Categories: AgamaFilsafatSains

Membaca Richard Dawkins dan “The God Delusion” nya (Ulasan Singkat dari Tulisan F. Budi Hardiman)

Akhir-akhir ini, gagasan Richard Dawkins kembali menggaung, menjadi pembahasan baru di tengah-tengah perdebatan sains yang tak kunjung usai. Pemikiran ateisme Dawkins sejatinya bukan bahasan baru dan tak perlu ditanggapi ulang. Sebab, pemikirannya sudah menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat sejak beberapa tahun sebelumnya, yang ia tuangkan ke dalam buku berjudul “The God Delusion”. Ada dua respon masyarakat terkait dengan gagasan-nya. Pertama, mereka yang kecewa dengan (pemikiran) Dawkins karena telah membuka pintu bagi masyarakat luas untuk menyelami dunia agama tanpa Tuhan, biasanya mereka yang memiliki religiusitas tinggi. Kedua, mereka yang menerima gagasan Dawkins, baik itu sebagai pertimbangan sikap ilmiah maupun yang coba-coba mencicipi dunia ateisme.

Dalam tulisan ini, akan dipaparkan gagasan-gagasan dari Richard Dawkins, seorang biolog asal Inggris serta pemikiran-pemikirannya yang dikemas dalam buku “The God Delusion”. Untuk mempermudah dalam memahami secara kontekstual, pembahasan akan diulas berdasarkan dari tulisan F. Budi Hardiman terhadap Richard Dawkins dan buku provokatifnya tersebut. Meski demikian, dengan selesai membaca ulasan ringkas tulisan ini, bukan berarti kita tidak perlu membaca bukunya. Karena dengan menggenggam langsung dan membaca bukunya, maka kita akan memahami secara keseluruhan tentang apa yang selama ini membuat kita penasaran tentang pemikiran seorang Dawkins.

Budi Hardiman menganggap perdebatan mengenai gagasan Dawkins masih berlangsung hingga hari ini sejak diterbitkannya buku tersebut, yakni sejak tahun 2006. Menurutnya, kita dapat belajar dua hal dari buku tersebut, yaitu tentang bahaya fundamentalisme agama sekaligus tentang antusiasme berlebihan terhadap sains dapat berakhir pada kemelaratan intelektual dalam memandang dunia nyata. Semula buku Dawkins tersebut ditolak oleh penerbit dengan dalih dapat memicu kontroversi, namun akhirnya penerbit berubah pikiran dan buku tersebut sekarang sudah tersebar dimana-mana dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di banyak negara.

Hardiman mengaku bahwa buku tersebut memberikan penalaran tentang agama sebagai suatu ancaman bagi umat manusia. Dawkins juga meletakkan daftar alamat lembaga-lembaga untuk mendukung mereka yang ingin keluar dari agama yang dianutnya. Buku “The God Delusion” dinobatkan oleh “New York Times” sebagai buku yang masuk ke nomer 4 buku best seller. Tak heran, buku tersebut sering kita dengar di berbagai obrolan ringan maupun berat, dalam cangkrukan ala-ala warung kopi hingga internasional. Itu merupakan capaian yang luar biasa untuk sebuah buku sains populer.

Dalam buku tersebut, Dawkins sukses memprovokasi dan membuat heboh masyarakat, baik yang membaca langsung maupun yang hanya dengar-dengar dari hasil obrolan. Di era kapitalisme media seperti sekarang, kritik-kritik pedas kepada Dawkins tidak menggoyahkan-nya, justru mampu meningkatkan angka penjualan bukunya. Dari sini Dawkins semakin memiliki popularitas, tutur Hardiman.

