapa tirus dan muramnya wajahku setelah kepergian bapak. Untuk wanita rumahan, tak kutemukan satupun kebahagiaan selain merawat bapak dalam segala keadaan. Main handphone? Untuk menelpon si Suryan saja butuh bantuan orang. Menulis? SD tak tamat dan ilmu pengetahuan yang ada tak memungkinkan. Ada yang menyarankan untuk jalan-jalan, bagaimana mungkin seorang anak rumahan menemukan jati diri di jalan-jalan? Meski begitu aku tetap mencobanya, tapi tak banyak membantu-nihil.

Bapak sudah mengambil posisi sebagai matahari bagi bumi, tak terpikirkan bukan bagaimana jadinya bumi tanpa matahari? Gelap, beku dan sunyi tanpa nyanyian burung setiap pagi, tak ada kehidupan, mati. Boleh-boleh saja matahari hidup tanpa bumi, hal itu sudah lumrah, lebih-lebih di luar Galaksi Bima Sakti, dan benar saja, kini bumi kian membeku, dipeluk sunyi dan bisu.

“Loh, ibuk belom makan meski hanya sesuap?” Halimah berdiri di ambang pintu.

“Belum lapar Halimah.” Kataku singkat sambil sedikit tersenyum pada Halimah.

Halimah mendekat seraya mengambil piring yang tadi diletakkan dekat meja samping ranjang. “Mari saya suap buk, makan tidak harus lapar buk, sama seperti mati tak harus tua, tak harus sakit.”

“Tapi hujan bagaimana? Bukankah harus mendung?” Sanggahku tak mau makan.

“Loh kata siapa buk, mata ibuk loh hujan meski tidak mendung.” Halimah berhasil membaca ekspresi yang sejak tadi tak tahan mengenang bapak dan mengutuk keadaan.

Benar saja air mataku menetes tak tahan, aku tak tahan, aku adalah ruh yang harusnya sudah memperoleh soal ujian dalam kubur. Sendiri menggigil dalam sunyi yang lebih baik daripada kesunyian hidup, aku lapuk dalam rengekan kehilangan. Aku mau menyusul bapak!!!

Halimah memberiku minum teh hangat di pagi hari yang tak sedingin jiwaku. “Minum dulu buk, Tarik nafas pelan-pelan buk, keluarkan. Sekali lagi buk, sambil istighfar.”

“Halimah, ibuk sudah tak ingin hidup dalam kepalsuan. Karena hakikat hidupnya ibuk adalah demi bapak. Saat bapak melamar ibuk dan ibuk menerimanya, sejak saat itu pula hidup dan mati ibuk sudah untuk bapak. Tak ada satu perjuangan pun selain untuk bapak, tak ada pekerjaan apapun selain atas izin bapak.” Halimah tak menjawab, ia hanya terus membukakan hati dan telinganya, mendengarkan dengan saksama apa yang wanita tua ini luapkan. Ia paham bahwa wanita hanya ingin didengar, bukan benar-benar ingin mencari jalan keluar.

“Bapak adalah satu-satunya alasan ibuk berjuang…” Aku terisak, “alasan ibuk berjuang melawan penyakit kanker payudara ini, bapak penyelamat ibuk dari segala keputusasaan dan ancaman kematian. Bapak sudah menjadi obat yang penuh dengan keajaiban, saat dokter sudah membuat skema kematian, bapak selalu tenang dan menunjukkan skema Tuhan, manusia tak berhak menentukan. Tapi sekarang skema Tuhan sudah berjalan, ibuk selamat dan bapak sudah tak mungkin kembali pulang.”

“Halimah…” lirih suaraku, “Bukankah aneh, seseorang bisa hidup nyaman di dunia ini tanpa perjuangan? lebih aneh lagi seseorang bisa berjuang tanpa alasan.” Terkadang manusia memang lebih filosofis ketika dirundung kemalangan.

“Sambil dimakan ibuk, sudah dingin nih buburnya.” Kulahap suapan pertama dari Halimah dan mengunyahnya perlahan.

