image by darus.id

“Hidup yang tak diselidiki adalah hidup yang tak layak untuk dijalani”—Socrates.

Terdapat banyak hal dalam kehidupan ini yang begitu rumit—barangkali juga semuanya. Kita yang tidak pernah mengenal hidup sebelumnya lalu tiba-tiba hadir saja dalam kehidupan ini. Saat menjadi bayi kita hanya melihat kehidupan lewat kaca mata orang tua, begitu dewasa kita mulai punya kesadaran penuh atas hidup.

Di saat itu pula deraan kehidupan begitu  terasa. Apa kehidupan itu sendiri? Bagaimana semestinya kita menjalani kehidupan ini? Adalah rentetan dari sekian banyak pertanyaan yang bersemayam di benak kepala. Sialnya pertanyaan semacam itu tak kan hilang sebelum kita dengan pasti menjawabnya secara tuntas.

Sudah berabad-abad manusia berupaya menjawab pertanyaan terkait kehidupan. Namun sering kali berakhir pada pertanyaan baru yang tidak kalah rumitnya. Sebuah pertanyaan besar dimulai dengan usaha menjawab kehidupan secara terperinci.

Biasanya berharap dengan mengumpulkan jawaban dari setiap aspek kehidupan, seperti cinta, pasangan, pekerjaan, hingga tragedi dapat membantu menyumbangkan premis bagi kesimpulan yang logis untuk menjawab kehidupan. Tapi seperti yang saya katakan di atas, mesti berakhir pada sebuah pernyataan yang rumit.

Lantas mengapa kehidupan ini sulit sekali untuk kita jawab, apakah pertanyaan tentang kehidupan itu lebih sulit dibanding menjalaninya? Kalaupun dalam artian hidup hanya perlu dijalani saja, mungkin kita kalah jauh dibanding ayam tetangga atau kucing belang tiga di sekitar rumah.

Saya merasa kehidupan ini memang rumit, tapi kerumitan itu sendirilah yang memberi kehidupan pada hidup ini. Terasa paradoks, jelas! Ini memang kesekian kalinya hal-hal yang membingungkan benar-benar ada dan dapat dibenarkan keberadaannya.

Di luar sifat paradoks tersebut, kerumitan itu sendiri memberikan sumbangsih yang besar untuk tenaga kita dalam menjalani kehidupan ini. Kerumitan adalah bagian dari kita sebagai manusia, karena akal, kita dapat mengeluarkan sebuah pertanyaan dan tentu pertanyaan yang jawabannya berupa sebuah pertanyaan baru terus-menerus, dan pada akhirnya lahirlah sebuah kerumitan yang saya maksud.

Pertanyaan yang bagaimana pada akhirnya berlabuh pada kerumitan, kita mulai saja dengan persoalan sederhana dan yang paling dekat dalam hidup kita, kiranya apa itu jodoh dalam perihal perkawinan?

Semestinya sebagian dari kita pun bisa menjawab hal itu dengan baik sebagai orang yang sudah menikah. Tapi sebagian yang telah menikah pun akan mempertanyakan hal yang serupa.

Tentunya tiada gambaran seorang untuk menentukan jawaban apa yang disebut dengan jodoh. Apakah setiap manusia dalam kehidupan ini memiliki jodohnya? Apakah jodoh itu berupa kesamaan sifat dari dua insan? Atau jodoh itu adalah saat seseorang sukarela mengafirmasi kelemahan dihadapan seseorang? Atau jodoh hanyalah pelipur lara dari hati yang gelisah?

Serta apakah jodoh hanya untuk dua insan; laki dan perempuan? Belum lagi harus ditambah jodoh dijadikan sebagai alasan konskuensi keterkekangan perasan.

Dalam hal ini menduakan pasangan adalah sebuah momok yang diwaspadai satu sama lain. Bahkan sebagian yang merasa dirinya berjodoh pun ada yang belum sanggup memikul beban keterikatan satu sama lain.

Berarti jodoh sendiri belum menjadi jaminan pasangan untuk tidak saling berpaling selamanya—yang dapat kita lihat dalam perdebatan antara pranata monogami dengan poligami.

