Image by NU Online
Image by NU Online

Agama dan Otoritas Ulama

Agama di satu sisi merupakan sebuah penghayatan, kepercayaan atau keyakinan (keimanan) secara personal. Demikian di sisi lain,  agama memiliki dimensi sosial-kultural sebagai perwujudan dari perilaku pemeluk agama, berpengaruh terhadap realitas sosial, serta melahirkan beragam sikap dan perilaku keagamaan. Demikian juga hal itu meniscayakan adanya otoritas bagi orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keimanan yang lebih baik (orang saleh),  memiliki pengetahuan keagamaan lebih dalam atau keturunan dari orang-orang saleh.

Otoritas-otoritas ini muncul bahkan sejak adanya para Nabi dan telah dipraktikan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana posisinya sebagai pemegang otoritas tertinggi di antara umat manusia yang lain karena tugasnya sebagai utusan Allah dan penerima Kitab Allah (Al-Qur’an). Namun setelah beliau wafat, pemegang otoritas ini berpindah pada sahabat-sahabatnya sampai kepada khalifah sebagai pemimpin agama dan pemimpin pemerintah, hingga ulama yang mendapatkan legitimasi sebagai pewaris para nabi.

Demikian pula yang terjadi di Indonesia, dinamika otoritas keagamaan mengacu pada figur-figur yang mendapatkan pendidikan ilmu agama atau pengetahuan keagamaan sehingga dianggap mampu memberikan solusi terhadap problematika keagamaan yang terjadi di masyarakat muslim, sehingga figur-figur tersebut dianggap layak mendapatkan label ulama (Kailani, 2019)

Menurut Kaptein, sebagaimana dikutip Kailani (2019), terdapat beberapa tipologi otoritas ulama yang dapat memberikan fatwa, yaitu tradisionalis, modernis dan kolektif. Tipe tradisionalis ini merujuk pada fatwa personal dari figur tertentu yang dianggap memiliki pengetahuan keagamaan yang luas, seperti saat umat Islam mengumpulkan pertanyaan yang diajukan kepada Ahmad Dahlan, seorang ulama mazhab Syafi’i di Mekkah.

Tipe kedua adalah tipe modernis, yaitu tipe fatwa yang diberikan kepada figur-figur yang diperbolehkan mengeluarkan fatwa tanpa merujuk pada ulama di Mekkah, sedangkan tipe kolektif adalah tipe fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu atau organisasi tertentu yang dianggap memiliki otoritas keagamaan, seperti bahtsul masail dalam Nahdlatul Ulama, Majelis Tarjih di Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memang fokus untuk menjawab persoalan keagamaan di Indonesia.

Dalam ruang lingkup kedaerahan, sosok ulama dirujuk pada tokoh-tokoh agama yang mendapat gelar Kyai atau ustadz yang sudah berlangsung sejak abad ke-19 yang merupakan warisan dari walisongo. Gelar ini dinisbatkan kepada sosok yang pada umumnya memiliki pesantren atau merupakan keturunan dari ulama atau tokoh-tokoh agama tertentu, sehingga mereka menjadi rujukan dan dianggap memiliki otoritas keagamaan oleh masyarakat di suatu daerah.

Kepercayaan masyarakat terhadap figur atau tokoh agama relatif kuat karena mereka dianggap sebagai rujukan untuk mempertimbangkan baik atau buruk menurut agama (syariat). Otoritas ini selanjutnya berlangsung tidak hanya pada aspek yang bersifat ubudiyah (ibadah) namun juga berkaitan dengan sosial kemasyarakatan bahkan pada aspek politik.

Demikian itu karena mereka menganggap bahwa nilai-nilai Islam akan tertanam lebih dalam dan memiliki pegangan lebih kuat dengan legitimasi politik sebagai salah satu cara melahirkan kebijakan. Walaupun tidak ada otoritas keagamaan yang tunggal di Indonesia yang berhak melegitimasi urusan agama yang sifatnya dinamis, seperti urusan politik.

