image by beincrypto.com

Perdebatan antara aliran materialisme dan aliran spiritualisme dalam dunia pemikiran tidak jarang menjadi topik yang terus-menerus diperdebatkan. Memang dua aliran ini bagaikan dua hal yang sudah menjadi musuh bebuyutan sejak “dari sononya”, materialis yang terpaku pada asumsi empirisis-naturalis memang akan menganggap dunia spiritual yang penuh simbol-simbol dan ekspresi sintetik sebagai sesuatu yang “absurd”.  Sebagai contoh, kaum materialis akan sulit menangkap maksud “Dia yang tak terlihat, namun dekat sedekat urat nadi”, namun tentu mereka yang sudah menceburkan diri dalam dunia rohani tidak lagi asing dengan ungkapan-ungkapan simbolik semacam itu, sebab mereka telah merasakan kehadiran Ia yang tak terlihat, dan sekaligus sedekat urat nadi.

Namun memang tidak bisa dipungkiri bahwa seringkali kaum spiritualis-batini menjadi “terlepas” dari alam empirik, sehingga seringkali beberapa dari kaum spiritualis tidak lagi menggunakan daya analitisnya untuk mampu memberdayakan alam ini secara optimal, daya sintetis lebih berat dibanding daya analitis, dan ini memang membawa dampak yang tidak mengenakkan pada titik tertentu.  Sementara kaum materialis sekarang ini bisa dikatakan menguasai dunia sains, sains Demokratian yang berakar dari pemikiran Demokritus yang materialis menguasai jagad sains, sementara sains Aristotelian yang memberi ruang pada peran “kausa prima” menjadi terpinggirkan pasca abad pertengahan di dunia Barat.

Kita bisa melihat tokoh-tokoh saintis seperti Richard Dawkins, Sam Harris, Yuval Noah Harari,  dan masih banyak lagi menjadi semacam prototipe agung kemajuan sains kontemporer. Pemikiran mereka jelas berakar dari sains Demokratian yang materialis, buku-buku mereka pun banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan menjadi bacaan yang menduduki rak buku bergenre “sains populer”, dan banyak anak-anak muda yang gandrung dengan buku-buku mereka, sebab memang buku-buku mereka sudah sangat mudah didapatkan di toko-toko buku besar Indonesia dan menjadi populer melalui proses ketok tular.

Hal ini mengimplikasikan timbulnya semangat saintisme di kalangan anak muda, bisa didefinisikan secara singkat bahwa saintisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menganggap bahwa sains yang bersifat empirik adalah satu-satunya metode yang absah untuk menggapai pengetahuan. Perlu dipahami bahwa sains itu sendiri tidaklah terdapat masalah di dalamnya, namun saintisme itu lah yang menjadi masalah, sebab makna pengetahuan hanya direduksi pada yang empirik semata atau “yang keliatan-keliatan saja”, sementara filsafat yang bersifat aqli dan pengetahuan intutitif-batini dipinggirkan, hanya sesederhana karena tidak mampu dipertanggung jawabkan secara saintifik.

Akhirnya, aspek-aspek batiniah dalam diri manusia menjadi terpinggirkan, Tuhan dinyatakan tidak ada sesederhana hanya karena ia tak terindrakan, membersihkan dan mendidik hati menjadi tidak lagi dipentingkan dan yang penting hanyalah berpikir empiris, apapun harus mampu diindra, hakikat eksistensi turun hanya pada sekedar “yang kelihatan-kelihatan saja”, apalagi ini kalau bukan dikatakan sebagai sebuah degradasi intelektual yang fatal?

The gap that separates: Mungkinkah membuat jembatan penyambung materialisme dan spiritualisme?

Saya bertolak dari suatu wisdom yang saya pegang sampai sekarang, yakni bahwa ilmu hanya akan jadi indah dan bermakna jika disana terdapat ruang untuk ketidaktahuan akal kita, perlu dicatat bahwa bukan berarti disini saya membuka jalan menganga untuk fideisme. Sebab saya yakin bahwa kesadaran bahwa akal kita terbatas untuk mengetahui hakikat zona-zona non empirik justru akan membuka ruang yang lebih besar akan level pengetahuan yang lebih besar daripada sekedar yang empirik, yakni pengetahuan intuitif yang penuh rahasia, namun indah dan sangat mencerahkan di saat bersamaan.

