Categories: CerpenKarya Sastra

Deni dan Rendi

Bel sekolah berbunyi lantang, memanggil-manggil para siswa SDN Polagan 1 di desa Madegan. Sekolah Dasar yang berlokasi tepat di tengah-tengah kampung, beratapkan genting merah yang semakin lama semakin tua. Temboknya berwarna hijau muda, masih tetap kokoh berdiri walau sudah puluhan tahun berlalu.

Sekolah Dasar Negeri Polagan 1 yang semula berdindingkan lembaran bambu, bertiangkan kayu jati, telah mengalami berkali-kali perubahan. Hanya pohon sawo yang tetap menjulang kokoh di tengah-tengah lapangannya yang agak lebar. Walaupun daunnya tampak kusam, namun batangnya masih kokoh berdiri memayungi halaman sekolah.

Deni adalah siswa terpandai di sekolahnya. Meskipun ia terlahir dari keluarga yang sederhana, kebutuhan ekonominya terbatas, namun semangatnya yang amat tinggi itu tak membuat ia berputus asa. Kelas lima, saat ini yang ia duduki. 

Suatu hari, ketika pelajaran sedang berlangsung, guru Deni, Bu Aminah masuk ke kelas. Beliau membawa seorang anak laki-laki yang tak dikenal. Anak itu lantas menjadi pusat perhatian teman-teman Deni, termasuk Deni. Mereka tahu, kalau itu adalah murid baru. Bajunya terpampang putih rapi, celananya yang setinggi lutut, dan tas merah mencolok yang berpangku di bahunya, serta jam tangan hitam di tangannya, sontak membuat para mata sulit berkedip.

Bu Aminah berdiri dan mulai memperkenalkan murid barunya itu. “Anak-anak, kita kedatangan murid baru. Ayo Ren, perkenalkan diri kamu.” 

Anak baru itupun memulai memperkenalkan diri. “Selamat pagi teman-teman, nama saya Rendi Andika Hendriyanto. Saya pindahan dari SDN Sekar Wangi 1 di Bandung. Teman-teman bisa memanggil saya Rendi. Saya baru pindah 2 hari yang lalu. Bapak saya seorang pengusaha tambang di Bandung. Ibu saya seorang guru di SMA Negeri 17 Surabaya, Jawa Timur. Saya pindah karena Ibu saya naik pangkat dan masa jabatannya berpindah dari Bandung ke Surabaya. Jadi, saya ikut ibu saya kesini.”

Tiba-tiba, salah seorang siswa bernama Alfin bertanya, “Kok kamu sekolah disini? Katanya, ibumu tinggal di Surabaya.” 

Anak baru itu menjawab, “Tidak, disini kami juga punya rumah. Ibu saya mengontrak di Surabaya. Tapi ibu saya tinggal di rumah kontrakan itu. Jadi, setiap Minggu, ibu saya pulang kesini.” jawabnya.

Lama si murid baru bercerita, membuat semua siswa ternganga. Deni hanya sebatas mendengarkan tanpa melihat tampangnya. Deni tahu, dia anak orang kaya, tak sepatah pun kata yang keluar dari mulut Deni kalau ia tak habis pikir baru kali ini ada orang yang tak dikenal menceritakan latar belakang keluarganya. 

“Baiklah Rendi, kamu duduk di sana ya.” Bu Aminah menunjuk tempat duduk baru Rendi di belakang Deni. Sebuah kursi kosong tanpa penghuni. 

Pelajaran dimulai seperti biasanya. Sudah satu minggu Rendi bersekolah di sini. Ia pun juga sudah akrab dengan teman-teman barunya. Termasuk si Deni, murid yang terkenal paling rajin di kelas itu. Deni sudah akrab dengan Rendi. Bahkan sudah berkali-kali Rendi meminta bantuan mengerjakan tugas kepada Deni. Namun, sebagian teman-temannya tidak menyukai kehadiran Rendi. Ia dipandang angkuh dan sombong. Kadang juga ia menghina temannya. Lebih seringnya, ia memuji dirinya sendiri, menceritakan panjang lebar tentang ayah ibunya, padahal ia bukan anak yang pandai. Setiap hari ia mencontek tugasnya kepada Deni. Namun, Deni malah dengan mudah memberikannya contekan. 

