image by Aspassoconsara.it

“Sampai mana perjuangan feminisme akan terus di teriak-teriakkan?”

Jika pertanyaan ini adalah gubahan untuk kita perhatikan, maka selanjutnya kita harus memberikan kerangka-kerangka penalaran untuk menjelaskan lebih cemerlang. Melihat suburnya bentuk-bentuk ketidakadilan adalah membasmi segala bentuk ketidakadilan tersebut dalam ranah politik, sosial dan juga gender. Seperti isu-isu dari bibir tipis para feminisme yang belum terselesaikan, seperti contoh wanita itu lemah, cengeng dan manja. Atau juga hanya berlaku pada pekerjaan rumah, kasur, sumur, dan dapur. Melihat tindakan-tindakan yang harus superior seperti yang telah di bandingkannya pada pria akan kekuatan, kelogisan dan juga pencari nafkah untuk para wanita-wanitanya.

Terkait hal-hal tersebut, penulis menemukan perkataan dari ulama masyhur nusantara, Mbah Maimon Zubair, “setinggi apapun pendidikan perempuan, karir terbaiknya adalah berdiam di rumah, bayaran termahal adalah ridho suami, prestasi terbesarnya adalah Ketika mampu mencetak anak sholeh dan sholehah”. Lalu apakah ungkapan tersebut menjadi bentuk dari memarjinalkan Wanita? Bentuk dari ketidak adilan yang selalu di timpa Wanita akan keinginan kebebasan juga keberpihakan.

Membahas emansipasi rupanya lebih hangat untuk suasana perjuangan feminisme yang seharusnya para wanita adalah Wanita itu sendiri, dengan kebebasan dari ketidakadilan sosial. Bukan yang sering saya dengar dari beberapa teman wanita perjuangan ideologi feminis akan keinginan mereka untuk superior layaknya para pria. Atau malah lebih buruknya ingin menjadi pria, yang pada akhir-akhir menjadi tragedi tambahan dari bias-gender.

Lebih lanjut penulis ingin menyelipkan ungkapan wanita superior mbak Dian Sastrowardoyo, sosok wanita cantik serta manis senyumnya. “Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi Ibu.”

Lalu apa yang perlu lebih di perjuangkan dari justice pergerakan feminisme? Dari akar-akar serabut, Marginalisasi (pemiskinan ekonomi), Subordinasi (anggapan tidak penting), Stereotipe (pelabelan negatif), Double Barden (beban ganda), maupun kekerasan terhadap perempuan. Dan ternyata problema ketidakadilan akar serabut tersebut masih belum mampu tertutup rapat, akan lubang-lubang yang selalu membukanya. Lubang-lubang merambah, lubang-lubang masa demi masa, yang belum terbasmi. Yakni akar tunggal PROSTITUSI.

Meraup banyak asumsi-asumsi dalam buku History of Prostitution karya William Wallace Sanger, seorang dokter yang telah mengabdikan dirinya pada kasus pelacuran. Ia pernah bertugas sebagai dokter residen pertama di Blackwell Island. Pertemuannya dengan dunia prostitusi adalah ketika ia ditugaskan oleh anggota dewan kota New York untuk meneliti motif para pelacur. Segala pengalamannya tentang penelitian prostitusi-prostitusi terbesar di dunia, dari abad ke-18 SM oleh bangsa Yahudi hingga saat ini yang masih menjadi spektrum mawar dan kupu-kupu berterbangan.

Konon usia prostitusi itu hampir sama tuanya dengan peradaban manusia. Ia senantiasa muncul dalam setiap periode sejarah. Namun demikian, prostitusi itu tidak sebatas bisnis dan profesi. Ada Hasrat dan nafsu di dalamnya. Ada keinginan dan kepuasan di sebaliknya. Ada kemiskinan dan tangisan dalam kenistaannya. Ada kerendahan dan kebrutalan dalam kebejatannya. Pada suatu masa, prostitusi sebagai profesi bahkan pernah mendapat kehormatannya.

Syahwat lelaki yang terkadang sulit dibendung pun terpuaskan oleh perempuan-perempuan pelacur di istana-istana megah dan mewah. Prostitusi mengitari para raja, orang-orang terhormat, dan bahkan prajurit pemabuk yang kehilangan akal. Sejarah telah merekam jejak-jejak pelacuran yang terjadi di dunia ini dari masa ke masa. Ada beragam motif yang membingkainya sehingga perbuatan rendah tersebut mendapat penggemarnya. Dengan demikian, keberadaan prostitusi itu telah menjarah dan melegenda, seperti yang disadur dari buku History of Prostitution tahun 2019.

Terkait prostitusi, hal tersebut merupakan suatu bencana ketimpangan gender. Bagaimana tidak, identifikasi pelacur pada umumnya hanya tertuju pada wanita, meski rupanya sebagian kecil di kota-kota besar teradapat juga pelacur pria yang sering di sebut dengan ‘gigolo’. Namun, hanya wanita-wanita kaya lah yang mampu untuk memesan para pelacur pria, selebihnya para pria dari golongan kelas bawah, menengah, hinggat atas, mampu untuk membeli sebidang daging segar wanita dengan harga yang telah di sediakan secara unlimited menurut kelas-kelasnya.

“Prostitusi bukan pekerjaan. Bagian dalam tubuh perempuan bukanlah tempat kerja”

(Julie Bindel, aktivis politik dan pendiri ‘Justice for Women’)

Kembali pada gerakan feminisme, yang dari dulu hingga sekarang masih belum terselesaikan. Memang, begitu kompleks membahas kajian feminisme, namun lebih kompleks lagi melihat perjuang-perjuangan mereka yang masih belum mendapat bendera kemerdekaan dari dunia yang terlanjur patriarkis. Daripada suara teriakan lantang mereka akan pembebasan gender, unjuk rasa gagah mereka akan peran politik, atau perilaku mereka yang ingin menjadi superman supaya mampu terbang untuk mengapai bendera kemerdekaannya.

Namun sebelum berangkat berjuang, ia tidak sadar atau bahkan lupa mencabut akar tunggalnya. Yang telah subur menjadi jamur kehidupan bumi, dari dulu hingga sekarang atau bahkan nanti tanpa berkesudahan.

“Kita mengatakan bahwa perbudakan telah menghilang dari peradaban bumi, namun ini tidak benar. Perbudakan masih ada, dan sekarang hanya berlaku untuk perempuan. Namanya adalah prostitusi.” -Victor Hugo-