Dalam bahasa sufistik, bisa dikatakan bahwa dimana ada ruang untuk dzawq, disana segala macam sirr akan tersingkap, jalannya adalah riyadhoh atau tirakat. Penolakan akan pengetahuan intuitif/dzawqi itu lah justru yang akan menutup seseorang dari pengetahuan batin yang mencerahkan tersebut, sudah pasti akarnya adalah penolakan akan adanya elemen spiritual dalam diri manusia. Rimba cinta ilahi sungguh sangat jauh dari alam materi, karena disana elemen yang digunakan bukanlah elemen empirik dan elemen filosofis, paling banter filsafat hanya mampu mengantar manusia menuju pintu awal cinta ilahi, namun memasuki pintu cinta ilahi itu sendiri memerlukan jauh lebih daripada sekedar filsafat.  Bisa dianalogikan, filsafat itu angkutan yang mengantar kita ke terminal bernama terminal rasa, namun menempuh jalur rasa itu kendaraan yang digunakan adalah kendaraan bernama “hati”.

Sementara sains tidak mampu mengatakan apa-apa terhadap eksistensi non empirik, sains tidak cocok dengan berbagai ungkapan bahasa yang bersifat spiritual, dan apabila tabiat bahasa kedua alam pengetahuan tersebut dicampur-campurkan sudah jelas yang terjadi hanyalah confusion/kebingungan. Namun masalahnya, banyak orang yang berhenti pada sains dan menganggap bahwa itu lah satu-satunya metode yang absah (inilah yang dinamakan saintisme tersebut), dan ada juga orang yang sudah menggunakan daya filosofisnya untuk menuju pintu rasa tersebut, namun menolak untuk memasuki dunia rasa karena beberapa alasan tertentu.  Orang dengan tipe pertama sudah jelas “mainnya kurang jauh”, sebab penolakan akan peran filsafat dan intuisi dalam meraih pengetahuan adalah reduksi yang sangat fatal, sadar atau tidak sadar, orang semacam ini sebetulnya baru saja mendogmatisasi sains.

Berusaha menembus tabir metafisik melalui upaya filosofis juga hanya akan membuahkan kesia-siaan, paling-paling yang mampu diproduksinya adalah sekedar postulat dan bukan pengetahuan pasti yang bisa diukur.  Pada akhirnya, yang mampu membuat seseorang menggapai pemahaman terkait alam rasa adalah proses spiritual, bukan proses filosofis apalagi proses saintifik, dunia spiritual yang sintetik sifatnya lah yang mampu menjawab pertanyaan manusia terkait alam rasa tersebut. Saya akan bahasakan dengan bahasa mistik, bahwa Ia yang hadir memberikan cahaya ke dalam hati sang salik peniti jalan tarikat, ia lah yang paham makna sejati, ia lah pengenyam ilmu sejati, gula sudah dicicipinya dan ia menyaksikan dengan penuh kesadaran bahwa itu rasanya manis.

Sampai kapanpun, dunia spiritual adalah ruang yang asing bagi para materialis, selama pengetahuan intuitif terus-menerus disanggah perannya, disana pengetahuan batini tidak akan diraih. Kita mesti bijaksana memilah-milih masing-masing domain pengetahuan tersebut, ranah sains dan ranah spiritual memanglah memiliki watak yang sangat berbeda, namun menjadi materialis dan menafikan realitas spiritual, itu adalah pilihan.  Languange game dari kedua ranah ini (empiris dan metafisis) sangatlah berbeda, namun menolak salah satunya atau memberatkan pada salah satunya tentu saja bukanlah pilihan yang bijak.

Reduksi makna “ada”

Makna dari “ada” sudah diturunkan sekaligus dipersempit pada hanya yang mampu diindera saja, ketika indera mampu menerima reaksi-reaksi dari sesuatu yang disebut “ada”, maka ia dapat diklaim “ada”. Ketika yang dikatakan bahwa yang ada dipersempit maknanya hanya pada sesuatu yang mampu diterima indera, maka akan terlalu banyak hal di dunia ini yang terpaksa kita harus tiadakan.  Contohnya waktu, apakah waktu adalah sesuatu yang ada pada dirinya/thing in itself atau sesuatu yang kita sepakati sebagai ada lantas ia menjadi ada? Waktu sendiri hanya dapat memiliki makna kalau kita kaitkan ia pada satu suasana/kondisi tertentu, seperti kalau misal saya katakan “sekarang jam 5”, ini adalah kalimat dengan unsur keberwaktuan di dalamnya.

