Ketika mendengar istilah “islamisasi ilmu pengetahuan”, kita sebagai orang Islam sekaligus akademisi seharusnya merasa aneh dan prihatin mengapa istilah ini harus muncul. Secara harfiah, kata islamisasi sudah bisa dipahami, yaitu sebuah proses atau kegiatan meng-Islamkan sesuatu, seperti halnya kata standarisasi, naturalisasi, atau kristenisasi, semuanya memiliki makna imbuhan yang sama. Inilah yang seharusnya membuat orang Islam prihatin. Pondasi-pondasi ilmu pengetahuan, tonggak peradaban ilmu pengetahuan, yang dahulu dicetuskan, dipegang, dan dikuasai oleh ilmuwan muslim, sekarang justru harus di-Islamkan. Kondisi ilmu pengetahuan dalam bingkai Islam saat ini memang memprihatinkan, namun ilmuwan muslim saat ini tidak perlu terlalu tenggelam dalam keprihatian. Inilah yang terjadi saat ini, bendera ilmu pengetahuan dan perkembangannya telah berkibar di Barat. Inovasi, kreasi, dan riset selalu muncul dari ilmuwan Barat. Penemuan-penemuan dan inovasi mereka menakjubkan dan dapat mengubah peradaban dunia saat ini. Kondisi ini seakan menjadikan umat muslim khususnya para ilmuwan hanya sebagai konsumen dari produk sains barat, dan menjadikan ilmuwan muslim mati langkah.

Ilmu pengetahuan merupakan salah satu media untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Selanjutnya, masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan, namun di sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi canggih tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (akhlak) yang mulia. Gejala kemerosotan akhlak dewasa ini bukan saja menimpa kalangan dewasa, tetapi juga menimpa kalangan anak-anak. Perilaku yang kurang baik disebabkan oleh beberapa faktor yang kini mempengaruhi cara berpikir manusia modern.

Kebanyakan Muslim memiliki prinsip bahwa sains itu bebas nilai (value free). Jadi tidak ada bedanya antara sains Barat dan Islam. Prinsip ini, selain tidak menyadari adanya shift of paradigm, jelas-jelas menafikan kenyataan bahwa sains Barat, seperti juga sains lain, itu berdasarkan pada sistem nilai dan pandangan hidup (worldview) tertentu akarnya dapat ditelusuri dari asumsi-asumsi para saintis terhadap hakekat realitas fisik, subjek yang memahami realitas itu dan hubungan keduanya. Untuk memperjelas perbedaan antara sains Barat dan sains Islam. Zainuddin Sardar menyatakan bahwa:

JIKA SAINS ITU SENDIRI NETRAL, MAKA SIKAP KITA DALAM MENDEKATI SAINS ITULAH YANG MENJADIKAN SAINS ITU SEKULER ATAU ISLAM MENGAKUI KETERBATASAN OTAK DAN AKAL MANUSIA, SERTA MENGAKUI BAHWA SEMUA ILMU PENGETAHUAN ITU BERASAL DARI TUHAN

Sementara, identitas sains Barat, seperti disinyalir Mayam Jameelah dibawah ini yang menegaskan bahwa sains barat itu tidak netral dan sudah tentu berbeda dengan sains Islam:

SAINS MODERN TIDAK DIBIMBING OLEH ATAU KEHILANGAN MORALNYA DAN BAHKAN DIKUASAI OLEH MATERIALISME DAN AROGANSI. SELURUH CABANG ILMU DAN APLIKASINYA TELAH TERKONTAMINASI OLEH BOROK YANG SAMA

Karena sains barat tidak memberi tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan, maka sains barat dianggap netral. Disini arti netral adalah bebas dari intervensi agama. Realitas Tuhan tidak real. Namun sains tidak bebas dari ideologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia barat. Dan ternyata dalam sains sendiri terdapat asumsi-asumsi, doktrin-doktrin yang tidak beda dari agama. Pada akhirnya doktrin-doktrin sains yang dipercayai sebagai pasti, dipertentangkan dengan doktrin-doktrin yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Yang terpojok dan dipojokkan adalah agama. Agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi agar mengikuti asumsi-asumsi sains. Agama menjadi termaginalkan dan kini ditinggalkan.

Sains Barat, khususnya sains modern, telah memunculkan pola pikir yang pada akhirnya telah membentuk pola tindakannya. Sains modern sebagai antitesa sains abad Pertengahan telah membentuk pola dominasi tersendiri, yaitu rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme dan empirisme inilah yang menjadi pilar utama metode (epistem) sains dalam memberikan penilaian terhadap seluruh kerjanya, baik menyangkut kepentingan orang banyak maupun perseorangan, dan bahkan juga masalah agama. Realitas ini tidak bisa dilepaskan dari tuntutan sains yang ingin melepaskan diri dari kungkungan agama sebagai dogma. Karenanya nalar indrawi yang pernah digalakkan oleh Yunani klasik mendapat momentum baru untuk bangkit kembali. Walaupun bangkitnya juga menghadapi permasalahan dan perlu terus diperbincangkan karena sains sebagai metode mencapai pengetahuan mempunyai orientasi hanya pada pengamatan empiris-positivis. Akibatnya, realitas lain tidak bisa diamati dan digali secara memadai. Karenanya era ini juga sering disebut dengan era materialistik, mekanistik, dan atomistik.

