Oleh: Misbahur Rohadi & Rofiatul Windariana

Di tengah ketidakpastian pandemi, sejumlah diskusi diskusi daring ramai digalakkan. Semua jejaring menjadi wadah ekspresi netizen dan peralihan dari aktivitas offline yang terkendala. Tentu, arus baru ini menjadi tantangan bagi kalangan akademis, seperti mahasiswa. pamflet-pmflet diskusi atau seminar bahkan konferensi tersebar seantero dunia maya, sehingga dalam sekejab informasi mampu menembus batas nasional. Beragam tajuk diangkat untuk menarik perhatian publik, walau tidak jarang menuai perseteruan karena diduga ada intervensi politik bahkan tuduhan atas indikasi makar.

Sebelum beranjak ke persoalan, ada beberapa pertanyaan dasar bagi kita semua yang telah menyepakati adanya ikatan dalam suatu negara. Bisakah orang bebas memilih apa yang ingin dimakan, bagaimana menjalani hidup, apa yang harus diyakini, apa yang harus dikatakan, atau apa persyaratan agar semua itu bisa direalisasikan? Bagaimana setiap orang punya kesempatan yang sama untuk mencapai tujuan? Serta bagaimana manfaat Negara benar-benar dapat dirasakan keberadaannya? Dari beberapa pertanyaan ini, yang akan menjadi tolak ukur terhadap kinerja pemerintah suatu negara dan jawabannya bukanlah sebuah tulisan teks diatas kertas belaka. Tapi bisa dilihat secara faktual terhadap realitas sosial yang terjadi.

Hak dasar terpenting setiap rakyat dari suatu negara adalah kebebasan dalam hidupnya. Tidak ada landasan apapun atas nama pembenaran dalam melakukan penjajahan kepadanya. Sekalipun selalu berada dalam bayang-bayang kekuatan seorang penguasa, dengan dalih bagaimanapun kekuatan rakyat tetap berada diatas kekuatan sistem tata negara sekalipun. Lebih-lebih pada hak paling dangkal, yaitu kebebasan berpendapat dan kenyamanan atas pendapat yang bebas. Sangat tidak patut sekali jika hal tersebut dibatasi dengan sekat-sekat oleh jajaran penguasa negara, apalagi menggunakan cara-cara anarkis seperti perlakuan pelayanan dengan kontak fisik yang menyakiti maupun penyebaran ancaman (teror) atas dasar hukum.

Secara garis besar, pemimpin negara merupakan pelayan yang dipercaya mampu mengendalikan kehidupan masyarakat dan berhak mempertahankan amanah (jabatan) ketika dirasa ada ancaman dari pihak yang dianggap memberontak atau segelintir komunitas yang berpotensi melakukan makar. Namun, sebagai pelayan publik, perlu untuk selalu mengevaluasi diri, merefleksikan suatu persoalan di situasi yang rumit saat menimpa tatanan pemerintahan sehingga berdampak pada tatanan sosial masyarakat hingga menimbulkan rasa kekecewaan besar kepada kebijakan yang telah dirumuskan. Hal ini perlu dilakukan dengan selalu berusaha menyadari bahwa setiap orang dalam suatu negara adalah warga yang setara, harus bisa dan mendapat jaminan kebebasan berpikir, serta harus diberikan kebebasan yang setara, khususnya kebebasan dalam berpendapat.

Fakta di lapangan seringkali terdapat pembatasan hak dalam beberapa tahun belakangan. Terbaru, pembatalan acara diskusi online yang diselenggarakan oleh mahasiswa dengan tajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”. Acara ini digagas oleh Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan menghadirkan pembicara Guru Besar Tata Negara UII Prof Dr. Nimatul Huda yang direncanakan akan berlangsung Jumat (29/5) jam 14.00-16.00 WIB. Mahasiswa yang menjadi penyelenggara di kegiatan tersebut mendapat kecaman dari beberapa pihak. Mereka dikecam atas diskusi yang mengangkat tema “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan”. Tema ini dinilai mengandung indikasi makar terhadap presiden.

