image by The New York Times

Sampai detik ini, saya pribadi tidak pernah paham apa fungsi belajar rumus integral, phitagoras, limit, hukum newton, molekul, partikel, atom, dan sebagainya itu dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan ada meme yang berbunyi “pelajaran paling berguna di sekolah cuma piket kelas dan baris-berbaris. Karena setelah lulus lebih banyak lowongan cleaning service dan satpam”.

Tentunya itu menohok dunia Pendidikan kita saat ini, bahwa pendidikan adalah bagian kehidupan itu sendiri agaknya cuma wacana agung. Tidak pernah ada kesesuaian yang jelas dari pelajaran sekolah dengan kehidupan. Pendidikan dalam hal ini sekolah tidak lebih dari gedung dengan ruang sekat empat sisi, yang di dalamnya kekerasan simbolik diproduksi. Ini entah pendidiknya yang gagap dengan konsep dasar pendidikan, atau memang sistem pendidikannya yang bermasalah, kita sebagai bangsa yang perlu merefleksikannya.

Guru Matematika saya dulu sangat marah dan kecewa begitu hasil ujian muridnya jeblok merah. Lalu, hal itu merembet ke orang tua. Di kelas dimarahi, di rumah juga dimarahi. Sudah goblok, dimarahi pula. Sepanjang sekolah, saya rasa banyak siswa yang senasib dengan saya. Padahal, sampai detik ini, baik guru, orang tua, apalagi saya (murid) masih belum tahu, apa fungsi belajar rumus-rumus itu dalam kehidupan?

Saya saat itu memang merasa bersalah. Tapi, setelah lulus, agaknya rasa bersalah itu berubah. Terlebih saat berada di lingkungan kerja dan sosial. Petugas pom bensin gak pernah menggunakan rumus matematika, fisika, apalagi biologi saat menuang bensin. Karyawan pabrik juga saya lihat cuma menunggu, mengawasi, dan mendampingi mesin-produksi. Begitupun saat ke pasar, tidak pernah saya melihat penjual-pembeli menggunakan analisis peluang dan neraca administrasi debet-kredit. Lalu mengapa guruku begitu marah saat saya tidak bisa matematika, fisika, biologi, dan lainnya? Seakan kalau saya tidak bisa mengoperasikan rumus dan menghapal materi, nasib saya bakal suram. Sebenarnya belajar itu semua untuk apa dan siapa? Ini bukti bahwa pendidikan menjauhkan anak dari kebutuhan dan lingkungannya.

Mungkin, saat kita sebagai bangsa bisa memahami titik permasalahan tersebut, kualitas sumber daya manusia (SDM) kita akan membaik.  Karena tidak bisa dipungkiri, selama ini praktik pendidikan selalu gagal mensinkronkan antara pelajaran dengan kebutuhan murid. Pendidikan lebih terkesan menciptakan dunia yang dibentuk oleh keangkuhan, kemewahan, dan kepatuhan semata.

Terlebih sekarang, era disrupsi bergulir, jelas paradigma baru datang begitu banyak.  Segala bidang kehidupan tiap waktunya dihantui kehadiran perubahan yang radikal. Apalagi bidang pendidikan. Jelas akan menjadi sasaran utama angin perubahan tersebut. Pendidikan bukan lagi harus didominasi pengetahuan satu arah. Pengetahuan harus terbuka dari segala arah dan tepat sasaran sekaligus mendalam. Poin ini tidak bisa ditawar. Jangan sampai peserta didik dikurung dalam kepatuhan, harus begini, begitu. Karena kehidupan hari ini dan masa depan menuntut suatu hal yang bersifat elastis.

Dalam menumbuhkan peserta didik dengan etos kreatif yang kuat, pengajaran harus memberi kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk lebih terlibat dalam pengalaman konkret. Dari John Dewey hingga Paulo Freire dan Seymour Papers sepakat bahwa pengajaran harus lebih menekankan ekspresi dan eksplorasi daripada intruksi. Dengan begitu, siswa lebih muda menarik kesinambungan antara pelajaran dengan kehidupannya.