“Den, kamu jangan berteman dengan dia. Dia itu sombong.” Tegur salah satu temannya, Mukhsin. 

“Jangan berkata seperti itu Sin, Rendi anak yang baik kok. Mungkin karna dia masih baru disini, jadi belum terbiasa berada di lingkungan kita”. Ungkap Deni dengan santai.

Arman, teman sebangku Deni pun juga ikut menegurnya, “Ya Den, tapi kita sering dihina olehnya. Kita dikatakan miskin, gembel, dan dia itu sok jadi ketua.” 

“Hey, kalian jangan seperti itu. Sudah-sudah, jangan membahas masalah Rendi. Kita bahas yang lain saja,” tegur Deni. 

Mukhsin dan Arman begitu sukar membujuk sahabatnya sendiri, si Deni. Mereka khawatir Deni semakin berubah semenjak berteman dekat dengan Rendi. Hingga di hari-hari berikutnya, mereka tak lagi menyapa Deni, apalagi bermain dengannya. Berkali-kali Deni mengajak teman-temannya belajar bersama, tapi tidak satupun yang mau nenghiraukannya. Kini, Deni semakin dibenci teman-temannya. Semenjak kedatangan Rendi, Deni dijauhi teman-temannya, bagai sampah kotor yang mereka buang. 

Suatu hari, Deni terlihat murung. Tiba-tiba Rendi menghampirinya. “Den, kamu kenapa? Kok gelisah gitu?” 

“Tidak tahu juga, Ren.”

“Hm…aku tahu, pasti gara-gara kamu berteman denganku ya…?”

“Eeh… tidak kok Ren.”

“Sudah, jangan bohong.”

“Benar kok Ren, aku tidak berbohong padamu.”

Rendi mencoba menghibur sahabat barunya. “Oh iya Den, bagaimana nanti pulang sekolah kamu ikut ke rumah pamanku?”

“Hah…? tidak ah, saya malu Ren.”

“Kenapa malu?”

“Hm… lain kali aja ya.”

“Aku mintanya sekarang Den. Kamu harus mau. Kita kan sahabat.” 

“Ya sudah deh, kalau begitu.

“Tapi pulang sekolah kita lansung mampir ya.”

“Iya, iya..”

Semangat Deni kembali membakar. Ia tak habis pikir kalau ia akan diajak ke rumah Rendi, si anak orang kaya itu. Deni tak mengerti, ada apa sebenarnya. Apa yang akan Rendi tunjukkan padanya. Tak jauh dari sekolah, Rendi melihat Anisa. 

Bel pulang berbunyi. Deni bersiap-siap mengikuti Rendi. Rendi memegang tangan Deni dengan erat. Deni tak mengerti. Rupanya Rendi megajak Deni menyeberang jalan. Sebelum menyeberang, Deni melihat Anisa, “Nis, aku minta tolong ya, nanti sampaikan pada ibuku, kalau aku ikut Rendi ke rumahnya.” 

Anisa menjawab, “Oh… iya Den.” 

Dari jauh, mobil putih Avanza mendekati mereka. Jendela hitam dibalik mobil mulai terbuka. 

“Mari, den.” Sopir bertopi hitam mengajak Rendi pulang. 

Deni sempat tercengang sedikit, mengapa sopir itu tahu pada namanya. Tapi si sopir menatap wajah Rendi. Rupanya si sopir memanggil Rendi dengan penggilan Den, sebagai majikan muda. Ah, hampir saja Deni menjawab. Rendi mengajak Deni masuk mobil. Ini kali pertamanya Deni duduk di kendaraan mewah. Kursi empuk mempersilahkannya duduk. Sandaran dibuat memanjang hingga membuat si penumpang agak tidur. 

