Dalam suatu komunitas ilmiah, kita tahu bahwa pencarian bukti bagi suatu fenomena alam harus melalui suatu pengujian ilmiah yang ketat. Dalam konteks sains, epistemologi sangat relevan karena membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang bagaimana ilmu pengetahuan dibangun, disusun, dan dijustifikasi. Epistemologi dalam sains membantu kita memahami dasar-dasar filosofis dari ilmu pengetahuan, bagaimana ilmu pengetahuan berkembang, dan bagaimana kita dapat memahami dan membenarkan pengetahuan ilmiah. Dalam hal lain, epistemologi sains juga membuka diskusi tentang batasan-batasan pengetahuan ilmiah dan pertimbangan etis dalam penelitian dan praktik ilmiah.
Ilmu sains yang berkaitan dengan kehidupan dan organismenya yakni biologi mengalami suatu bagian dari proses “Revolusi Sains” (konsep yang dikenalkan oleh Thomas S. Kuhn) sejak dipublikasikannya buku oleh Charles Darwin yang berjudul “On the Origin of Species” (Tentang Asal Usul Spesies) pada tahun 1859. Dimana buku ini karya sangat berpengaruh dalam sejarah sains dan menjelaskan teori evolusi melalui seleksi alam. Terkait dengan hal bagaimana pengetahuan tentang teori evolusi diperoleh, diuji, dan dijustifikasi dalam konteks ilmu pengetahuan merupakan bagian dalam epistemologi teori evolusi. Landasan apa saja yang dibangun oleh epistemologi teori evolusi, diantaranya bukti empiris (pengamatan), pengujian dan perumusan hipotesis, analisis statistik dan model matematis, pengujian falsifikasi dan skeptisisme, hingga konsensus komunitas ilmiah.
Penggunaan model matematis dalam penelitian sains secara umum merupakan rangkaian proses epistemologi formal yang didalamnya menggunakan alat seperti logika, teori himpunan, serta statistik dan probabilitas. Salah satu pendekatan formal yang paling menonjol atau sering digunakan yakni Teorema Bayes. Teorema Bayes (kemudian dapat disebut “Bayesian”) adalah prinsip dasar dalam statistika yang digunakan untuk menghitung probabilitas suatu peristiwa (proposisi) berdasarkan informasi atau bukti yang ada. Teorema ini dinamai sesuai dengan nama matematikawan Inggris, Thomas Bayes, yang pertama kali mengembangkan prinsip ini pada abad ke-18.
Prinsip dasar bayesian, dimulai dengan membuang pandangan tradisional (epistemologi tradisional) tentang keyakinan “biner” sebagai soal iya-atau-tidak-sama-sekali (entah Anda meyakini suatu proposisi atau tidak) dan sebaliknya memperlakukan keyakinan sebagai sesuatu yang memiliki tingkatan. Tingkatan ini ditentukan oleh seberapa kuat sebuah proposisi didukung oleh bukti. Seperti yang akan kita lihat dalam penggunaannya pada teori evolusi, kerangka Bayesian secara alami cocok untuk konteks ilmiah secara umum. Sangat jarang satu eksperimen mengubah opini komunitas ilmiah; pencarian kebenaran ilmiah diperjuangkan dengan susah payah melalui banyak eksperimen dan program penelitian karena hipotesis secara bertahap mendapatkan atau kehilangan dukungan mengingat bukti yang berubah. Bayesian memungkinkan kita untuk memodelkan proses ini, sampai pada pemahaman yang lebih kuat tentang pengetahuan ilmiah, dan menggunakan pemahaman ini untuk menyelesaikan beberapa kontroversi terkait pemilihan teori.
Teorema Bayes umumnya dinyatakan sebagai berikut:
Rumusan Teorema Bayes diatas dapat dipahami dalam penjelasan berikut:
P(H|E) merepresentasikan probabilitas hipotesis H mengingat bukti E, yang di dalamnya H dan E adalah dua proposisi atau peristiwa. Ia memberitahu Anda seberapa besar kemungkinan E membuat H. Karena probabilitas ini bergantung atau bersyarat pada E, maka ia disebut sebagai probabilitas bersyarat.
Proses memperoleh probabilitas ini disebut kondisionalisasi (atau pengondisian). Sebelum kondisionalisasi, seseorang mulai dengan probabilitas prior, P(H). Ini adalah semacam probabilitas awal atau dasar untuk H, yang belum memperhitungkan bukti E. Setelah kondisionalisasi, seseorang berakhir dengan probabilitas posterior, P(H|E).
Mengingat konsep-konsep ini, kita sekarang dalam posisi untuk memahami aturan pengondisian, yang merupakan proposal yang relatif intuitif: setiap kali seseorang memperoleh bukti baru E mengenai hipotesis H, cara yang tepat untuk memperbarui kepercayaan awal seseorang terhadap H—yang diberikan oleh P(H)—adalah dengan mengacu pada E, kemudian menyesuaikan kepercayaan baru seseorang itu pada hasil berikut: Setelah mendapatkan bukti E, kepercayaan yang diperbarui Pbaru(H) itu diberikan oleh P(H|E).
