Couple showing no symbol sign

Dunia pendidikan kembali bingung menentukan sistem yang patut diterapkan di era serba teknologi informasi ini, dimana banyak sumber berita mengarah pada kebohongan atau dikenal dengan istilah Hoax. Sementara kegemaran masarakat merujuk serta menyerap informasi pada teknologi ternilai semakin meningkat setiap tahunnya hingga menyerap anak dibawah umur. Berita yang tersebar di dunia maya ini bahkan bisa menjadi viral oleh para netizen yang selalu membagikan secara berkala sehingga berita hoax merambah pada sejumlah kalangan dari waktu ke waktu. UU ITE No. 11 Tahun 2008 pun belum bisa mengatasi berita-berita hoax secara keseluruhan.
 
Seorang Pakar Psikologi Media mengatakan bahwa pemahaman tentang pengaruh informasi verbal dan visual menimbulkan berbagai jenis aktivitas kognitif. Gambar diproses secara keseluruhan atau konfigural menciptakan kesan umum yang independen dari setiap fitur tertentu. Informasi verbal diproses secara keseluruhan atau lebih analitis tergantung jenis informasi dan format yang disampaikan.

 
Kerap kali pendapat seseorang terkait isu sosial masih dievaluasi secara sosial liberal dengan pola berfikir konservatif. Setiap pendapat dinilai secara independen dan penilaian individu digabungkan secara mekanis unuk membentuk evaluasi keseluruhan. Sehingga dengan berita yang menurut netizen menarik dan menimbulkan kesan, akan mudah percaya dengan suatu informasi yang belum tentu kebenarannya. Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs yang mengaku sebagai portal berita. Namun, dari jumlah tersebut yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.
 
Memeriksa fakta suatu berita terkadang media atau portal berita yang resmi pun memberikan berita yang bias akan fakta dengan berbagai framing pemberitaan sesuai dengan konsep berita atau ideologi yang dimilikinya. Hal itu yang menimbulkan kebingungan pada masyarakat terhadap suatu berita faktual yang silih berganti.
 
Hal wajar saat ini mulai sering teknologi menjadi pemicu kesan negatif pada penggunanya lebih-lebih pada peserta didik yang masih haus pengetahuan, maka selain anak tumbuh menjadi orang yang anti sosial karena sudah terbiasa bermain dengan alat pintarnya, di situ anak akan senantiasa percaya dengan apa saja yang sudah mereka dapatkan melalui gadget maupun smartphone-nya.
 
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Pew Research Centre atau lembaga sumber fakta non-partisan yang memberikan informasi terkait isu-isu, peristiwa, dan tren yang terjadi di Amerika dan dunia bahwa hanya 39% warga dewasa Amerika yang mengaku mampu mengenali berita hoax. Survei ini dilakukan terhadap lebih dari 1000 orang dewasa, bahwa sekitar 23% dari responden sudah memberikan berita hoax. Sehingga orang dewasa pun belum bisa membedakan mana berita hoax dan mana berita yang sesuai fakta.
 
Hal ini masih orang dewasa, belum lagi anak-anak yang merupakan bagian terpenting bagi perubahan generasi bangsa. Sebuah survei yang dilakukan oleh Common Sense Media, yaitu sebuah organisasi non-profit yang fokus membantu orangtua, anak-anak dan para pendidik dalam menggunakan teknologi, menghasilkan riset sekitar 30% anak mengaku pernah membagikan berita secara online sedangkan mereka belum mengetahui kebenaran beritanya. Survei ini dilakukan kepada 853 anak usia 10 tahun hingga 18 tahun. Common Sense Media juga menyatakan penemuannya bahwa sekitar 39% anak lebih menyukai media sosial sebagai sumber berita, 36% dari keluarga, guru, atau teman dan 24% anak memilih mendapatkan berita dari media tradisional. Bagi kalangan remaja Facebook merupakan media sosial untuk mendapatkan berita sebagai sumber favoritnya. Sedangkan anak-anak usia 10-12 tahun lebih memilih Youtube.
 
Fenomena ini harus direnungi oleh sebagian pengelola pendidikan kedepan, bukan hanya bagi orangtua, namun para guru yang dianggap memiliki kemampuan akademik mencukupi. Segera melakukan evaluasi secara mendalam tentang sistem pendidikan karakter saat ini mampukah menjawab probelmatika sosisal budaya teknologi? Maka sistem pendidikan berbasis teknologi anti hoax sangat dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi pelajar yang merangkum seluruh materi-materi tentang ciri-ciri berita hoax, bahaya dan pencegahannya.
 
Pada akhirnya semua permasalahan ini menjadi sebuah refleksi bagi kita untuk lebih memajukan sistem pendidikan yang ideal, yaitu memberikan pendidikan teknologi yang sehat bagi anak-anak. 

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN MALIKI Malang, Pegiat Kajian Sosiologi Pendidikan dan Penggagas Forum Kajian Simposium

About The Author

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here