image by apa.org

Demi mewujudkan kehidupan politik yang bebas dari praktik yang merugikan, terutama menuju tahun kontestasi politik terakbar pada tahun 2024 nanti, kiranya kita perlu merefleksikan ulang bagaimana politik itu berjalan dengan sebaiknya. Sebab sampai hari ini pun, masih banyak problematika yang terjadi di tubuh perpolitikan Indonesia. Tak ayal, karena banyak dari kita, termasuk aktor politik itu sendiri masih terjebak dalam pemikiran yang mengasumsikan bahwa politik soal “kalah dan menang.” Karenanya, tak jarang akan banyak silang-sengkarut yang terjadi demi memuluskan kemenangan−walau dengan berbagai cara. Misalnya, politik uang, politik transaksional, politik identitas dan lain-lain.

Padahal, kalau kita mencermati lebih substantif, politik sebenarnya mencita-citakan sesuatu yang mulia, yaitu mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera−menomorsatukan kemaslahatan umat lebih dari apapun. Kita harus berani mengatakan bahwa politik yang membawa kehancuran bukanlah politik sama sekali. Tetapi kepentingan tak berdasar yang berimplikasi pada tercerabutnya ketentraman masyarakat. Bukan tanpa sebab, kita semua akan mengakui bahwa tidak seluruhnya aktor politik dan elite politik yang ada di Indonesia berpolitik secara etis−justru yang terjadi jauh dari nilai-nilai etika dan cenderung tak ada tanggungjawab. Mestinya, politik itu dijalankan dengan cara jujur, damai, penuh tanggungjawab dan demokratis. Untuk itulah, diperlukan formula-formula yang dapat mendukung kembalinya wajah politik yang selama ini redup bahkan mungkin hilang.

Etika dalam Berpolitik

Tak bisa dibantah, betapa politik cenderung memiliki makna yang konotasinya negatif. Karena memang, sudah terlalu banyak aktivitas politik yang mempertontonkan hal-hal berbau kenegatifan−jauh dari etika berkehidupan−secara terang-terangan tanpa memikirkan implikasinya. Alih-alih akan ada upaya menjadikan politik berada di jalan yang seharusnya. Lagi-lagi perang kepentingan berkecamuk di mana-mana yang mengakibatkan semakin jauhnya ruang-ruang kepastian. Alhasil, mimbar politik seakan hanya sebatas “pertunjukan semu” yang kabur dari tujuan utamanya−semacam ada alienasi.

Maka kita jangan merasa aneh, jikalau masyarakat sampai hari ini pun masih mempunyai stigma buruk terhadap politik, karena itu adalah konsekuensi logis yang harus diterima. Air yang keruh tidak terjadi dengan sendirinya tetapi ada penyebab yang melatabelakanginya. Begitu juga lingkungan politik. Untuk itu, penting sekali menjadikan etika politik sebagai pegangan sekaligus pandangan dalam berpolitik guna mengembalikan esensi politik itu sendiri. Mengutip pendapat Frans Magnis Suseno−guru besar emeritus STF Driyakara Jakarta sekaligus pemerhati filsafat etika−bahwa secara etika politik mempertahankan kekuasaan dan berpolitik haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, kekuasaan dipandang sebagai instrumen untuk menciptakan ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat sekitar.

Hal yang sama juga digaungkan oleh salah satu filsuf klasik Yunani bernama Aristoteles. Aristoteles berpandangan dalam karangan bukunya Nicomachean Ethics−salah satu karya fenomenal sang filsuf−bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas selalu menuju pada sebuah kebaikan tertentu. Sebagaimana juga Politics sebagai aktivitas  hidup bersama yang dibangun dengan tujuan menggapai kebaikan tertentu. Dengan demikian, bahwa politik sebagai tata hidup bersama, tunduk sekaligus mengandaikan etika kebaikan yang sekaligus merupakan puncak manifestasi etika. Lugasnya, antara etika dan politik itu berkaitan satu sama lain, tak terpisahkan.