Dari kejadian ini jelas bahwa tidak adanya jaminan kebebasan berpendapat dari tim independen negara. Sebagai alternatif, demi acara dialektika virtual tetap berjalan, maka penyelenggara perlu merevisi topik pembahasan menjadi “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”. Mereka mengaku tidak ada unsur yang mengarah pada agenda politik atau intervensi politik dari kelompok atau partai manapun, tetapi murni atas dorongan akademik untuk menambah wawasan terkait sejarah dan mekanisme pemberhentian presiden yang pernah terjadi. Konfirmasi tersebut muncul setelah sejumlah panitia dan narasumber menerima pesan berantai yang berisi ancaman pembunuhan yang mengatasnamakan pihak berwenang dan organisasi masyarakat. Tidak hanya itu, platform resmi CSL dan beberapa kontak diretas untuk membatalkan diskusi tersebut. Sehingga kegiatan ini berakhir gagal dan  tidak  terlaksana.

Fenomena ini muncul dari kesalahpahaman terhadap penggunaan diksi kata atau tema yang diangkat, tema yang dianggap sensitif tersebut memicu isu dan menjadi santapan menarik untuk memobilisasi massa yang juga cenderung sensitif terutama yang beroposisi dengan pemerintah. Tentu, secara akademis, terutama bidang ilmu hukum, mengkaji tema serupa merupakan hal yang wajar karena menjadi ranah akademis. Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa keambiguan tema akan melahirkan keberagaman pemahaman dengan objek dari beragam latar belakang. Sehingga akan memicu konflik di masyarakat. Namun, teror dan ancaman terhadap mereka tidak dapat dibenarkan. Bahkan bagian dari tindak kriminal. Hal itu juga memunculkan tanda tanya besar terhadap orang yang berada dibalik teror dan bersembunyi dibalik nama organisasi masyarakat tersebut.

Akhir-akhir ini mulai bermunculan kelompok-kelompok pemberontak yang berusaha melakukan makar atau berupaya menjatuhkan kepemimpinan tertinggi negara (presiden) yang sah pasca situasi politik pilpres. Mereka manfaatkan momen perselisihan para pendukung dari masing-masing pasangan calon dengan melakukan berbagai cara seperti demonstran besar-besaran yang menganggap proses pemilu kemarin penuh kecurangan, penghinaan terhadap ikon negara, ujaran kebencian dan lain sebagainya. Hal yang wajar kemudian jika aparatur Negara mulai bersikap waspada secara berlebihan jika terdapat individu maupun kelompok dari masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, saran, ide dan pendapat. Sebagian masyarakat dengan sengaja membuat kritik tajam dengan alasan agar benar-benar mendapat respon positif dari pemimpinnya sekalipun sebagian dari mereka memang sebagai oposisi yang berencana menumbangkan lawan politiknya (presiden yang sah).

Berbicara terkait penyampaian gagasan dan penyampaian pendapat, Negara sudah menyediakan lembaga khusus yang disebut parlemen legislatif sebagai wadah dari aspirasi masyarakat, fasilitatator berbentuk wadah yang kemudian disampaikan kepada presiden. Namun, terkadang masyarakat merasa kecewa ketika melihat parlemen yang dipercaya sebagai penyambung lidah justru kurang memahami apa yang seharusnya diperjuangkan bahkan terlihat bungkam di bawah ketiak dewan eksekutif. Inilah yang menjadi luapan rakyat ketika berusaha menyampaikan kesan tentang apa yang sebenarnya menjadi keinginan bersama. Dengan cara apapun, aspirasi akan selalu diperjuangkan untuk disampaikan hingga mendapat respon serius dari presiden Negara dan kepercayaan pada wakil-wakilnya (parlemen) yang kini sudah tidak dapat diharapkan lagi.

Berdasarkan fenomena diatas, tidak salah jika seorang Wiji Tukul pernah memberikan rambu-rambu yang dituangkan berbentuk adagium dan dikemas kedalam puisi berjudul “Peringatan”. Implementasi dari ungkapan tersebut bahwa pemerintah dan pihak berwenang siapapun jangan pernah menganggap sepele rakyat, harus segera melakukan terobosan lebih akurat memberikan solusi terbaik terhadap semua persoalan yang kini dihadapi. Dan terpenting, aspirasi rakyat dalam bentuk apapun harus didengar, bukan hanya sebagai pelengkap dinamika kekuasaan. 

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa.

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah, Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

(Wiji Tukul, 1986)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here