Pentingnya teorema Bayes adalah bahwa ia membantu kita mempraktikkan hal ini dengan memberi kita cara yang tepat untuk menghitung efek pengondisian. Tetapi sebelum kita dapat melihat cara kerjanya, pertama-tama kita harus memeriksa komponen lain dari teorema tersebut.
P(E|H) adalah probabilitas memperoleh bukti E jika hipotesisH benar. Komponen ini sering disebut kemungkinan (likelihood). Kadang-kadang digambarkan sebagai “daya penjelas”H sehubungan dengan E. Pada dasarnya, ini mengukur seberapa baik hipotesis Anda memprediksi bukti. Jika eksperimen yang dilakukan dan dirancang dengan baik menghasilkan E sebagai hasil yang diharapkan dari H, maka nilai ini akan tinggi.
P(E) adalah probabilitas memperoleh bukti E. Jika bukti mudah diperoleh secara kebetulan, maka tidak baik meningkatkan kepercayaan Anda pada hipotesis tersebut. Teorema Bayes menjelaskan hal ini karena jika P(E) besar, maka ia akan mengurangi probabilitas posterior Anda mengingat ia adalah penyebut dalam teorema Bayesian yang menjadikan rasio lebih kecil.
Salah satu penerapan konkrit bayesian pada teori evolusi yakni pada “Pohon (percabangan) Filogenetik” atau pemetaan kekerabatan yang menggambarkan hubungan evolusioner antara berbagai spesies atau organisme berdasarkan kemiripan dan perbedaan karakteristik fisik dan/atau genetik. Contoh sederhananya adalah sebagai berikut:
Kita ingin memahami hubungan evolusioner antara tiga spesies burung: A, B, dan C. Kemudian kita telah memiliki data DNA yang menggambarkan perbedaan genetik di antara mereka.
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
Contoh diatas adalah ilustrasi sederhana tentang bagaimana Bayesian digunakan untuk menjelaskan hubungan antar spesies dalam teori evolusi. Dalam situasi sebenarnya, analisis filogenetik Bayesian akan melibatkan data genetik yang lebih kompleks dan banyak spesies, tetapi konsep dasarnya tetap sama. Selain itu, bayesian sendiri tidak hanya digunakan sebagai analisis Pohon Filogenetik seperti dijelaskan di atas. Namun juga dapat digunakan dalam model Estimasi Tarif Evolusi, Penilaian Ketidakpastian dalam Model Evolusi, Rekonstruksi Karakter Ancestral (keturunan/leluhur) dan Analisis Seleksi Alamiah.
Sementara teorema Bayes dapat memodelkan secara representasi matematis dari suatu fenomena alam. Namun, seperti semua metode ilmiah lainnya, pendekatan ini juga memiliki kekurangan dan batasan tertentu. Beberapa kekurangan utama dari pendekatan Bayesian dalam konteks teori evolusi adalah:
Meskipun ada beberapa kekurangan dalam pendekatan Bayesian dalam teori evolusi, banyak peneliti tetap menggunakannya karena fleksibilitasnya dan kemampuannya untuk mengatasi sebagian besar batasan ini dengan pendekatan yang cermat. Penting untuk memahami kelemahan dan batasan ini saat menggunakannya untuk memahami evolusi organisme.
Namun, penting untuk diingat bahwa teori evolusi adalah salah satu teori ilmiah yang paling mendukung di dalam ilmu biologi. Selama lebih dari satu abad, banyak bukti empiris telah dikumpulkan yang mendukung teori ini, dan teori ini telah melewati uji waktu. Seringkali, ketika ada ketidaksepakatan atau pertanyaan dalam ilmu biologi, itu berkaitan dengan detail dan mekanisme yang lebih spesifik dalam proses evolusi, bukan dengan konsep dasar evolusi itu sendiri.
Dalam ilmu pengetahuan, seperti dalam metode ilmiah pada umumnya, teori atau hipotesis tidak pernah dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat digoyahkan. Sebaliknya, ilmuwan selalu terbuka untuk mengujinya, merevisi, atau menggantikannya jika ada bukti yang kuat yang mendukung hal tersebut. Ini adalah salah satu kekuatan ilmu pengetahuan yang memungkinkan kemajuan pengetahuan yang berkelanjutan.
Sumber referensi dan bacaan lanjutan:
Barnett, B. C. (2022). Pengantar Filsafat: Epistemologi. Penerbit Antinomi, Yogyakarta.
Campbell, J. O. (2016). Universal Darwinism as a process of Bayesian inference. “Frontiers in Systems Neuroscience“, 10(JUN), 1–8.
Yang, Z. (2014). Molecular Evolution: A Statistical Approach. Oxford University Press, Oxford, United Kingdom.
Dilihat perspektif kesejarahan, agama dan sains mulanya bersahabat, ini pada abad 17 dimana keduanya pertama…
Beberapa tahun terakhir, ada peningkatan minat masyarakat Madura terhadap bidang seni. Peningkatan minat tersebut tidak…
Neon Genesis Evangelion merupakan salah satu anime yang sangat populer di seluruh dunia, terutama karena…
“Bodo amatlah pada standar kesuksesan yang diagungkan oleh society dan media. We Will be something,…
Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat…
Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan,…