image by shutterstock via unesco
image by shutterstock via unesco

Kesetaraan adalah masalah yang masih sering diperdebatkan hingga saat ini. Perdebatan tentang kesetaraan merupakan suatu hal yang menjadi masalah dalam lingkungan sosial dan ekonomi suatu kelompok memiliki corak kesetaraan yang berbeda-beda. Kita tidak dapat menutup kemungkinan bahwa terdapat suatu kemungkinan bahwa kelompok tertentu di dalam masyarkat dapat menyebabkan ketidaksetaraan fungsional. Meski begitu, banyak orang yang melegitimasi ketidaksetaraan sebagai salah satu fenomena yang biasa dan bukan masalah besar bagi mereka.

Asumsi tersebut merupakan asumsi yang subjektif dan bercorak egoisme untuk menyelamatkan diri dari kuasa kelompok tertentu. Apabila masyarakat mencoba untuk mencari makna yang setara dalam kehidupannya, maka secara tidak langsung mereka akan dihadapkan pada definisi dari kesetaraan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki, pendekatan ini adalah suatu tindakan induktif yang cenderung menimbulkan kekeliruan dalam penerapan kesetaraan di dalam bermasyarakat, khususnya hak dan kewajiban pada lingkup ekonomis.

Ketidaksetaraan ini menjadi suatu permasalahan yang terbiasa dianggap remeh bagi kalangan tertentu, kehidupan di dunia yang penuh dengan perbedaan secara genetik dan status sosial menyebabkan seseorang terbiasa untuk membuat klaim perbedaan yang pada dasarnya tidak memiliki fundamental yang kuat. Keadaan yang menyebabkan keadaan ketidaksetaraan masih terus terjadi adalah faktor pengalaman seseorang yang terbiasa dengan segmentasi, baik secara mikro dan makro. Hal tersebut yang membentuk suatu keadaan yang fatal ketika mereka membentuk interaksi di dalam kelompok sosial. Faktor-faktor tersebut yang menyebabkan terbentuknya keyakinan empiris pada fakta yang sebenarnya tidak saintifik.

Kognisi Membentuk Sikap Ketidaksetaraan

Kognisi merupakan proses mental yang dibutuhkan oleh manusia untuk melakukan dan memutuskan suatu tindakan yang akan berdampak pada kehidupannya. Kognisi merupakan suatu proses untuk memperoleh pengetahuan dan melakukan tindakan manipulasi pengetahuan tersebut secara mental melalui beberapa aktivitas, yaitu: mengingat, menganalisa, memahami, mengabstraksi, dan berbahasa. Proses kognisi didukung dengan beberapa pengalaman yang diperoleh oleh manusia melalui alat indrawi yang dimiliki, sehingga setiap orang dapat menentukan bagaimana cara yang paling efektif dan efisien untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan.

Selain itu, kognisi membantu seseorang untuk membentuk perspektif atas suatu permasalahan. Salah satu metode yang biasa digunakan untuk membentuk pengetahuan kognisi adalah metode induktif, yakni upaya untuk membuat suatu kesimpulan umum melalui beberapa pengamatan yang bersifat khusus. Proses pembentukan tersebut didasari pada pola dan ajaran yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya ketika masih kecil, tanpa kita sadari sejak masih kecil kita begitu erat dengan beberapa tindakan diskriminatif; tidak jarang sifat diskriminatif tersebut tidak disadari setelah dewasa dan membentuk perilaku yang menyebabkan ketidaksetaraan antar sesama makhluk.

Salah satu contoh kasus yang dapat kita perhatikan sebagai tindakan edukasi kognisi yang diskriminatif ketika masih kecil, yaitu, hanya berteman dengan seseorang yang pintar. Beberapa orang tua terbiasa memberikan narasi tersebut kepada anak-anak mereka untuk menjauhi seseorang yang kurang pintar dan memilih teman yang pintar saja dalam lingkaran pertemanannya. Bagi sebagian orang hal tersebut adalah hal sepele, tindakan tersebut diangap sebagai upaya untuk membentuk kepribadian anak yang lebih baik dengan mempererat hubungan anak tersebut dengan sosok yang dapat dijadikan sebagai contoh. Namun, tanpa kita sadari, tindakan tersebut akan membentuk kemampuan kognisi seorang anak agar terbiasa membentuk segmentasi tertentu ketika ia melakukan interaksi sosial.

