image by troymedia.com

Hampir dua dekade Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) tidak mengalami perubahan. Berbagai kebutuhan atas perubahan zaman pun telah banyak yang belum termaktub dan terakomodir dalam Undang-undang tersebut. Berbagai pihak juga mendorong terjadinya transformasi dan akselerasi pendidikan secara substantif, bukan hanya perubahan secara brending dan konsep umum semata. Berdasarkan berbagai pertimbangan itu pula pada akhirnya Pemerintah melalui Kemendikbud RI melahirkan RUU Sisdiknas.

Tepat pada pertengahan tahun 2022 Rancangan Undang-undang (RUU) Sisdiknas dikeluarkan, setelah sekian lama menggantung sebagai isu dan menimbulkan ketidakjelasan di masyarakat. RUU tersebut mendapat banyak kritikan karena dinilai kurang adanya transparansi dan partisipasi publik dalam pembuatannya. Seolah-olah muncul begitu saja ke permukaan setelah sekian lama ditunggu-tunggu. Padahal di dalam prosedur pembuatan Undang-undang (UU) telah disebutkan secara tegas bahwa masyarakat berhak berpartisipasi memberikan masukan dan saran sebagaimana tertuang dalam Pasal 96 Undang-undang No. 12 Tahun 2011.

RUU sangat penting untuk dikaji dan dikritisi secara mendalam oleh masyarakat. Bila masyarakat tidak terlibat aktif dalam proses wacana dan penyusunan UU maka berpotensi lahirnya UU yang cacat dan prematur. UU yang tadinya diharapkan sebagai solusi hanya menjadi angan semata, karena akan berlaku sebaliknya, yakni menimbulkan penyakit dan masalah baru. Sebagai contoh apabila ada nilai yang bertentangan dengan prinsip agama dan negara dalam suatu pasal. Bila pasal tersebut tidak dikritisi dan direvisi maka akan menjadi UU yang jauh dari kata ideal.

Tidak hanya persoalan formil saja yang menghinggapi tubuh RUU Sisdiknas, persoalan fundamental pun tidak kalah pentingnya. Mulai dari indikasi liberalisasi, komersialisasi maupun industrialisasi pendidikan.

Pertama, kata madrasah yang absen dalam RUU. Hal ini bukan hanya menjadi ancaman legalitas semata, melainkan akan menyebabkan terjadinya liberalisasi pendidikan. Menurut KBBI, liberalisasi merupakan suatu proses dalam menerapkan paham liberal (bebas) pada aspek kehidupan terkhusus ekonomi dan tata negara. Lebih jauh lagi konteks liberal dapat pula terjadi dalam dunia pendidikan. Liberal dapat dimaknai pula sebagai suatu keadaan yang memaksa manusia bebas menentukan pilihannya, tidak terikat oleh apapun, termasuk berposisi kontra terhadap intervensi agama. Padahal secara historis maupun kontribusi madrasah memegang peranan penting dalam proses kemajuan pendidikan di Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka.

Madrasah sebagai identitas sekolah berbasis keagamaan ini penting untuk selalu ada. Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara menyebut bahwa pendidikan bertujuan untuk menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. “Keselamatan dan kebahagiaan”  merupakan puncak dari pendidikan yang seharusnya dijadikan pedoman. Hal ini tentu tidak sejalan dengan arah pendidikan yang termaktub dalam RUU Sisdiknas. Selain itu, arah pendidikan dalam RUU tersebut bertentangan dengan tujuan pendidikan pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi:

“Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Penulis menakutkan bila secara tekstual tidak tertuang dalam peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ambiguitas dan dapat mengarah pada proses liberalisasi pendidikan. Agama dan pendidikan seolah menjadi dua hal yang berbeda. Sehingga dianggap tidak boleh dicampuradukkan. Pendidikan yang tadinya bertujuan untuk melahirkan manusia yang beriman dan bertakwa akan sulit untuk diwujudkan.

Kedua, masyarakat dilibatkan dalam membayar pendidikan dasar. Contoh konkritnya terdapat pada Pasal 12 RUU Sisdiknas yang berisi tentang kewajiban orang tua dalam membiayai pendidikan dasar bagi anak. Padahal dalam konstitusi jelas pendidikan dasar adalah kewajiban negara. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 31 UUD 1945 memerintahkan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib untuk membiayainya. Bila RUU ini disahkan, kekhawatiran muncul pendidikan bangsa ini akan mengarah pada proses komersial. Negara memungut biaya tinggi dari rakyat dalam menunaikan kewajibannya melaksanakan amanah konstitusi pada aspek pendidikan.

Ketiga, adanya perubahan orientasi pendidikan dari asas filosofis menuju pragmatis-materil. Dalam draf revisi Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas berbunyi sebagai berikut:

“Jenjang Pendidikan menengah merupakan Pendidikan yang dirancang untuk memperdalam pemahaman atas ilmu pengetahuan yang lebih variatif dan spesifik serta mempersiapkan Pelajar untuk:

  1. melanjutkan ke Jenjang Pendidikan tinggi;
  2. mengembangkan keterampilan yang relevan dengan dunia usaha dan dunia kerja.”

Pada ketentuan huruf “b” pada pasal tersebut jelas bahwa arah pendidikan nasional ingin dibawa pada proses industrialisasi pendidikan. Dalam istilah lain dapat ditafsirkan bahwa arah pendidikan yang dicanangkan dalam RUU Sisdiknas berorientasi pada dunia kerja dan profesi belaka. Ketika berbicara mengenai industri maka erat kaitannya dengan kapitalisme. Adapun yang lebih mengkhawatirkan lagi, peluang pendidikan bangsa ini dimanfaatkan oleh para elite kapital akan semakin terbuka lebar. Hal ini tentu bertentangan dengan filosofi dan tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Berdasarkan ketiga indikasi di atas, apabila dibiarkan akan mengancam terpuruknya masa depan pendidikan di Indonesia. Maka dari itu, perlu perubahan dan perbaikan secara komprehensif dalam RUU tersebut. Mulai dari aspek formil maupun materil. Aspek formil yang perlu ditekankan adalah partisipasi dan transparansi publik baik dalam penyusunan, serap aspirasi hingga pengesahan dan evaluasi komprehensif dari para stakeholder pendidikan. Adapun aspek materil dari berbagai pihak seperti PGRI yang mengkritik persoalan guru honorer, Muhammadiyah yang mengkritik soal diksi Madrasah yang dihilangkan, maupun Poros Pelajar Nasional yang mengkritik soal pelajar sebagai subjek pendidikan perlu untuk didengar dan diserap aspirasinya.

About The Author