image by iqna.ir

Memiliki nama lengkap Sadr al-Dîn Muhammad bin Ibrâhîm bin Yahyâ Qawâmî Shîrâzi (1571-1636) yang kerap di kenal sebagai Mulla Sadra. Lahir di Iran, tepatnya kota Shiraz pada tahun 979 H atau sekitar 1572 Masehi.[1] Ia di lahirkan dari keluarga terpandang di negaranya. Semasa kecil Sadra memiliki minat yang tinggi terhadap berbagai disiplin keilmuan, khususnya filsafat peripatetik melalui karya pemikiran Ibnu Sînâ. Ia juga mengkaji filsafat pseudo-Aristotelian dan Plotiniana Arabica yang disebut sebagai Teologi Aristoteles, dan karya-karya Illuminationist dari Suhrawardi 586 H. Kemudian dari Syekh Bahâi, seperti halnya murid-murid yang lain mempelajari ilmu tafsir al-Qurân dan tradisi para Imam Syiah beserta segenap doktrin Syiah.[2]

Sadra memiliki sumbangsih pemikiran yang besar bagi disiplin filsafat Islam. Namun, namanya dulu kerap absen dari penulisan sejarah filsafat Islam, karena pada saat itu terdapat penelitian besar yang merujuk pada pemikiran Ibnu Rusyd. Sehingga filsafat setelahnya itu mati, tidak ada pemikiran yang berkelanjutan atasnya. Lalu mereka berpendapat bahwa akhir dari filsafat Islam itu ketika ibnu Rusyd mati.

Padahal jika kita telusuri lebih lanjut, filsafat Islam masih terus hidup setelah ibnu Rusyd meninggal bahkan malah lebih mencolok. Artinya, tradisi sejarah filsafat Islam saat itu mengabaikan beberapa nama filsuf dalam sejarah filsafat Islam karena mereka menganggap ibnu Rusyd sebagai puncak dalam filsafat Islam. Tetapi, pasca Hendre Corbin, filsafat Mulla Sadra ini mulai mekar kembali.

Terdapat tiga mazhab filsafat yang cukup fenomenal dalam filsafat Islam yaitu mazhab al-masyaiyyah atau peripatetik, al-isyroqiyyah atau emanasi, dan al-hikmah al-muta’aliyyah. Yang ketiga inilah mazhab yang didirikan oleh Mulla Sadra, merupakan penerus tradisi pemikiran filsafat Islam yang terus hidup, yakni ketika tradisi filsafat mulai meredup di dunia Islam akibat hantaman al-Ghazali lewat Tahafut al-Falasifah.[3] Hikmah Muta’aliyah ini memiliki arti kebijaksanaan yang didapat lewat kerohanian dan disajikan ke dalam argumentasi yang rasional sehingga dapat di terima.

Menurut Fazlurrahman, Filsafat mulla sadra memadukan empat hal sekaligus dalam filsafatnya. Pertama peripatetik dari ibnu Sina, illuminasi dari suhrawardi, kalam dari Sunni dan Syiah, dan sufisme dari sufismenya ibnu ‘Arabi. Empat tradisi yang menyatu dalam filsafatnya.[4] Sementara menurut Sayyed Hossein Nashr, filsafat Mulla Sadra ini mengombinasikan tiga tradisi keilmuan di antaranya Irfani yang coraknya iluminasi intelektual (dzauq), burhani yaitu penalaran rasional (filsafat), dan bayani yaitu tekstualitas agama terutama kalam.[5] Yang di kalkulasikan menjadi tradisi tasawuf, tradisi filsafat dan tradisi kalam, itulah yang menjadi garis pemikiran dari filsafat Mulla Sadra.

Jika dalam korelasinya hanya mencampurkan antara disiplin keilmuan satu dengan lainnya, lalu apa istimewanya dari filsafat Mulla Sadra sehingga terus hidup dan diperbincangkan dalam filsafat Islam. Justru karena mengintegrasikan beberapa aliran dalam satu pemikiran tersendiri, maka terjadilah sintesis filsafat atau mempertemukan tradisi keilmuan yang berbeda tersebut sehingga menjadi satu disiplin keilmuan, kemudian muncullah satu pandangan baru yang bernama Hikmah Muta’alliyah. Bukan berarti hal biasa saja namun menjadi disiplin ilmu baru yang berdiri sendiri.