Namun sejalan dengan perkembangan Islam dan merebaknya islamisme di satu sisi yakni kelompok yang memperjuangkan agenda islam melalui aksi-aksi politik, dan di sisi lain melahirkan banyak otoritas-otoritas baru dengan beragam corak baik jihadi, tahriri hingga salafi. Wacana-wacana keulamaan juga berkembang dengan beragam spektrumnya di ruang publik dari mulai jargon progresif, inklusif, moderat, radikal hingga ekstrim.

Gerakan-gerakan tersebut memiliki beragam tujuan dan kepentingan, baik untuk menjadikan Islam Indonesia sebagai Islam yang progresif hingga upaya-upaya mengislamkan Indonesia. Tentu wacana yang demikian cenderung menyasar politik pemerintahan hingga opini publik, sehingga salah satu langkah yang diambil pemerintah dalam kontestasi politik yaitu aktif melakukan konsolidasi dengan ulama dan mengangkat sosok Ma’ruf Amin pada pemilu 2019 sebagai wakil presiden yang sekaligus merupakan tokoh ulama konservatif dan dekat dengan oposisi dalam gerakan ‘bela Islam’ pada kasus penistaan agama Basuki Tjahya Purnomo (BTP/Ahok) (Ikhwan & Yunus, 2019).

Pergulatan  gerakan Islam dan politik tidak hanya terjadi di pusat pemerintahan melainkan menyasar sampai masyarakat daerah, terutama masyarakat Madura yang dikenal sebagai salah satu daerah yang memiliki ulama dan pesantren terbanyak di Indonesia. Tercatat dalam data Kemenag melalui situs ditpdpontren.kemenag.go.id terdapat 859 pesantren yang tersebar di 4 kabupaten yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.

Jumlah ini menunjukkan bahwa figur ulama konservatif hingga modernis relatif banyak di Madura, demikian juga menunjukan pengaruh mereka terhadap masyarakat yang cenderung lebih patuh kepada otoritas kyai dibandingkan pemerintah daerah semisal bupati. Maka dari itu, pertautan antara otoritas ulama dan politik lokal relatif kuat terutama munculnya pengaruh otoritas lain seperti blatir yang memiliki pengaruh besar dalam hal keamanan (informal) di Madura.

Kyai, Pesantren dan NU

Berbeda dengan sosok kyai di daerah lain, di Madura sosok kyai melekat dengan beberapa syarat yang harus ada untuk mendapatkan label kyai, yakni ia diutamakan berasal dari keluarga kyai, memiliki pesantren dan merupakan anggota ormas NU. Label kultural ini melekat dan seolah tertanam di dalam paradigma masyarakat Madura, meskipun terdapat kyai yang tidak memiliki pesantren namun mendapat gelar kyai, semisal kyai Fuad Amin Imron (Bupati Bangkalan (2003-2018) namun ia merupakan cicit dari kyai Kholil yang merupakan ulama besar dan anak dari kyai Amin Imron, pimpinan kyai dan juga Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Madura.

Posisi NU mendapat apresiasi di masyarakat karena NU mewadahi tradisi keagamaan masyarakat Madura yang relatif banyak dibanding organisasi lainnya seperti SI dan Muhammadiyah. Selain itu, para pendiri NU seperti kyai Hasyim Asyari dan kyai Wahab Hasbullah, pernah menjadi murid kyai Kholil, ulama kharismatik Madura dari Bangkalan yang akrab dengan gelar syaikhona.  Hampir semua kyai di Madura dan Jawa mengaku pernah menjadi muridnya, baik langsung maupun tidak langsung kepada kyai Kholil, ulama besar Madura.

