Categories: Agama

Angelika Neuwirth, Orientalis Jerman yang Mempercayai Al-Qur’an

Mempelajari Al-Qur’an dengan segala aspeknya bukan hanya orang muslim saja, orang-orang non-Muslim pun juga memiliki daya tarik untuk mengkaji Al-Qur’an, khususnya ruang lingkup teks-teks yang terdapat di dalamnya. Dalam mengkajinya, tidak semua orientalis menyikapi Al-Qur’an dengan negatif, sebagian dari mereka menyikapinya dengan positif dan berinisiatif untuk mendalaminya. Hal ini tidak lepas dari perbedaan cara pandang, pendekatan dan metode interpretasi yang mereka gunankan.

Secara umum, istilah orientalis merujuk pada orang-orang Barat yang mengkaji dunia Timur (bahasa, sejarah, seni, sastra, politik), sedangkan jika ditinjau dalam studi Islam, orientalis merupakan orang Barat yang mengkaji Al-Qur’an.

Jika pun ada anggapan kurang tepat sekalipun dari Ummat Islam tentang Al-Qur’an, para orientalis tidak begitu mudah percaya atas anggapan tersebut. Bagi mereka (orientalis), kepercayaan merupakan suatu proses yang memerlukan pemahaman di satu sisi, dan penjelasan disisi lainnya. Sehingga di sinilah peneliti orientalis dari Jerman, Angelika Neuwirth, mengkaji al-Qur’an dan meluruskan perspektif orientalis lainnya yang memiliki pandangan miring terhadap Al-Qur’an.

Neuwirth lahir pada tanggal 4 November 1943 di Nienburg, Jerman. Ia seorang akademisi dalam bidang studi Al-Qur’an dan memulai karirnya mengenai literatur Persia, studi Yahudi, Arab, serta Filologi di Taheran. Ketertarikannya terhadap Al-Qur’an bermula dari disertasinya tentang analisis struktur surah Al-Qur’an, namun dengan seiringnya waktu ia mengalami perkembangan dalam pikirannya, dari yang sebelumnya hanya fokus pada studi sastra murni, berkembang ke arah strukturalis yang juga mengacu terhadap aspek sejarah. Ia menarik konteks sejarahnya dengan berdasarkan fase late antiquity dalam periodisasi sejarah barat.

Dalam mengkaji Al-Qur’an, ia tidak hanya mengkritisi sarjana Muslim yang melakukan kajian setelah diadakan pembukuan (post-canonical), melainkan juga mengkritisi sarjana Barat atau orientalis. Menurutnya, meski mereka telah melakukan kajian terhadap Al-Qur’an post-canonical, tetapi kinerjanya masih menghasilkan kesimpulan miring terhadap Al-Qur’an.  Seperti pandangan Abraham Geiger, ia merupakan tokoh orientalis pertama yang melakukan analisis filologi murni yang tujuannya adalah untuk menemukan sumber-sumber Yahudi dalam Al-Qur’an. Geiger menyimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah produk buatan Muhammad pada abad ke-7. Dari pernyataan ini, Neuwirth menyimpulkan dengan dua hal; Pertama, banyak tradisi yang terlibat dalam kelahiran Al-Qur’an. Kedua, redaksi dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa ada sebuah proses komunikasi antara semua segmen yang terlibat tersebut.

Selanjutnya, ia mengkritisi tokoh orientalis lain seperti Theodore Noldeke. Menurutnya, Noldeke dan para pengikutnya belum sampai kepada kesadaran untuk mempertimbangan teks Al-Qur’an pra-kanonisasi sebagai proses komunikasi, sehingga kesenjangan ini menjadi ruang yang ingin dimasuki Neuwirth dalam mengkaji Al-Qur’an.

Neuwirth merupakan salah satu golongan yang menentang kelompok revisionis. Ia membantah pandangan sarjana barat atas kajiannya yang hanya terfokuskan pada sumber eksternal Al-Qur’an dibandingkan mengkaji artefak sastra yang ada dalam teks Al-Qur’an itu sendiri. Perkembangan kajian al-Qur’an yang seperti ini, bagi Neuwirth menimbulkan “epistemic pessimism” atau pesimisme epistemik.

Pemikiran Angelika Terhadap Al-Qur’an

Sampai saat ini, Neuwirth masih hidup dan sedang mengerjakan proyek courpus Qur’anikum yang merupakan proyek mutiers dari tahun 2007-2025. Tujuan melakukan proyek ini karena; Pertama, ingin membuat sebuah dukomentasi manuskrip Al-Qur’an awal beserta fariasi qiraat nya. Kedua, melakukan penelitian dan kajian serta membuat bankdata dan teks-teks yang ada dalam Al-Qur’an. Dan yang ketiga, untuk menghasilkan interpretasi atau penafsiran dengan pendekatan historis-kritis dan sastra terhadap Al-Qur’an. Secara umum, ia ingin menciptakan suatu pemahaman secara kontekstual terhadap Al-Qur’an yang lebih baik bagi masyarakat barat, karena selama ini Al-Qur’an dipahami secara distortif oleh mereka. Neuwirth menawarkan pendekatan yang berbeda untuk memahami al-Qur’an, sehingga untuk memahaminya terdapat beberapa kunci yang harus diketahui, diantaranya: Late antiquity, Al-Qur’an pra-kanonisasi, dan Al-Qur’an post-kanonisasi.