Sementara itu, salah satu cendekiawan masyhur yang dimiliki Indonesia bernama Nurcholish Madjid−biasa disapa Cak Nur−juga mengemukakan pendapatnya terkait etika politik yang termaktub dalam tulisannya berjudul ”Berpolitik dengan Nurani.” Beliau memaparkan bahwa sederhananya hati nurani dapat diartikan sebagai ‘hati yang terang’. Manusia dapat menjadi terang oleh fithrah yang berarti manusia lahir dalam keadaan asal yang suci dan bersih sehingga manusia bersifat hanif, yang artinya secara alami selalu merindukan dan mencari yang benar dan yang baik. Jadi, kebenaran dan kebaikan itu alami dan natural sementara kejahatan dan kepalsuan adalah tidak alami, tidak natural, yang berarti bertentangan dengan jati diri manusia yang ditetapkan oleh Tuhan untuk kita.

Lalu kemudian, usaha-usaha apa yang bisa dilakukan untuk memantapkan etika politik ini betul-betul dijalankan? Paling tidak, ada dua cara yang bisa diimplementasikan. Pertama, bahwa kebaikan perlu digalakkan oleh tiap individu−dalam hal ini masyarakat Indonesia−dengan menyadari  bahwa tujuan terdalam dari kehadirannya (eksistensi) sebagai manusia tak lain untuk mencapai kebaikan, termasuk juga dalam berpolitik. Jika tiap orang menginsafi itu semua. Maka bukan suatu kemustahilan bahwa kehidupan masyarakat akan terbentuk yang diwarnai oleh kebaikan-kebaikan.

Kedua, bahwa negara harus menyadari terhadap fungsinya sebagai pengemban amanah untuk mengutamakan kebaikan bersama bagi rakyat-rakyatnya. Secara praktis dan riil dilakukan oleh para pemegang kekuasaan, pejabat eksekutif maupun legislatif dan para pelaku politik. Senantiasa, kebaikan bersama itu harus mewujud dalam setiap aktivitas berpolitik. Kebaikan bersama harus dijauhkan dari kepentingan pribadi apalagi golongan. Maka sekali lagi, kepentingannya harus berlandaskan atau bernapaskan kepentingan umum (baca: masyarakat).

Di sisi lain, mengapa etika politik itu sangat perlu? Karena politik menyangkut banyak orang di dalamnya. Ketika terjadi kekacauan, implikasinya akan ke masyarakat. Ketika perdamaian yang diutamakan, tentu dampaknya juga ke masyarakat. Artinya, politik sangat erat berkaitan dengan keberadaan masyarakat. Dan juga, politik akan berjalan bersandingan dengan moralitas apabila tindakan manusianya juga demikian. Kunci utamanya ialah tindakan manusia. Di situlah peran penting etika/moralitas yang harusnya tetap dikedepankan untuk mengarahkan segala tindakan manusia, agar senantiasa berada di jalur yang benar dan  baik serta dapat mengembalikan wajah politik.

Paling tidak, dengan mengedepankan etika dalam berpolitik ini akan membawa perubahan yang signifikan, meski butuh proses yang kontinuitas. Dari cara-cara yang tak bermoral−tak mendidik−bisa kembali ke jalan yang dapat mengedukasi masyarakat. Sebab kalau saja, pola-pola yang tak mendidik tetap berlaku di tengah arus perpolitikan negara ini. Hal itu juga mengindikasikan, bahwa memang aktor-aktor politik sedang sekarat moral dan buta terhadap kemaslahatan masyarakat. Dan disaat yang sama pula, akan mempengaruhi arus berpikir sekaligus konsepsi masyarakat terhadap politik. Maka untuk itulah, sudah seharusnya gerak-gerik politik kembali ke khittah. Bagaimanapun, semua masyarakat Indonesia pasti mendambakan lingkungan politik bersih dari hal-hal yang dapat mengundang noda. Wallahu A’lam.