Keterkaitan pesantren, ulama dan NU tidak dapat dipisahkan dan bahkan telah mengakar, sehingga banyak masyarakat yang menganggap NU sebagai ‘agama’ dalam arti bahwa NU sebagai basis kultural yang terus dilestarikan dan dipertahankan di Madura terutama sebagai upaya menjaga warisan syaikhona Kholil. Maka dari itu, pergulatan politik tidak bisa mengabaikan keterpengaruhan figur kyai dan pesantren dalam percaturan politik dalam pemilu, baik lokal hingga nasional, terutama pesantren dengan jumlah santri ratusan, yang notabene sami’na wa atha’na (manut) pada pilihan kyai yang dianggap representasi dari santri dan masyarakat (Zubairi, 2020).

Kuatnya pengaruh kyai dalam struktur sosial-politik dan keagamaan masyarakat Madura sudah dirasakan sejak lama. Selama masa kemerdekaan dan masa Orde Baru, kyai berperan sebagai aktor sosial-politik terkemuka di pulau Madura dalam mengawal NKRI dari pengaruh PKI misalnya, sekaligus mendirikan jejaring sosial dan kelembagaan alternatif di luar pemerintahan.

Ruang Publik tentang “Ulama Politik” di Madura

Pergulatan politik yang melibatkan otoritas ulama dan posisi strategis pesantren di masyarakat menjadikan pesantren seolah menjadi ajang kampanye, sehingga kondisi yang demikian melahirkan berbagai persepsi yang bervariasi di ruang publik. Menurut Mertia (2015) terdapat dua pandangan yang saling ber-oposisi terkait fenomena otoritas kyai atau ulama dalam politik.

Pandangan pertama, menganggap bahwa posisi kyai harus berada di luar pagar politik praktis. Sosok kyai harus bisa menjaga jarak dari paradigma politik yang dianggap buruk, maka kyai sebagai panutan dituntut tidak memihak dan berdiri di atas kepentingan semua kekuatan politik. Sedangkan pandangan kedua, memposisikan sebaliknya, yaitu bahwa kotornya politik praktis harus dibenahi dan diluruskan oleh sosok yang bersih dan berilmu, sehingga menjadi tanggung jawab kyai sebagai penjaga moral untuk memperbaiki kebobrokan politik.

Konsekuensi dari keduanya adalah citra kyai sebagai sentral dalam relasi struktur sosial di masyarakat akan berimplikasi langsung terhadap pesantren, santri bahkan masyarakat. Sehingga tidak jarang masyarakat pesimis, terutama saat Bupati Bangkalan, kyai Fuad terjerat OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK pada 2014 lalu.

Meskipun fenomena keterlibatan kyai pada politik praktis merupakan fenomena yang wajar dan tidak hanya di Madura, tapi seperti Zainuddin MZ dan A.M Fatwa mengisi dunia politik dan juga banyak masyarakat masih berpegang pada slogan mak pole bhender, sala bhei pagghun etoro’ parentana keyae (apalagi benar, salah pun perintah kyai akan diikuti). Tetapi, masyarakat yang kontra menilai bahwa orientasi politik adalah kekuasaan yang memiliki stereotip negatif bahwa jalur yang ditempuh kyai haruslah jalur dakwah dan mengayomi masyarakat dan menjaga jarak dengan politik praktis.

Pada tingkat yang lebih spesifik, keterlibatan kyai dalam politik praktis sepertinya sudah lumrah di Kabupaten Sumenep, misalnya terpilihnya kyai Busyro Karim sebagai Bupati Sumenep pada 2010 menggantikan kyai Ramdlan Siraj. Pada pilkada 2012 di Pamekasan, dua kandidat calon bupati merupakan kelompok kyai, yakni kyai Kholilurrahman dan kyai Achmad Syafi’i yang keduanya sempat mendapat kritik dari publik setelah kyai Kholilurrahman berpoligami dan kyai Achmad Syafii terjerat OTT KPK pada 2017 lalu.

Sejarah kelam pertautan ulama dan politik selama ini telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpikir lebih terbuka dan tidak taklid buta terhadap sosok kyai, melainkan juga harus kritis dan terbuka dalam menilai kontestasi politik yang melibatkan otoritas kyai maupun pesantren.

About The Author