Buku yang berisi gagasan-gagasan kontroversi Dawkins tersebut tidak jarang juga direspon secara timbal balik, artinya direspon dengan bentuk tulisan juga. Beberapa buku yang membantah Dawkins, antara lain “The Dawkins Delusion?” karya Alister McGrath & Joanna Collicut McGrath, serta buku “The Devil’s Delusion” karya David Berlinski. Respon penolakan dalam bentuk buku ini merupakan sebagian dari banyaknya tanggapan publik. Buku tersebut juga tersebar di berbagai toko buku di Indonesia, yang tentunya sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia agar mudah dipahami oleh masyarakat kita. Tak hanya di luar negeri, buku Dawkins tersebut juga cukup mengundang komentar-komentar pedas di Indonesia. Namun menurut Hardiman, masih banyak dari kita yang masih fokus pada ad hoc hyphotesis-nya, yakni serangannya pada agama.

Hardiman mengakui bahwa buku tersebut sangat ambisius. Penulis (Dawkins) ingin mempersoalkan Allah sebagai objek kajian ilmiah. Penulis menyarankan bahwa eksistensi Allah merupakan sebuah hipotesis ilmiah seperti yang lain. Ia mengklaim bisa membawa Allah ke dalam investigasi ilmiah, karena menurutnya Allah adalah sebuah hipotesis ilmiah yang bisa diuji menurut kaidah-kaidah ilmiah. Di awal bab, yang ingin diselidiki oleh Dawkins bukan Allah non-personal seperti yang diyakini Einstein, melainkan Allah-Allah personal dan supranatural seperti Yahweh, Trinitas, atau Allah.

Dalam tulisan Budi Hardiman selanjutnya mengatakan bahwa Dawkins beserta kawan-kawan ateisnya menganggap Allah monoteisme ini telah menjadi akar masalah peradaban. Sejak awal tulisan dalam bukunya, Dawkins selalu memojokkan Allah dan betapa berbahayanya perilaku religius. Berbagai tuduhan telah dilontarkan Dawkins, menyebut mereka yang beragama cenderung menuntut respek berlebihan dan mudah emosional, takut pada objektivitas ilmiah, tidak toleran pada mereka yang berbeda keyakinan, melakukan kekerasan atas dasar perintah agama, mengkriminalisasi homoseksualitas, melecehkan anak-anak, dan sebagainya.

Pada bab 2, Dawkins semakin mengerucutkan pembahasannya pada gambaran Allah monoteisme. Menurutnya, Allah monoteisme adalah tokoh yang paling tidak menyenangkan dalam segala fiksi, ia begitu picik, tidak adil, tukang kontrol yang tak bebelas kasihan, pendendam, pemusnah etnik yang haus darah, misoginik, homofobik, rasis, infantisidal, genosidal, filisidal, penjijik, megalomaniak, sadomasokis, perundung jahanam yang plin plan. Menurut Hardiman juga, Dawkins juga tanpa ragu menyebut Allah monoteisme dengan monster Alkitab.

Dawkins juga membandingkan antara orang-orang ateis dengan orang-orang beragama. Dalam suatu kesempatan, ia menganggap bahwa tidak ada ateis yang merusak rumah-rumah ibadah, tetapi wahabi telah meratakan rumah nabi mereka sendiri di Mekkah. Hardiman juga mengutarakan perbedaan antara Dawkins dengan tokoh-tokoh ateis lama seperti Feuerbach dan Nietzsche. Bedanya, para ateis lama tersebut menyanggah Allah hanya secara spekulatif.

Sebelum Dawkins membutikan bahwa Allah hanyalah sebuah delusi yang cukup berbahaya, ia dalam bab 2 dan 3 membantah atas semua argumen tentang eksistensi Allah yang dianut oleh berbagai keyakinan religius, baik yang monoteisme maupun politeisme, maupun pembuktian-pembuktian rasional dalam filsafat. Lebih lanjut, Hardiman juga mengatakan bahwa Dawkins tidak luput dalam membantah argumen-argumen praktis, seperti kekaguman atas keindahan dan pengalaman religius personal.