“Ya Allah, mimpi apa aku ini…?” ucap Deni sambil tersenyum kegirangan. Walaupun Rendi amat heran dengan sikap Deni, namun ia mengerti. 

“Den, gimana? Kamu enak kan naik mobil mewahku?”

Deni tersenyum, “Iya Ren, ini baru pertamakali loh..” Jawabnya sambil bergembira ria. 

“Hah? Pertamakali? Jadi selama ini kamu tidak pernah naik mobil?” 

“ Iya Ren. Aku beruntung bisa diajak kamu naik kendaraan modern.” 

“Hm… kamu itu ada-ada saja.”

Beberapa menit kemudian mereka sampai. Lagi-lagi Deni terkejut melihat rumah sebesar istana selebar area sekolah terpampang di depan wajahnya. Ia tercengang dan takjub melihat rumah Rendi. Sebelum masuk, ada seorang satpam yang siap sedia membuka pagar besi yang tingginya menjulang. Mobil masuk, sampai ke garasi. Deni turun. Ia tak hentinya memandang tiap sudut rumah yang bercat cerah menyala, pot-pot yang menghiasi jalanan kecil, air mancur di tengah-tengah taman, serta lampu lampion merah bergantung di atas tiang bambu. 

Rendi mengajak Deni masuk, “Ayo Den.” Rendi mempersilahkannya duduk di ruang tamu. Kursi empuk menyambutnya. Di meja dekat ruang tamu, ada aquarium besar dan lebar dengan ikan-ikan hias yang menyapa. Lemari, lukisan, vas bunga, dan semua yang ada di ruangan itu ditatap lama oleh Deni. “Ren, ini rumahmu?” pertanyaan itu berkali-kali diulang oleh Deni yang hampir tak percaya kalau ia akan masuk ke bangunan yang amat megah. Memandang dirinya seolah tak pantas mampir di gubuk orang kaya. 

“Hm… Sudahlah Den. Kamu jangan banyak tanya. Ayo kita ke dapur. Aku akan mengajakmu makan siang.” Deni masih saja menatap rumah Rendi. Sesampainya di dapur, Rendi mempersilahkannya duduk. Dapur rumah Rendi sangat luas. Meja makan berbentuk segi empat dengan 6 buah kursi berukir di tengah-tengah dapur. Rak piring, disusun rapi lengkap dengan tempat mencuci piring . Lemari es, kompor gas, semuanya lengkap. “Mbok, pasta yang tadi Mbok beli ada dimana?” “Ada di lemari makanan, Den.” Si mbok, pembantu Rendi yang sudah berusia 70 tahun menghampirinya. “Oh… ya sudah, mbok. Sekarang mbok bisa kembali.”

Pembantu Rendi melihat Deni dengan aneh, karena memandang tiap-tiap bagian ruangan. “Nih Den. Kamu makan ya.” Rendi memberikan sepiring Mie pasta. “Apa ini Ren?” Tanyanya seolah ia tak pernah melihat makanan itu. “Ini namanya pasta. Mie pasta.” Akhirnya, Deni mencoba mencicipi makanan yang disuguhkan Rendi, sahabat barunya. “Emm… Ya Gusti… ini sungguh enak…sekali, enak Ren. Aku suka.” Deni makan dengan sangat lahap. “Ya, makan sepuasnya ya.”

“Oh ya Ren, ibumu kan bekerja di Surabaya, berarti kamu disini sendiri ya?” Rendi menjawab, “Iya Den. Aku selalu sendiri di rumah ini. Ayah dan ibuku sibuk bekerja. Sampai-sampai mereka lupa padaku. Padahal, tiap aku mau tidur, mau berangkat sekolah, mau main, mau ini mau itu, aku selalu menelpon mereka. Tapi, mereka selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kadang pula, ayah dan ibuku bertengkar. Mereka sibuk sendiri, hingga aku dilupakan. Aku sendiri disini, Den. Aku butuh teman, aku butuh kasih sayang ayah dan ibuku. Karna itu, aku mengajakmu kesini supaya kamu dapat turut meramaikan rumah ini.” 