Era materialistik, berbicara mengenai sains yang berada di bawah ini mempunyai tiga titik tolak yang menjadi dasar bagi pembangunan sains. (a) pertanyaan yang berkaitan dengan asal-usul alam semesta ini yang menguraikan tentang alam semesta ini yang terdiri dari tiga unsur: materi, ruang, dan waktu. Materi tersusun dari atom-atom yang terikat satu sama lainnya. Sedangkan ruang dan waktu adalah absolute, artinya akan selalu ada juga andaikata materi di alam raya ini musnah. Baik ruang dan waktu tidak terbatas, universal, dan tidak dapat berubah. (b) pertanyaan ini berkisar pada persoalan perubahan yang membahas tentang perubahan-perubahan yang dimengerti sebagai perpisahan, penggabungan dan pergerakan, dengan berbagai variasinya dari partikel yang tetap tadi. (c) pertanyaan terakhir mengurai tentang terjadinya perubahan-perubahan.

Era mekanistik, setelah Descartes, muncul Isaac Newton yang membawa filsafat mekanis yang sebelumnya diusulkan oleh Coperniscus, Bacon, Galileo dan Descartes ke dalam praktik sains, dan kembali merumuskan pandangannya tentang Tuhan dan alam. System berpikir yang dirumuskan Newton inilah yang kemudian dipandang sebagai bentuk akhir filsafat mekanis. Masa ini dipandang sebagai peralihan dari nilai-nilai lama ke yang baru, dengan sains modern sebagai perwujudannya. Sedang keberhasilan sains modern didukung oleh kelompok borjuis yang mempunyai kepentingan untuk mengeksploitasi alam demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan menganggap alam sebagai benda mati.

Era atomistik, realitas zaman ini menunjukkan adanya tuntutan akan adanya sebuah upaya mengkhususkan dan spesialisasi yang tinggi, sehingga sains menjadi benar-benar bersifat terpisah-pisah dan tanpa ada dialog sedikit-pun antar satu elemen dengan elemen lainnya. Zaman ini hanya mengenal eksperimentasi dan ilmu atau sains yang tidak berdasarkan eksperimen dianggap tidak ilmiah. Pendekatan ini juga telah menyebabkan reduksi besar-besaran terhadap sains (ilmu pengetahuan). Pendekatan sains (analitis) memecahkan masalah menjadi unit-unit paling sederhana, dan lalu menyusunnya kembali menjadi kesatuan- seperti yang disarankan oleh Descartes, tidak dapat berguna dengan baik jika urusan dengan obyek-obyek kompleks seperti benda hidup.

Prestasi intelektual mengagumkan yang yang telah dicapai oleh masyarakat Islam dengan jelas dapat kita cermati ketika menganalisis secara komparatif dengan perkembangan intelektual Arab sebelum Islam. Ilmu tentang syair dan orator adalah dua hal yang menonjol yang dapat kita lihat dalam realitas sejarah intelektual sebelum Islam. Baru setelah kedatangan Islam dengan bersumber ajarannya berupa al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, bekambanglah keilmuan dalam masyarakat Arab khususnya dan masyarakat Islam pada umumnya yang meliputi berbagai bidang keilmuan seperti sejarah, geografi, filsafat, hukum, teori politik, maupun kritik sejarah.

Kiranya sudah dapat ditebak jika perkembangan intelektual Islam yang mula-mula muncul akan sangat berkaitan dengan al-Qur’an dan al-Hadist. Hal ini adalah sesuatu yang sangat rasional dan wajar. Ketika Islam telah mencakup daerah yang luas, maka tuntutan utama adalah bagaimana mereka memahami sumber pokok ajaran mereka. Tidak semua dari mereka memahami al-Qur’an dan al-Hadist sehingga dibawah bimbingan para ulama’ mereka mulai mengadakan pengkajian terhadap sumber pokok tersebut. Hingga masa berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah.

