image by Alexander Nemenov/AFP/Getty Images

Saya kadang tidak bisa menulis jika tidak didasari dengan keresahan, atau sekadar mengkaji ulang hal yang dianggap lumrah, padahal salah. Selalu ingat kata-kata ini: kebohongan yang diulang-ulang suatu saat akan menjadi kebenaran. Nah itu benar, seperti anggapan komunis di Indonesia.

Terus terang saja, saya akan membahas tentang komunis, iya komunis, menurut anggapan masyarakat kita, lingkungan kita, yang anggapan tersebut terus bergema sampai sekarang. Sangat sulit menjelaskannya, sama seperti saya yang sering memilih diam kalau bapak-bapak berbicara komunis, PKI, hingga China. Coba saja kalian jelaskan secara akademis apa itu komunis sebenarnya, malah kalian yang dianggap komunis.

Masyarakat kita menganggap komunis itu musuh, gejala yang sering disandingkan adalah perpecahan, adu domba, kriminal, mengancam ulama, dan ujung-ujungnya China. China ingin menguasai Indonesia, lewat Jokowi, lewat PDI, bahkan parahnya saat pandemi Covid19 lewat vaksinasi.

Alasan yang pernah saya dengar, dia tidak ingin divaksin karena takut imannya berkurang. Dalam hati saya tertawa, apa hubungannya? Apalagi vaksinnya dari China, sudah pasti PKI katanya. Dari seorang dosen, bahkan sudah doktor. Beliau berbicara mengenai jalur masuknya narkoba, kesimpulannya malah: inilah PKI, komunis itu ada tapi perlahan dan diam-diam ingin menghancurkan kita.

Anggapan yang salah dari seorang yang kita panggil ulama juga ada, kalian dengan mudah cari di YouTube, medsos atau di grup WhatsApp. Biasanya yang teriak-teriak itu, caci sana-sini, mengumpulkan masa dll. Saya tidak bisa sebutkan personalnya, atau saya akan dituduh PKI juga.

Memang anggapan mengenai PKI/komunis hanyalah asumsi dan menduga-duga saja, tapi itu berbahaya. Akibat dari anggapan liar ini banyak orang disebut PKI hanya karena beda pandangan, organisasi dan pemikiran. Akhirnya PKI memjadi alat untuk membenci dan memukul lawan yang tidak disukai.

Pak Gatot Normantyo, mantan panglima itu awalnya juga aktif membuat isu PKI. Anggapan-anggapan beliau bahkan tidak ragu disalurkan langsung di TV. Gatot beranggapan bahwa penghapus sejarah pemberontakan PKI di kurikulum pendidikan, penghentian pemutaran film G30S PKI dan pencabutan TAP MPRS No. XXV 1966 merupakan upaya yang dilakukan PKI untuk bangkit kembali.

Terdengar masuk akal untuk orang awam. Tapi perlu diketahui, orang pertama yang menghapus kewajiban pemutaran film tersebut merupakan mantan Letnal Jenderal Yunus Yusfiah, didukung oleh menteri pendidikan Juwono Sudarsono, keduanya merupakan anggota Kabinet Reformasi Pembangunan masa Presiden BJ. Habibie.

Juwono Sudarsono bahkan yang melakukan peninjauan ulang terhadap buku sejarah yang dianggap mengandung sejarah yang tidak benar yang akhirnya dicabut dari kurikulum. Beliau tentu bukan PKI, beliau merupakan profesor, lulusan Belanda, Amerika hingga Inggris.

Mengenai pencabutan TAP MPRS No. XXV 1966, yang mengusahakan adalah Gus Dur yang menjadi presiden ketika itu. Alasannya bagus sekali, karena undang-undang tersebut dapat dijadikan dasar diskriminasi terhadap begitu banyak orang yang tidak salah hanya karena dicurigai PKI atau bahkan hanya dituduh PKI.

Ternyata benar kan? Yang kemarin ramai untuk menjatuhkan lawan politik menggunakan isu PKI, biar Pak Jokowi dibenci pakai isu PKI, Pilgub Jakarta pun sama. Jadinya rasis, penduduk keturunan Tionghoa jadi bulan-bulanan di mana-mana. PKI, komunis, sudah pasti China, dinarasikan terus-menerus sampai sekarang.

Lanjut, terus apa sebenarnya komunis itu? Singkatnya komunis itu paham sosial-politik, bukan adu domba ataupun ateis seperti anggapan masyarakat kita. Paham ini ingin menciptakan masyarakat yang tanpa kelas dan ketimpangan sosial. Menjawab efek dari ekonomi liberal yang menimbulkan kapitalisme.

Pejuang kemerdekaan juga banyak yang menganut paham ini, seperti Tan Malaka yang merumuskan Republik Indonesia. Alimin, pejuang nasionalis yang pernah aktif menjadi anggota Boedi Oetomo dan Syarikat Islam. Amir Sjarifuddin, dia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri kedua menggantikan Sutan Syahrir.

Semangat komunisme juga turut mewarnai kemerdekaan Indonesia bahkan juga mewarnai Pancasila. Ide keadilan sosial (social justice) adalah dasar dari ajaran komunis. Itulah yang kemudian dirumuskan dalam butir kelima Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rahkyat Indonesia”. Keadilan sosial itu komunisme, semangat ketuhanan itu teokrasi, kemanusian itu humanisme, permusyawaratan itu demokrasi dan persatuan itu bhinneka tunggal ika.

Jadi sila dalam Pancasila itu disarikan dari banyak ideologi pada masa itu. Tokoh pemikir dan pergerakan seperti Mohammad Natsir, Agus Salim, Tan Malaka, Soekarno, Hatta dan Syahrir mempunyai gagasan dan ideologi berbeda tentang bentuk dan dasar negara. Perdebatan itu terus bergulir hingga mereka bersepakat dengan Pancasila itu yang di dalamnya memuat seluruh perbedaan ideologi mereka. Soekarno dalam pidato 01 Juni menyebutnya sebagai philosofische grondslag, adalah dasar filosofis yang di atasnya itu didirikan bangunan negara yang berdaulat.

Lantas kapan komunis mulai dimusuhi? Komunis menjadi buruk citranya ketika terjadi keketidakseimbangan kekuatan antara Islamisme, Komunisme, dan Nasionalisme. Tiga kekuatan besar itulah yang oleh Soekarno berusaha disatukan dengan ide Nasakom, tetapi banyak menuai kecaman oleh masyarakat utamanya yang beragama Islam, bahwa komunisme dan islamisme tak mungkin bisa disamakan. Salah satu tokoh yang menolaknya adalah Buya Hamka hingga membuatnya dipenjara.

Ketegangan itu berlanjut hingga puncaknya ketika komunisme menjadi rival utama ABRI setelah sebelumnya berseteru dalam peristiwa Madiun. Puncaknya di tahun 1965 yaitu peristiwa G30S PKI yang pada akhirnya dimenangkan oleh ABRI. Selama orde baru itulah di masa pemerintahan Soeharto komunisme menjadi musuh negara. Sebuah tragedi kemanusian di mana negara secara resmi memburu dan membantai rakyatnya yang dicurigai komunis. Narasi buruk tentang komunis dan PKI melalui tulisan, kesenian, dan film terus-menerus dikampanyekan hingga saat ini.