Sejak kecil kita terbiasa diperlihatkan upaya yang membeda-bedakan suatu hal yang tanpa kita sadar tidak terdapat alasan yang jelas atau dapat dimengerti oleh anak-anak. Akibatnya banyak anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh yang kurang tepat untuk menirima pluralitas masyarakat dan keadaan dinamis dalam interaksi sosial, ketika hal ini terus terjadi, secara langsung akan berdampak pada kecacatan kognisi seseorang dalam menilai suatu  fenomena yang terjadi. Selain itu, dampak laten dari pembiasaan tersebut adalah tindakan diskriminasi dan ketidaksetaraan sosial yang semakin melebar hingga kita melupakan poin penting dalam humanisme untuk berperilaku selayaknya dan sebaik-baiknya antar sesama manusia.

Ketidaksetaraan di Era Kapitalisme

Ketika suatu pola asuh membentuk pengalaman empiris manusia yang terbiasa dengan corak diskriminatif, maka seseorang akan dengan mudah membuat segmentasi interaksi ketika ia beranjak dewasa dan menghindari berbagai faktor yang menurutnya tidak layak. Ketidaklayakan ini meliputi keadaan ketidaksetaraan yang disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya: tingkat pendidikan, pekerjaan, faktor ekonomi, kekuasaan, dll.

Kecenderungan seseorang yang memiliki pola pikir diskriminatif adalah memilih seseorang yang memiliki kelebihan dan melakukan penekanan pada kelompok yang tidak memiliki daya atau cenderung memiliki kualitas di bawah persepsi seseorang yang berusaha membuat dirinya menjadi superior. Hal ini terjadi akibat dari pengalaman yang terbentuk secara cacat sehingga menyebabkan otoritas dari pengetahuan menjadi timpang. Kita dapat melihat bahwa terdapat dua hal yang perlu diperhatikan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan ketidasetaraan di era kapitalisme semakin meluas, yaitu: impresi dan ide manusia. Impresi yang merupakan suatu persepsi yang memiliki penilain yang lebih gamblang, sedangkan ide adalah suatu bentuk persepsi yang lebih lemah dan cenderung kabur. Kedua hal tersebut menyebabkan kegagalan manusia untuk memehami bagaimana kesadaran manusia begitu penting untuk menuntaskan masalah ketidaksetaraan.

Impresi yang didapat melalui pencerapan indrawi manusia akan membentuk suatu tatanan logis yang kuat, pembentukan ini terjadi ketika manusia sudah mampu merasakan dirinya berbeda dan ada di antara berbagai macam objek di sekitarnya. Ketika seorang anak kecil diberikan stimulus—rasa takut terhadap kecoa—saat dewasa rasa takut tersebut akan hadir meski seseorang hanya mendengar kata “kecoa”. Ketika suatu impresi tersebut dicerapi oleh indra manusia, ide akan bekerja untuk membentuk persepsi yang kabur dan subjektif untuk menentukan tindakan yang paling efektif dan efisien ketika menghadapi suatu masalah, misalnya, mengatasi rasa takut atas kecoa—berarti harus menghindari kecoa tersebut.