Dalam pandangan ilmuwan Islam terkait pandangannya terhadap ilmu pengetahuan seperti yang dikatakan oleh Al-Attas bahwa ia mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hakikat yang inheren dalam keragamaan ilmu manusia dan cara-cara yang mereka tempuh untuk memperoleh dan menganggap kategorisasi ini sebagai bentuk keadilan dalam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai objek dan manusia sebagai subjek. Dalam klasifikasinya, al-Attas membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu ilmu iluminasi (ma’rifah) dan ilmu sains. Dalam bahasa Melayu, yang pertama disebut dengan ilmu pengenalan dan yang kedua disebut dengan ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama dikategorikan sebagai ilmu fardu ‘ain yang bisa dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam. Sedangkan kategori kedua berkaitan dengan fisik dan objek-objek yang berhubungan dengannya, yang bisa dicapai melalui penggunaan daya intelektual dan jasmaniah. Ia bersifat fardu kifayah dalam perolehannya.

Dalam Islam terdapat dua alam yang disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu alam non-fisik (alam al-ghayb) dan alam fisik atau yang tampak (alam al-syahadah). Dalam penjelasan ini objek ilmu pengetahuan, para filsuf muslim memberikan penjelasan mengenai objek-objek ilmu pengetahuan sesuai dengan status ontologisnya. Selama ini para filsuf Barat hanya mengakui kebenaran objek yang memiliki ontologis yang jelas dan materil, yakni objek-objek fisik. Berbeda dengan filsuf Muslim yang mempunyai pandangan bahwa entitas yang tidak hanya terbatas pada dunia fisik saja, tetapi juga pada entitas non-fisik, seperti konsep-konsep mental dan metafisika. Meskipun al-Qur’an menyebutkan perbedaan antara alam fisik dan metafisik, namun keduanya tidak dapat dipisahkan yang satu dengan yang lainnya. Karena tujuan mempelajari alam fisik adalah menunjukkan ilmu tentang alam metafisik.

Manusia diberkahi qalb atau hati yang dapat menerima pengalaman tentang alam metafisik. Mengetahui alam metafisik ini tidak dapat dilakukan secara langsung namun harus melalui perantara wahyu. Ilmu tanpa bimbingan wahyu hanya akan menyebabkan kerusakan. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak bisa terlepas dari wahyu sebagaimana dinyatakan dalam Surah al-‘Alaq ayat 5 bahwa “Dia (Allah SWT) mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa objek ilmu dalam Islam tidak semata berkaitan dengan objek fisik atau yang tampak pada indra dan akal manusia. Namun ia mencakup objek fisik dan metafisik. Oleh karena itu, kebenaran ilmu atau hal-hal yang mengandung nilai ilmiah dalam Islam, tidak hanya yang bisa diverifikasi atau difalsifikasi oleh fakta empiris dan dirasionalkan melalui eksperimen atau logika semata.

Islam menegaskan bahwa semua ilmu datang dari Allah SWT. Klasifikasi ilmu pengetahuan yang telah diberikan oleh para ahli filsafat, pakar, dan orang bijaksana, khususnya para ahli sufi dapat diterima seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Hazm, Imam al-Ghazali, dan al-Suyuti. Al-Attas juga mengakui kebenaran klasifikasi ilmu yang mereka berikan.

Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara gamblang. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat. Bahkan, pesan (wahyu) paling awal yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi pentingnya proses investigasi (penyelidikan). Informasi al-Qur’an tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya. Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya.

Sains Islam adalah sains yang sepenuhnya dibangun atas pondasi al-Qur’an dan al-Sunnah. Sains Islam dapat terwujud apabila terjadi adanya kesadaran normatif (normative consciousness) dan kesadaran historis (historical conciousness). Kesadaran normatif muncul karena secara eksplisit atau implisit al-Qur’an dan al-Sunnah menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Kesadaran normatif tersebut kemudian menumbuhkan kesadaran historis yang menjadikan perintah al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai inspirasi dalam membaca realitas kehidupan. Maka tumbuhlah kesadaran bahwa petunjuk al-Qur’an tentang sains tidak akan membumi tanpa usaha sadar dari para saintis untuk membeca realitas, baik kemajuan sains yang pernah diraih oleh bangsa lain, maupun melakukan kontekstualisasi ajaran dalam kegiatan penelitian sains.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa islamisasi bukan hanya sekedar konsep teoritis, namun juga praktis. Dalam prosesnya, islamisasi ilmu pengetahuan memiliki empat kepentingan yang saling berkaitan: Kepentingan akidah, kepentingan kemanusiaan, kepentingan peradaban, dan kepentingan ilmiah. Sehingga akidahlah yang menjadi kepentingan utama dalam proyek islamisasi ilmu pengetahuan, bukan hanya sekedar kepentingan ilmiah. Islamisasi ilmu merujuk kepada proses membina suatu metodologi untuk berurusan dengan ilmu dan sumbernya (sains sosial, dan sains alam dengan suntikan dasar baru yang konsisten dengan Islam).

* Penulis adalah Alumni (2017) Universitas Hasyim Asy’ari Jombang sekaligus Tenaga Pengajar di SDN Pare Kota Kediri

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here