Namun kalimat tersebut hanya akan mampu memberikan makna jika dikaitkan dengan situasi atau kondisi yang meliputinya, secara aksiomatik pun akan diketahui bahwa apabila saya mengatakan bahwa sekarang jam 5 dan disaat bersamaan matahari akan terbenam, maka sudah pasti yang dimaksud adalah jam 5 sore dan tidak mungkin jam 5 pagi, sebab jam 5 pagi adalah waktu matahari terbit, dan mustahil di jam 5 pagi matahari justru terbenam, melawan hukum alam.  Waktu adalah substansi, dan pemaknaan yang menyertainya adalah aradh, mustahil ada substansi tanpa aradh,dan mustahil ada aradh tanpa substansi.

Yang jelas, waktu itu tidak mampu diindra, namun kita terima ia sebagai sesuatu kebenaran yang sifatnya aksiomatik. Kalau kita konsisten dengan premis bahwa yang ada hanyalah yang mampu diindera, maka semestinya waktu sebagai wujud kita tolak keberadaannya.  Namun tanpa keberwaktuan/sense of timing, apakah kita mampu mendefinisikan kerja alam semesta yang kompleks ini mulai dari yang universal sampai ke yang partikular?  Sadar tidak sadar, ketika seseorang mempersempit makna eksistensi pada sesuatu yang mampu diindera saja, hakikatnya ia tidak konsisten terhadap kehidupan itu sendiri.

Ia bernafas dalam waktu, ia bergerak dalam waktu, ia tidur dalam waktu, dan dia sendiri yang akan digerus oleh waktu, sedangkan waktu itu sendiri tidak mampu diindera, namun kita bergantung kepadanya sebagai sesuatu yang benar adanya sampai ke level aksiomatik.  Yang mesti dipahami adalah bahwa adanya waktu itu sendiri adalah sesuatu yang diletakkan sebagai postulat melalui proses filosofis, bukan saintifik, filsafat meniscayakan adanya waktu, dan oleh karenanya sains bekerja atas postulat tersebut, filsafat mengatakan “waktu tidak mungkin tidak ada!’, maka sains menyahut “oke sip, kita bekerja dalam keberwaktuan ya!”

Definisi “ada” yang sempit tersebut pun dipaksa diterapkan pada konsep ketuhanan, yang sudah jelas jauh dari keruangan dan keberwaktuan. Ketika ia mencoba keras untuk merasionalisasi Tuhan sebagai sesuatu yang metafisik tersebut menggunakan prakonsepsi “ada karena terindra” tersebut, akhirnya ia menyerah, dan berlari dengan menyatakan Tuhan itu sendiri tidak ada. Ini contoh orang yang level pengetahuannya belum berangkat dari empirisisme, ia belum beranjak naik ke filsafat yang aqli, apalagi dunia rasa yang batini.

Ketika seseorang sudah mencicipi ketuhanan secara langsung, berarti ia sudah berada pada level pengetahuan yang tinggi, ia merasakannya melalui pergumulan spiritual dalam dunia rasa, ia melampaui empirisisme mutlak dan berangkat menuju sintesis seimbang antara dunia empirik-filosofis-batini, ia mampu menempatkan masing-masing domain dengan tepat, sehingga ia jauh dari reduksi-reduksi yang seringkali bernafas kebodohan.  Ketika manusia sudah mampu melampaui yang empirik, berangkat menuju pengembaraan filosofis, dan tertunduk akalnya karena sadar akan keterbatasannya sendiri, disitulah hati berperan untuk “mencicipi Tuhan” secara langsung, dan sampailah seseorang pada samudera haqqul yaqin.

New way of intellectuality

Saya sendiri percaya bahwa keparipurnaan kecerdasan seseorang adalah ketika ia mampu menempatkan secara adil ketiga hal berikut ini; sains, filsafat, dan agama. Jalan baru intelektualitas adalah jalan dimana penempuhnya mampu menggunakan sains sebagai alat untuk mengurusi sesuatu yang empirik, dan di saat bersamaan tidak menggerus filsafat sebagai alat berpikir dan memarjinalisasi agama sebagai jalan untuk meraih pengetahuan batiniah.

Sains itu bukanlah jawaban mutlak atas segala pertanyaan manusia, bahkan filsafat itu sendiri lah yang melahirkan sains itu sendiri, agama juga punya ruang dan languange game nya sendiri.  Menjadi saintis yang bertungkus-lumus dalam dunia empirik bukan berarti menafikan filsafat dan agama sebagai satu substansi yang bekerja pada ranahnya masing-masing (dan saling memengaruhi satu sama lain), saya kira pembahasan ini sudah cukup jelas dan terang-benderang. Selamat datang new way of intellectuality!