Concept image of anxiety and negative emotion. Waste paper and head silhouette.

Arus peradaban menjadi lokus yang sentral pada abad ini, menjadi sebuah terowongan yang paling menakjubkan bagi setiap orang yang senantiasa menikmati dampak dari warna perubahan ini. Sebuah keagungan peradaban mulai menjamah di berbagai sektor, ia dengan begitu mudahnya masuk melalui pikiran dan perilaku yang selanjutnya menjadi kebiasaan mutlak atas timbulnya sebuah peradaban modern yang menghempaskan kebudayaan masyarakat. Peradaban atau civilization pada umumnya menciptakan gumpalan-gumpalan hasil olah pikiran yang dibawa menuju pengetahuan tanpa etika, tidak begitu menjunjung akses moralitas. Penentuan objektivitas tersebut tentu menimbulkan renaissance yang secara gradual dapat mengkonstruksi nilai-nilai pemahaman masyarakat tertentu akan sebuah lajur modernitas yang dibungkus secara rapi melalui civilization.

Tantangan ini sangat berdampak pada perubahan siklus tatanan sosial, politik, agama, dan negara. Tentu bukan karena sifatnya yang dapat memobilisasi pengetahuan baru, melainkan terdapat kecenderungan acuh yang sudah mengakar di pribadi masing-masing, khususnya masyarakat negeri ini. Agama dan negara khususnya, menjadi payung dari terciptanya new civilization, tapi bisa juga sebagai perisai yang kokoh jauh melebihi perisai-perisai yang digunakan prajurit tempur romawi kuno. Seperti yang pernah dipaparkan Samuel Huntington (baca foreign affairs, summer 1993), bahwa sivilisasi dapat mengontrol apa-apa yang ada di sebuah negara, khususnya terhadap agama dan negara. Pendapat di atas lebih melihat dinamika agama dan negara dari sudut pandang konfrontatif, di mana pada akhir-akhir ini sudah banyak kita temukan psywar bahkan agresifitas terkait kedua lembaga tersebut.

Di balik itu semua, dibutuhkan seseorang atau sekumpulan orang yang menurut filsuf Julien Benda mereka yang memiliki keabsolutan moral yang terdiri dari tiga karakter utama, yakni keadilan, kebenaran, dan akal: ketiganya harus memiliki ciri seimbang, lepas dari kepentingan, dan rasional. Mereka yang kemudian disebut sebagai kumpulan intelektual progresif. Secara umum, seorang intelektual progresif mereka yang memiliki kepekaan serta kesadaran akan fenomena di sekitar, responsif terhadap suatu perkembangan yang sedang terjadi, dan menjadi organ solutif dalam segala perselisihan yang terjadi yang berperan dalam menciptakan sebuah rekonsiliasi di antaranya.

Memperhatikan, membedah, dan menjawab pertanyaan akan realitas subtansial yang eksis di balik meta fenomena, perkembangan peradaban akhir-akhir ini tentu menjadi tugas pokok kaum intelektual progresif. Sumbangan pemikiran dan tindakannya diharapkan dapat mengambil peran sebagai jawaban atas segala persoalan yang terjadi. Tidak hanya berbekal pengetahuan, tetapi mereka harus berperan sebagai Iron Stock yang tangguh dalam merespon isu-isu aktual dan memiliki etika yang mulia (Akhlaqul Karimah), Guardian Of Value yang bertugas dalam menjaga nilai-nilai kemasyarakatan, terutama masyarakat kelas bawah, dan juga mereka turut andil sebagai Agent Of Social Control yang berperan sebagai penggerak perubahan dalam struktur masyarakat dan menciptakan pola humanisasi dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat pada umumnya, integral dalam kehidupannya.

Indonesia merupakan negara heterogen dengan berbagai perbedaan ras, suku, budaya, agama, bahasa yang tidak jarang menimbulkan polemik rasialisme. Penghancuran rumah adat & ibadah, marginalisasi atas dasar warna kulit, dan deskriminasi terhadap bahasa tertentu menjadi momok yang sangat menakutkan dalam persatuan nasional. Seorang intelektual progresif harus masuk ke dalam sektor ini sebagai penengah atau menciptakan suatu pola hubungan yang dapat meyingkirkan ambisi-ambisi tersebut, memberikan suatu solusi sebagai dasar dari persoalan rasial tersebut.

Sebutan intelektual pada masa Tzar di Rusia diberikan kepada mereka yang dikirim ke barat untuk menguasai dasar-dasar peradaban barat, serta dilakukan secara khusus ketika mereka sudah kembali ke negara asalnya. Pemerintah Rusia kala itu tidak ragu memberinya gelar “intelligentsia” karena utusan-utusan tersebut dianggap sebagai cikal dari legitimasi prestise Rusia kedepannya. Di indonesia, Soekarno pernah berbicara di hadapan “Openbare Vergadering P.N.I Bandoeng dan Jacatra” Desember 1929 bahwa menurutnya kaum intelektual adalah kaum yang akal pikirannya telah mendapat didikan dan pengajaran, mereka juga merupakan produk sosial dari suatu “Onderwijs” pendidikan (baca Soewarsono, Keboedajaan dan Nasionalisme Kebudayaan, PMB-LIPI, 1997: 24). Dari hal diatas, kita bisa membuat paralelisasi antara keduanya, bahwa kaum intelektual progresif muncul sebagai magnum opus dari proses pendidikan yang kemudian dapat membaca secara otentik berbagai polemik nasional maupun internasional.

Dewasa ini belum terlihat secara nyata peran yang diambil oleh kaum intelektual. Mereka belum mampu menjawab kegelisahan-kegelisahan masyarakat dalam menghadapi tantangan peradaban. Oleh karena itu, Forum Kajian SIMPOSIUM ini diharapkan dapat memunculkan ide-ide progresif dekonstruktif transformatif dalam dinamika struktur sosial, menempatkan diri pada barisan depan dalam menghadapi berbagai persoalan masyarakat, serta dapat mengkonstruksi kesadaran-kesadaran pada masing-masing pribadi manusia. Dan tidak lepas dari itu semua, pengembangan diskursus keilmuan menjadi tugas utama dalam melacak konstruk khazanah intelektual progresif tersebut.

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UNAIR Surabaya, pegiat Psikologi Sains dan Penggagas Forum Kajian Simposium

About The Author

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here