Tidak hanya melalui bukunya tersebut, Dawkins juga menyinggung agama dan Tuhan melalui video-video-nya di youtube. Menurut Hardiman, videonya juga mengutarakan argumen-argumen sinisme. Bagi Dawkins, Bible tidak lebih daripada sebuah fiksi sejarang seperti Da Vinci Code, hanya lebih tua saja, dan tentu bukan bukti eksistensi Tuhan. Secara umum, ia juga mengatakan bahwa kitab-kitab suci setara dengan karya-karya sastra zaman kuno.

Segala bantahan yang dikemukakan oleh Dawkins bisa dikatakan sebagai via negative untuk membuktikan bahwa Allah hampir pasti tidak ada. Dalam sikap ia menolak, bukan hanya teisme, namun juga agnotisme, termasuk agnotisme yang condong ke ateisme, tutur Hardiman. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Dawkins merupakan ateis de facto: ia tidak tahu pasti bahwa Allah tidak ada, namun dia yakin bahwa Allah mustahil ada, maka ia hidup dengan “anggapan” bahwa Allah tidak ada.

Secara keseluruhan, Dawkins dapat dikatakan hampir mirip dengan orang-orang yang mengaku religius tetapi nyatanya hidup seolah-olah tidak ada Allah. Hanya bedanya, Dawkins serius memikirkan keyakinannya dan berani menyerbarkannya ke khalayak publik secara luas. Bahka ia juga berani memastikan bahwa tidak ada apa-apa setelah mati. Dalam bukunya, secara keseluruhan Dawkins menganggap bahwa asal-usul agama adalah psikologis, tutur Hardiman. Gagasannya mengenai asal-usul agama mirip dengan anggapan Freudian, bedanya, gagasan Dawkins hanya superfisial saja dan kurang mengorek kehidupan batiniah, sebab ia kurang mendalami psikologi.

Terkait perilaku religius manusia, Dawkins mengatakan bahwa hal itu hanya delusi. Menurutnya, perilaku religius cenderung terdiri dari keyakinan atau kesan keliru yang tetap dipertahankan kendati adanya bukti-bukti baru. Para agamawan menganggap “suara” dalam diri mereka adalah Allah atau pengalaman religius, padahal diri mereka sendiri.

Pada bab 6, Dawkins mencoba menjelaskan tentang moral. Pada halaman ini, ia ingin mematahkan anggapan bahwa agama adalah sumber moral. Menurutnya, untuk bermoral tidak perlu beragama karena asal-usul moral bisa dijelaskan secara non-religius, yakni secara biologis.

Hardiman juga mengungkapkan bahwa ada beberapa hal dalam pemikiran Dawkins, khususnya tentang bukunya “The God Delusion” yang perlu kita setujui dan yang tidak. Yang perlu kita setujui adalah, sebagai kritik agama, buku ini perlu ada untuk membantu agar berhati-hati terhadap dampak-dampak mengerikan dari “kepercayaan tanpa pertanyaan” yang bisa muncul dari agama. Dari ateisme, agama bisa diimbangi secara sosiologis agar tidak menjadi dogmatis dan fideistis. Ateisme itu sendiri tidak memusnahkan agama, meskipun berambisi begitu. Kehadirannya dalam masyarakat demokratis malah membuktikan bahwa agama merupakan sesuatu yang penting. Jadi, syukurlah ada ateisme, sehingga agamawan semakin sadar akan makna pilihan hidupnya secara jauh lebih berkualitas daripada dalam keadaan tanpa tantangan.

Selain itu, hal yang mungkin perlu kita setujui juga terkait delusi Allah. Hal ini berdasarkan beberapa fakta sosial di sekitar kita saat ini. Orang yang merasa dirinya benar menjalankan apa yang diyakininya sebagai perintah Allah, lalu meledakkan bom dalam ranselnya untuk menghabisi pihak-pihak yang diyakini sebagai musuh Allah. Menurut Hardiman, hal ini tentu mengalami delusi yang sangat berbahaya dan berlawanan dengan akal sehat. Agama memang rentan untuk diperalat politik, menjadi alat paksa, dan juga tidak jarang dikaburkan dengan tahayul.