Sebagai ilustrasi bagaimana sumbangsih Mulla Sadra digambarkan dengan sebuah ilustrasi masakan yaitu racikan yang berisi sayur dan bumbu-bubu. Ketika terpecah belah maka tidak ada satu kesatuan masakan, namun ketika kita mencampurkannya sebagai masakan sayuran, maka akan muncul rasa baru atau hal baru. Artinya, ketika tasawuf berdiri sendiri akan memiliki rasa dan coraknya masing-masing. Hikmah Al-Muta’alliyah  inilah yang menjadi pandangan kreativitas filsafat Mulla Sadra.

Ketika membahas tentang filsafatnya Mula Sadra, kita akan menemukan kajian menarik yaitu dalam pembahasan apa itu wujud? Menurut Mulla Sadra wujud adalah sesuatu yang tidak mungkin didefinisikan, ia tidak terdefinisikan karena tidak ada sesuatu di luar wujud. Kalau kita konsisten dengan definisi menurut Aristoteles, yang mengatakan bahwa definisi itu harus terdefinisi dengan Genus dan Diferensial. Tetapi menurut Mulla Sadra itu tidak ada hubungannya dengan bentuk definisi pada wujud karena semuanya wujud, sehingga tidak bisa didefinisikan.

Lebih lanjut, dalam memahami filsafat Mulla Sadra kita harus paham apa yang harus dinyatakan oleh Mulla Sadra yaitu wujud. Dalam pembahasan wujudnya perlu untuk membedakan antara wujud dengan mahiyyah. Kedua hal itu tidak memiliki keselarasan. Kalau filsafat adalah bertanya tentang wujud maka mahiyyah adalah sebuah pertanyaan apakah dia?. Dalam pernyataan ini kita dituntut menjawab secara konfirmatif yang kemudian jawabannya menjadi wujud atau ada, dan ilmu untuk mencapai keberadaan ini yaitu lewat interaksi langsung (intuitif).

Terkait konstruksi ‘ada’ atau wujud dalam Islam memandang realitas sebagai kenyataan atas wujud dan yang maujud atau ‘ada’ dan yang ‘diadakan’. ‘Ada’ memiliki kedudukan sebagai sebab atas yang ‘diadakan’-nya sesuatu di mana itu menjadi representasi atas Tuhan. Seperti sering kita dengar dan temui dalam kajian filsafat Islam bahwa hal itu disebut sebagai realitas utama, sebab awal atau yang universal (a priori). Yang utama adalah esensi, karena eksistensi terbentuk atas esensi.

Mahiyyah (kuiditas) atau akibat bersifat i’tibar. Kaidah akibat ini berupaya untuk mengungkap wujud sebagai sebab timbulnya akibat yang terjadi. Berlakunya mahiyyah ini dalam filsafat Islam sejatinya menjadi satu wujud murni esensi (Tuhan). Cara menemukan keberadaan Tuhan atau wujud murni ini ialah dengan menjelaskan apa yang maujud atau eksistensi atas keberadaan Tuhan, sederhananya ialah dengan melihat ciptaannya. Maka, ashalatul wujud ialah keaslian eksistensi.

Jadi, dibutuhkan konsep ilmiah yang bisa menjadi bukti logis dalam sebuah kasus. Mulla Sadra percaya bahwa Musyahadah atau persaksikan adalah apa yang dihasilkan atas proses Mukasyafah atau penyingkapan makna kebenaran Ilahiah yang hakiki, sehingga perlu rasional dan akal untuk dapat membuktikannya. Bagi Mulla Sadra, esensi wujud itu realitas obyektif di luar pikiran, sedangkan eksistensi merupakan gambaran umum tentang realitas yang ada dalam pikiran, sehingga hanya merupakan wujud mental yang mendominasi. Kendati demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai cerminan hakikat wujud, karena korelasinya terhadap wujud mental itu abstrak.[6]

[1] Faiz,  F.  (2013).  Eksistensialisme  Mulla  Sadra. Teosofi:  Jurnal  Tasawuf  Dan Pemikiran Islam, 3(2), 436–461.

[2] John Cooper, “Mulla Sadra Shirazi” dalam E. Craig (ed.), The Routledge Encyclopaedia of Philosophy (London: Routledge, 1998), 595-599.

[3] Amroeni Drajat, Suhrawardi Kritik Falsafah Paripatetik (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005), 57.

[4] Nurkhalis, N. (2011). Pemikiran Filsafat Islam Mulla Sadra. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin13(2), 179-196.

[5] Husein Nasr, Spiritual dan Seni Islam (Bandung: Mizan, 1993), 214.

[6] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat …, 168-169.