“Kenapa kau tidak meminta mereka untuk bekerja disini saja?” Tanya Deni. “Kamu sudah tau kan, Den. Ayahku bekerja di Bandung. Ibuku di Surabaya. Mana bisa aku mencegah mereka. Iya aku mengerti, mereka melakukan semua ini demi kebahagiaanku. Tapi buktinya, aku tidak bahagia kan, Den” Jawab Rendi. “Iya, Ren. Aku mengerti maksudmu. Aku juga berterimakasih karna kamu sudah mengajakku kesini.” Deni merasa terharu mendengar keluh kesah Rendi. “Karna itu, aku memang sengaja memilihmu sebagai sahabatku. Karena diantara teman-temanmu, yang bisa sabar menghadapi sifatku, ya kamu Den. Aku berkali-kali menghina mereka, mengolok-olok, juga termasuk kamu. Tapi mereka semua tidak suka padaku. Sedang kamu, masih tetap menerimaku. Deni tersenyum lebar. “ Iya Ren. Sekarang aku mengerti dengan tujuanmu. Tapi meskipun begitu, kamu harus meminta maaf kepada mereka. Karena, bila kau berbuat baik kepada mereka, mereka juga akan berteman denganmu dan tak akan membencimu.”

Perbincangan mereka selesai setelah makanan telah habis dimakan. “Oh iya Den. Sebentar lagi, kamu kan mau pulang. Aku antar ya. Sekalian aku mau main ke rumahmu.” Kata Rendi. “Aku malu Ren.” Jawab Deni. “Kenapa?” Tanya Rendi. “Kalau kamu mau mengantarku, trimakasih atas kebaikanmu. Tapi sebaiknya, kamu tidak perlu main ke rumahku.” “Kenapa?” Tanya Rendi lagi. “Karena aku takut kamu tidak suka keadaan rumahku yang amat sederhana.” “Jangan berkata seperti itu, Den. Pokoknya, aku harus ikut ke rumahmu ya.”

Akhirnya, Rendi mengantar Deni pulang. Sesampainya dirumah Deni, Rendi melihat rumah Deni yang terbuat dari kayu jati, gentingnya sudah banyak yang lapuk, lantainya berupa tanah kering, berdindingkan lembaran bambu. Rendi tak sanggup melihat keadaan rumah Deni yang tiangnya hampir roboh. “Maaf ya Ren, rumahku jelek.” Deni mencoba menahan rasa malunya. “Den, jangan berkata begitu,” cegah Rendi.

“Assalamu’alaikum…” 

“Waalaikum salam…” Adik Deni, Ratih menyambutnya dengan riang gembira. “Mak, mak, kak Deni datang”. Ratih mencium tangan Deni. “Ayo, cium tangan kak Rendi.” Lantas, Ratih bersalaman mencium tangan Rendi. Rendi amat terkejut melihat keadaan ini. Ia tak tahu bagaimana harus bersikap. Dalam pikirnya, seorang anak kecil sudah bisa bersikap sopan kepada yang lebih tua. Seumur hidup, ia merasa tak pernah bebuat demikian.

“Waalaikum salam… Deni. Emak kira kamu kemana. Bapakmu khawatir, nak.” “Iya mak, maafkan Deni ya. Tadi Deni diajak Rendi ke rumahnya. Perkenalkan mak, ini sahabat baru Deni, Rendi.” “Bu,.” Rendi mencium tangan ibu Deni. “Oh… iya, iya. Nak Rendi ya. Ayo nak, masuk.” Di dalam, Rendi juga bertemu dengan ayah Deni. Mereka pun mengajak Rendi makan siang. Awalnya Rendi tidak mau. Tapi mereka memaksa, akhirnya ia mau. “Nak Rendi, jangan menolak rejeki. Tidak baik, nak.” Mendengar nasehat ayah Deni, Rendi pun tersentuh. 