Selanjutnya, hal yang perlu disetujui adalah bahwa para agamawan perlu untuk membuka pikirannya terhadap sains. Kontradiksi yang tidak selalu beriringan antara kitab-kitab suci dengan sains telah menutup mata agamawan atau mereka yang tunduk dengan kekuasaan dogma teks saat ini.

Di samping hal-hal yang perlu disetujui diatas, Hardiman juga menawarkan beberapa hal yang perlu kita tidak sepakati tentang gagasan Richard Dawkins. Yakni perihal gagasannya tentang ateisme. Menurut Hardiman, ateisme Dawkins tidak dianggap sebagai suatu evidensi yang universal, tetapi hanya sebagai salah satu interpretasi yang sangat miskin makna yang harus bersaing dengan agama yang kaya makna.

Kedua, gagasan Dawkins cenderung reduksionis, seperti menjelaskan agama dari satu-satunya realitas, yakni realitas biologis. Dawkins juga cenderung mengasalkan agama pada totemisme. Ketiga, interpretasi Dawkins tidak dapat dicocokkan dengan fakta yang tetap terbuka untuk berbagai interpretasi. Selanjutnya, Dawkins sama parahnya seperti para fundamentalis agama, membaca Bible atau kitab suci lainnya secara literalistis. Hal yang perlu tidak kita sepakati selanjutnya yakni perihal gagasannya tentang agama sebagai delusi Allah dan pengalaman religius juga sebuah delusi.

Selain itu, asal-usul moral yang telah dikemukakan oleh Dawkins juga cukup memprihatinkan jika ditinjau dari perspektif etis. Dawkins melihat baik dan buruk hanya sebagai masalah “teknis” survival. Sedangkan poin ketujuh dan terakhir, para ilmuan sains seperti Dawkins sangat tajam mengkritik agama sebagai ancaman kebebasan dan bahkan paksaan kepada anak-anak. Anggapan-anggapan inilah yang perlu kita tidak setujui atau bisa dikatakan sebagai hal yang tidak perlu kita ikuti dan percayai.

Menurut Hardiman, buku Richard Dawkins tentang “The God Delusion” telah menyulut kontroversi panas. Para pembaca awam bisa terburu-buru mengira penulisnya seorang pembenci agama, lalu berhenti membaca. Para ilmuan sains segera menyambutnya sebagai makanan intelektual bagi keyakinan mereka. Lebih lanjut, Hardiman menyarankan agar perlu hati-hati. Tidak perlu menyobek apalagi membakar buku itu. Juga tak perlu menganggapnya sebagai kitab suci yang agung. Letakkan saja di antara buku-buku lain. Karena di dalam kehidupan ini tidak ada hal yang seratus persen salah atau benar, begitu juga dengan “The God Delusion”.

Faqihul Muqoddam

Pegiat kajian dan isu-isu seputar Psikologi Sains. Aktif di Komunitas Simposium dan Nalar Psikologi

Share
Published by
Faqihul Muqoddam

Recent Posts

Agama dan Sains: Konflik Hingga Integrasi Keilmuan

Dilihat perspektif kesejarahan, agama dan sains mulanya bersahabat, ini pada abad 17 dimana keduanya pertama…

4 bulan ago

Konstruksi Patriarki dalam Ruang Seni

Beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat masyarakat Madura terhadap bidang seni. Peningkatan minat tersebut tidak…

6 bulan ago

Menjelajahi Konsep Kebebasan dalam Neon Genesis Evangelion melalui Lensa Filosofis Jean-Paul Sartre

Neon Genesis Evangelion merupakan salah satu anime yang sangat populer di seluruh dunia, terutama karena…

6 bulan ago

Globalisasi dan Konsekuensi Inferiority Complex

“Bodo amatlah pada standar kesuksesan yang diagungkan oleh society dan media. We Will be something,…

6 bulan ago

Hans Kelsen: Positivisme Hukum, Grundnorm, dan Stufenbau Theory

Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat…

8 bulan ago

Seni Bertahan Hidup ala Victor E. Frankl

Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan,…

8 bulan ago