Late antiquity, merupakan abad kuno klasik Barat. Jika ditinjau dari periodisasi sejarahnya, Barat dibagi menjadi tiga periode. Pertama, barat klasik (8 SM – 5 M), barat pertengahan (5 M – 15 M), dan barat modern (16 M – sekarang).  Pada abad pertama atau era klasik terdapat late antiquity (akhir-akhir masa kini) yang bersinggungan dengan masa kemunculan Islam, sebab Islam muncul pada abad ke-7 dan berkembang pesat ke penjuru dunia. Namun, dibalik kepesatannya orang Barat mengalami krisis dan kemunduran sampai masuk pada abad-8, dan inilah yang disebut late antiquity yang digunakan oleh Neuwirth untuk memahami Al-Qur’an. 

Al-Qur’an pra-kanonisasi, yakni Al-Qur’an yang belum dibukukan, ini merujuk pada Al-Qur’an yang masih diwahyukan pada masa Nabi. Sedangkan Al-Qur’an post-kanonisasi yakni Al-Qur’an yang telah dibukukan pada masa Abu Bakar, sehingga yang menjadi tolak ukurnya yakni Al-Qur’an yang pra-kanonisasi (Al-Qur’an yang masih belum dibukukan). Menurutnya, hal ini terjadi karena Al-Qur’an pada masa kini masih bersifat segar dan belum disakralkan sehingga menutup celah terhadap teks-teks yang lain. Dari hal ini lah muncul pendekatan intertekstualitas terhadap Al-Qur’an, yakni mengkaji sebuah teks dengan menyandingkannya terhadap teks yang lain yang terdapat di late antiquity yang di dalamnya terdapat tradisi dari Yahudi, Kristen, dan Yunani, serta bahasa Arab.

Neuwirth tidak lagi mempersoalkan keaslian maupun tidaknya Al-Qur’an, sebab menurutnya, mereka yang mengimani Al-Qur’an sudah tentu menganggapnya asli. Dan dari pendekatan tersebut pula Neuwirth menawarkan bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah kode yang mengandung pesan. Pesan-pesan tersebut tertangkap dalam satu surah, sehingga di setiap unit-unit surah mengandung integral dalam Al-Qur’an. 

Dalam mengkaji Al-Qur’an, analisis Neuwirth berangkat dari satu surah dan kemudian pindah ke surah yang lain, dan satu surah dibaca sebagai teks sastra, langkah selanjutnya adalah menganalisis Al-Qur’an yang berbentuk satu surah berdasarkan intertektualitas (bahasa Arab, tradisi Yahudi, Kristen dan Yunani). Semisal contohnya dalam QS. Al-Ikhlas ayat 1 yakni pada lafal qul huwa Allāh aḥad senada dengan kredo Yahudi, “Shema Yisra’el, adonay elohenu adonay ehad“. Ini menunjukkan bahwa teks Yahudi masih audibel dalam Al-Qur’an sehingga Al-Qur’an tidak menggunakan kata wahid, tetapi aḥad. Menurutnya, pengutipan ini bukan tanpa fungsi, ini adalah bagian dari strategi negosiasi, yakni menyesuaikan teks Al-Qur’an dengan teks Yahudi untuk menjembatani ketegangan antara komunitas Yahudi dan Al-Qur’an. Namun demikian, Al-Qur’an menguniversalkan kredo ini (tidak hanya untuk bangsa Israel) sehingga bisa diterima oleh yang non-Yahudi.

Dapat disimpulkan, bahwa Angelika Neuwirth adalah seorang orientalis yang mempercayai bahwa Al-Qur’an dari Allah dan kitab untuk umat Islam meskipun ia tidak mengimaninya.

* Penulis adalah Mahasiswi semester 4 Program Studi Ilmu Qur’an dan Tafsir, IAIN Madura

Winda Ayu Safitri

Share
Published by
Winda Ayu Safitri

Recent Posts

Agama dan Sains: Konflik Hingga Integrasi Keilmuan

Dilihat perspektif kesejarahan, agama dan sains mulanya bersahabat, ini pada abad 17 dimana keduanya pertama…

4 bulan ago

Konstruksi Patriarki dalam Ruang Seni

Beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat masyarakat Madura terhadap bidang seni. Peningkatan minat tersebut tidak…

6 bulan ago

Menjelajahi Konsep Kebebasan dalam Neon Genesis Evangelion melalui Lensa Filosofis Jean-Paul Sartre

Neon Genesis Evangelion merupakan salah satu anime yang sangat populer di seluruh dunia, terutama karena…

6 bulan ago

Globalisasi dan Konsekuensi Inferiority Complex

“Bodo amatlah pada standar kesuksesan yang diagungkan oleh society dan media. We Will be something,…

6 bulan ago

Hans Kelsen: Positivisme Hukum, Grundnorm, dan Stufenbau Theory

Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat…

8 bulan ago

Seni Bertahan Hidup ala Victor E. Frankl

Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan,…

8 bulan ago