“Bapak adalah satu-satunya alasan, satu-satunya Halimah, satu-satunya. Saat bapak pergi dan ibuk hidup tanpa ada lagi alasan, bisakah ibuk menjadi orang aneh yang berjuang untuk hidup tanpa alasan, tanpa tujuan, tanpa bapak? Ibuk tak yakin bisa.” Kukunyah lagi suapan kedua dari Halimah.

Hening sejenak, Halimah mengerti aku sudah meluapkan segala bentuk kegelisahan.

“Oh memang tidak bisa ibuk, tapi alasan-alasan berjuang kan tidak pernah pergi buk? Manusia tak akan pernah kehabisan alasan dalam melakukan apapun, lebih-lebih dalam memperjuangkan sesuatu. Bolehlah bapak pergi meninggalkan ibuk secara jasmani, namun secara ruhani bapak menyatu sama ibuk. Buktinya ibuk hafal pesan-pesan bapak, ibuk mulai suka sesuatu yang tak ibuk suka tapi bapak sukai, ibuk mulai hafal lagu dangdut ini.”

“Birunya cinta… kita berdua… semoga kan abadi seperti birunya na na na…, ibuk tetap tidak hafal Halimah. Seperti birunya laut atau langit ibuk tak ingat, yang ibuk ingat bapak suka sekali memakai kemeja biru muda ini.” Kutunjukkan kemeja yang tergantung di balik pintu kamar tempat biasa bapak menggantung pakaian.

“Itu sudah benar ibuk, birunya langit.” Halimah membalikkan pandangannya padaku.

“Ah benar ya? Ibuk ragu-ragu, takut salah.” Mau bagaimanapun ini lagu pernikahanku dan bapak.

“Ini buk suapan terakhir.” Halimah kembali menyodorkan satu sendok bubur ayam racikannya. “Sekarang ibuk istirahat dulu ya, Halimah mau menemui tamu di depan.”

Aku tak menjawabnya dan langsung saja mengambil posisi berbaring, aku lega ada Halimah yang mendengarkanku, tapi yang terpenting memberitahuku bahwa lirik itu sebenarnya adalah birunya langit, bukan laut, lalu dengan mudahnya aku terlelap.


“Bapak, sekarang ibuk tahu bahwa lirik yang benar adalah birunya laut bukan birunya langit.” Aku berlari dan berteriak sambil menghampiri bapak yang berdiri di atas bukit nan hijau. Aku memeluknya, betapa rindunya aku bertemu dengannya, sekali bertemu aduhai indahnya, bertemu di tempat yang sangat romantis ini.

“Ibuk salah, tanyakan lagi pada Halimah, jika ibuk sudah benar ibuk boleh ikut bapak main-main ke sana.” Bapak menunjuk pada sebuah istana berwarna emas yang megah di ujung pandang, lalu ia melepasku dan menghilang.

Aku terbangun, aku panggil Halimah dan bertanya lagi, ternyata yang benar adalah birunya langit bukan laut, lalu aku kemmbali terlelap. “Bapak… birunya laut pak.”

* Penulis adalah Mahasiswa IAIN Madura sekaligus penggiat di Forum Kajian Simposium

Luqman Banuzzaman

Share
Published by
Luqman Banuzzaman

Recent Posts

Agama dan Sains: Konflik Hingga Integrasi Keilmuan

Dilihat perspektif kesejarahan, agama dan sains mulanya bersahabat, ini pada abad 17 dimana keduanya pertama…

4 bulan ago

Konstruksi Patriarki dalam Ruang Seni

Beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat masyarakat Madura terhadap bidang seni. Peningkatan minat tersebut tidak…

6 bulan ago

Menjelajahi Konsep Kebebasan dalam Neon Genesis Evangelion melalui Lensa Filosofis Jean-Paul Sartre

Neon Genesis Evangelion merupakan salah satu anime yang sangat populer di seluruh dunia, terutama karena…

6 bulan ago

Globalisasi dan Konsekuensi Inferiority Complex

“Bodo amatlah pada standar kesuksesan yang diagungkan oleh society dan media. We Will be something,…

6 bulan ago

Hans Kelsen: Positivisme Hukum, Grundnorm, dan Stufenbau Theory

Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat…

8 bulan ago

Seni Bertahan Hidup ala Victor E. Frankl

Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan,…

8 bulan ago