Selanjutnya, ketika stimulus tersebut sengaja diarahkan agar seseorang menerima impresi yang subjektif, maka ide yang akan terbentuk akan subjektif pula. Dengan demikian seseorang akan cenderung menilai suatu kelompok yang menurutnya tidak setara dengan dirinya sebagai kelompok yang tidak layak mendapatkan kesetaraan dalam segi apapun. Hal tersebut adalah permasalahan yang sering kita temukan dalam perkembangan kapitalisme, dan menyebabkan kesenjangan sosial semakin melebar hingga pada batas yang tidak wajar. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi tidak jarang memiliki gengsi dan egoisme untuk memilih lingkar pertemanan dan interaksi sosialnya. Akhirnya ia akan melakukan seleksi yang subjektif atas kelayakan seseorang agar dapat berinteraksi dengan dirinya, ketika hal ini terjadi ia akan membentuk suatu doktrin laten, bahwa perbedaan dan ketidaksetaraan adalah hal yang wajar untuk memperoleh kapital sirkular dan interaksi struktural di era kapitalisme.

Kekeliruan Konsep Kesetaraan

Ketidaksetaraan adalah salah satu masalah yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini, namun kesetaraan juga mengalami suatu masalah yang cukup fundamental bagi kognisi manusia. Ketika kita mendengar kata kesetaraan apakah yang terlintas dalam pikiran kita? Apakah kita mendefinisikan kesetaraan dalam bentuk kuantitas atau kualitas? Hal ini menjadi salah satu masalah yang menyebabkan kekeliruan dalam menyepakati makna dari kesetaraan. Kesetaraan yang sering dan diajarkan kepada kita cenderung dalam bentuk kuantitas—kita terbiasa dengan pembagian yang cenderung tidak memperhatikan kualitas yang diterima oleh setiap orang.

Misalnya terdapat tiga kepala keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang berbeda hendak mengambil stok makanan yang akan dibagikan di balai desa—kepala desa sudah menyediakan 5 kg beras sebanyak 6 karung untuk dibagikan. Apabila kita merujuk pada kesetaraan yang menggunakan kuantitas sebagai fundamental dari pertimbangan yang akan ditentukan—setiap orang akan mendapatkan 2 karung. Namun, apakah pembagian yang setara secara kuantitatif tersebut dapat meningkatkan kualitas dari masing-masing keluarga? Atau justru menciptakan ketidakadilan terselubung?

Kita masih akan menggunakan ilustrasi di atas, sebelum memutuskan untuk membagikan beras secara merata berdasarkan ukuran kuantitas, kita harus melakukan analisa kebutuhan secara kualitas sehingga kesetaraan bukan sekedar kuantitas, namun harus sesuai dengan kualitas yang akan dirasakan oleh setiap orang yang ada di dalam masyarakat. Untuk mencapai kesetaraan yang memenuhi standar kualitas kemanusiaan, kita perlu melakukan analisis atas suatu kelompok untuk menentukan kuantitas dari tindakan atau komoditi yang akan diterima. Kembali pada ilustrasi di atas—tiga kepala keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang berbeda akan membutuhkan bahan makanan yang berbeda pula dari kauntitasnya, apabila seseorang hanya berupaya untuk mendapatkan kesetaraan berdasarkan kuantitas formal, hal tersebut akan menyebabkan kualitas dari kesetaraan menjadi tidak optimal dan kualitas interaksi sosial hanya diukur secara matematis.

Dengan demikian, untuk mencapai kesetaraan yang optimal—seseorang harus memperhatikan indikator kuantitas dan kualitas—kuantitas sebagai tingkat perolehan atas suatu komoditi; kualitas sebagai manfaat yang akan diterima sesuai dengan kuantitas yang diberikan. Kesetaraan yang baik adalah kesetaraan yang memperhatikan dua indikator untuk menciptakan kesetaraan yang berkelanjutan.

Referensi:

Marx, Karl. 1991. Kapital III. Yogyakarta: Hasta Mitra – Ultimus – Institute for Global Justice;

Bertens, K, Jonahis Ohoitimur, Mikhael Dua. 2018. Pengatar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius;

Freud, Sigmund. 2020. Civilization and Its Discontents. Yogyakarta: Immortal Publishing dan Octopus;

Bertens, K. 2019. Filsafat Barat Kontemporer Jilid II Prancis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.