Kembali lagi apa itu jodoh? Kalau seseorang dirasa menjadi jodohmu, apa hal yang melekat dari dirinya dan dirimu sekaligus hingga mampu dikatakan berjodoh? Sungguh saya sendiri belum mampu menjawab dengan lugas, terlebih saat tulisan ini dibuat saya belum menikah.

Saya cukupkan sementara hal mengenai jodoh, sebab ada banyak hal-hal mengenainya yang masih tidak tergapai oleh saya sendiri, setidaknya keberanian saya masih sebatas dipermukaan untuk membahas dan membahasakannya.

Selain jodoh ada pula yang dalam hidup ini yang begitu dekat untuk dipertanyakan, yakni terkait relasi keberadaan kita dengan rasa sakit yang diterima. Seberapa penting keberadaan kita dalam kehidupan ini dan mengapa kita ada? Kita yang hidup ini acapkali penuh dengan rasa sakit selalu berusaha menghindarinya dengan kesenangan.

Jika rasa sakit itu nyata dalam hidup ini bukankah hidup ini jadi tidak menyenangkan untuk dijalani?

Selain itu, kita tahu hidup ini silih berganti, keberadaan kita hanya sementara; mungkin tergerus dan terlupakan dari generasi ke generasi. Jadi buat apa kita ada kalau toh nanti juga akan sirna dengan sendirinya.

Andai saja waktu dapat direkayasa apakah kita berani memilih untuk ada? Kita berada dalam dimensi pergantian, yang dinamis dan yang tak pasti. Sesungguhnya hasrat untuk bertahan tidaklah mampu menyelamatkan dari kesia-siaan semata, seperti kata Chairil, “Hidup hanyalah menunda kekalahan”.

Kalau begitu apakah kita layak untuk pergi dari kehidupan atas kehendak sendiri. Jika iya apakah kita layak disebut pemenang?

Di antara keberadaan, kita juga adalah makhluk yang senantiasa menghindari rasa sakit. Dalam diri juga ditanamkan secara alamiah untuk mengejar kebahagiaan. Suatu perasaan yang tidak abadi, mudah sirna tergantikan secara tidak terbatas.

Kita yang tidak mampu melawan rasa sakit selalu menghindarinya dengan kebahagiaan, bahkan dengan sebatas pengharapan. Tapi anehnya hal itu juga yang berpotensi menambah rasa sakit berikutnya jika pengharapan tidak segera ada dalam kenyataan. Jadi rasa sakit tampaknya memang layak untuk dipikul dan nyaris tidak untuk dihindari jika memang demikian kiranya.

Keberadaan kita memang layak untuk dipertanyakan namun apabila dapat dijawab dengan seksama saya berharap jawaban itu kemudian dapat membantu menyesuaikan tindakan kita yang “semestinya” dalam kehidupan.

Alangkah menyenangkan bila kita benar-benar mengetahui tindakan kita tanpa ada konskuensi rasa sakit. Tapi tanpa tindakan pun, rasa sakit masih tak dapat dihindari, seperti mendengar kabar kepergian seseorang, terlebih yang kita anggap penting dalam hidup.

Tentu rasa sakit juga terperoleh dari hal yang semacam itu. Begitu naif jika sebagian dari kita berkata seseorang mampu menolak rasa sakit dengan segera.

Sebaiknya rasa sakit ditinggal pergi memang harus diendapkan dalam dalam hingga tubuh terbiasa menerimanya. Begitulah keberadaan kita yang penuh dengan rasa sakit yang mengelilingi dan mengakibatkan rasa sakit bagi manusia yang lain.

Kalau begitu, tanpa disadari keberadaan kita memberikan dampak bagi orang lain pula dengan atau tanpa tindakan.

Pentingnya memikirkan apa yang terberi saat ini bukan untuk mencari dan menambah kerumitan, akan tetapi untuk memaknai hidup lebih mendalam dan menyiasati segala macam deraan dalam hidup ini.

Hidup di dunia yang dirasa berat membutuhkan perhitungan yang logis dan renungan terus-menerus. Meskipun masih banyak hal-hal yang irasional untuk dipahami. Belum lagi misteri kehidupan yang datang sewaktu-waktu seperti hantu di balik kabut yang membawa kejut.

Hidup perlu dicurigai bukan semata dijalani agar setidaknya ada hal yang membedakan kita dengan ayam tetangga atau kucing belang tiga di sekitar rumah.

About The Author