Mereka pun makan siang bersama. Setelah itu, Deni mengajak Rendi untuk beristirahat sejenak di bawah pohon kenari. 

“Den, trimakasih, ya sudah mau menerimaku kesini.”  

“Iya tidak apa-apa, meskipun rumahku seperti ini, semoga kamu memahami keadaan keluargaku.” 

“Tidak, jangan berkata seperti itu. Malah, aku lebih suka disini Den. Aku disini merasakan menjadi dirimu. Hidup sederhana, tapi penuh dengan kebahagiaan. Ayah dan ibumu sangat menyayangimu. Juga adikmu, si kecil Ratih, secara tanpa sadar, dia telah mengajariku menghormati orang lain. Ayahmu, mengajariku mensyukuri nikmat hidup. Juga ibumu, mengajariku hidup sederhana dan murah hati kepada sesama. Itu semua adalah ilmu yang kudapatkan disini Den.” 

Ia melanjutkan, “dengan kesabaranmu menerimaku sebagai sahabatmu, itu juga adalah bukti kebikanmu. Kalian adalah keluarga yang sejahtera, walaupun ekonomi kalian pas-pasan. Kini aku mengerti Den. Apa sebenarnya makna kehidupan yang sesungguhnya. Harta itu bukan hal yang paling penting. Tapi kasih sayang dan cinta keluarga adalah hal yang paling penting dan berharga dalam hidup.” Tanpa terasa, air mata Rendi jatuh membasahi pipinya. 

“Ren, kamu menangis?” 

“Entahlah…” jawab Rendi seingkat. 

“Iya Ren, aku sekarang paham akan dirimu. Aku juga iba kepadamu. Karena walaupun kamu banyak memiliki segalanya, harta, rumah, mobil, tapi kurangnya kasih sayang orang tuamu membuat kamu seperti ini. Tapi janganlah kamu membenci mereka. Mereka sebenarnya melakukan semua ini untuk kebaikanmu, dan untuk kesuksesanmu kelak.” 

“Iya Den, aku mengerti. Tapi aku tidak butuh harta yang melimpah, cukup kasih sayang mereka.” 

“Iya, maka dari itu, kamu berkata apa adanya pada ayah ibumu, jangan sampai kamu membenci mereka. InsyaAllah… jika cara bicaramu menyampaikan dengan halus dan sopan, mereka akan terhanyut mendengar semua keluhanmu.” 

“Iya Den, terimakasih ya, atas semua nasehatmu.”

Keesokan harinya, Rendi meminta maaf pada semua teman-temannya. Dan akhirnya, Rendi punya banyak teman dan berusaha untuk selalu berbuat baik kepada semua orang. Baginya, Deni adalah sahabat sekaligus guru pertama dalam hidupnya untuk belajar menjadi anak yang mandiri, sederhana, dan menyayangi sesama.

* Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, IAIN Madura

Imroatun Jamilah

Share
Published by
Imroatun Jamilah

Recent Posts

Agama dan Sains: Konflik Hingga Integrasi Keilmuan

Dilihat perspektif kesejarahan, agama dan sains mulanya bersahabat, ini pada abad 17 dimana keduanya pertama…

4 bulan ago

Konstruksi Patriarki dalam Ruang Seni

Beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat masyarakat Madura terhadap bidang seni. Peningkatan minat tersebut tidak…

6 bulan ago

Menjelajahi Konsep Kebebasan dalam Neon Genesis Evangelion melalui Lensa Filosofis Jean-Paul Sartre

Neon Genesis Evangelion merupakan salah satu anime yang sangat populer di seluruh dunia, terutama karena…

6 bulan ago

Globalisasi dan Konsekuensi Inferiority Complex

“Bodo amatlah pada standar kesuksesan yang diagungkan oleh society dan media. We Will be something,…

6 bulan ago

Hans Kelsen: Positivisme Hukum, Grundnorm, dan Stufenbau Theory

Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat…

8 bulan ago

Seni Bertahan Hidup ala Victor E. Frankl

Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan,…

8 bulan ago