Banyak metode yang tersedia untuk mengimplementasikan itu. Terutama metode pembelajaran terpadu. Banyak permodelan yang bisa kita ambil. Salah satunya project based learning model integrated. Metode tersebut mengajak siswa mengkreasikan proyek dengan menyinambungkan antar pelajaran. Selama ini model proyek lebih dijalankan dengan keparsialan.  Padahal, metode proyek lebih logis bila diterapkan dengan integrated. Agar dapat nilai holistik dari penerapannya, kesalahkaprahan yang mendasar tersebut harus segera diperbaiki dengan serius.

Guru harus berbenah. Seorang pengajar tidak boleh defensive dengan perubahan. Guru harus reflektif. Bermodal pengalaman bukan lagi zamannya. Karena hari ini perbedaan kultur generasi jelas adanya. Instruksi bukan lagi hal yang perlu diagung-terapkan. Kolaborasi dan kerja nyata wajib jadi dasar sikap-pikiran. Bukankah semua guru adalah murid, dan semua murid adalah guru? Kalau tidak begitu, kreatifitas dan inovasi akan gagal bertumbuh. Terlebih lagi literasinya, akan sulit berkembang dan menghasilkan.

Selain itu, proses pemupukan manusia kreatif dan inovatif melalui pendidikan harus didukung oleh pengembangan ekosistem kreatif dalam masyarakat. Dalam istilah Amartya Sen, harus ada kesinambungan dan keseimbangan antara pemupukan kapabilitas lewat proses pendidikan dengan keberfungsian kapabilitas itu  dalam pengalaman konkret, dengan dukungan kerangka sistematis yang kondusif, seperti kebebasan politik, fasilitas ekonomi, kesempatan sosial, jaminan transparansi, dan keamanan protektif.

Seperti yang sudah menjadi rumus umum bahwa pendidikan itu melibatkan suatu yang kompleks, sehingga kreativitas itu tidak terjadi sebatas kepala manusia secara terisolasi. Melainkan dihasilkan melalui interaksi antara pikiran manusia dengan konteks sosial-budaya.

Kurikulum Merdeka Jalan Awal

Tidak pernah ada kata terlambat dalam belajar dan berbenah. Di 2022 ini, Kurikulum Merdeka telah hadir. Konsepnya cukup jelas, banyak pemerhati pendidikan menaruh dukungan dan semangat di dalamnya. Karena memang dasar konsepnya mengajak pada perubahan yang holistik dan bebas.

Karakteristik utama dari Kurikulum Merdeka adalah, pembelajaran berbasis proyek untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar pancasila; fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi literasi dan numerasi; fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks-muatan lokal.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa selama ini pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkan pendidikan cenderung tumpul dan melebar di biaya. Sementara bonus demografi hadir di depan mata dan disrupsi kian nyata.

Bonus demografi jangan sampai jadi boomerang. Lewat kurikulum merdeka, instrumen konsep kreatifitas-inovasi diberi jalan lebar. Bukan cuma ditugaskan pada pendidik dan subjek pendidikan lainnya, melainkan harus ada refleksi bersama dalam masyarakat berbangsa.

Manusia pembelajar harus dibekali dengan kapabilitas dasar dengan dua macam kemampuan. Di satu sisi harus memiliki kelenturan untuk menyesuaikan diri dalam angin perubahan. Di sisi lain harus memiliki akar yang kuat agar tidak mudah roboh diterjang angin. Yang pertama memerlukan daya kreatif. Yang kedua memerlukan daya karakter. Dengan semangat pancasila, pendidikan yang berkebudayaan akan benar-benar hadir-terbentuk. Kurikukum merdeka adalah jalan awalnya.

About The Author