image by estadodaarte.estadao.com.br

Memahami hukum bisa dibilang sebagai studi yang berfokus pada suatu sistem norma, dengan memiliki sifat memaksa dan mengatur. Dimana setiap masyarakat menjalankan aktivitas, ada keharusan untuk taat pada norma tersebut. Tujuan mentaatinya tak lain agar memberi keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Hukum dalam akar falsafahnya ada berbagai macam aliran, salah satunya Positivisme Hukum.

Teori aliran hukum ini, tokoh masyhurnya bernama Hans Kelsen mengartikan bahwa hukum itu bebas nilai (tidak terikat), artinya sudah terpisah antara kebijakan dengan moral. Dalam filsafat hukum sebelum aliran positivisme hukum, ada aliran hukum alam (natural law), yang mana hukum itu bersumber dari alam (baca : tuhan/pencipta semesta) an sich. Sedangkan hadirnya positivisme hukum untuk mencounter dari hukum alam tersebut. Positivisme hukum tidak lagi berbicara hukum berasal dari tuhan, melainkan hukum merupakan produk pemikiran manusia yang kemudian dikonsensuskan dan tertulis dalam undang-undang serta diplenokan oleh penguasa negara. Ajaran positivisme mengajarkan bahwa hukum harus memiliki sosok yang tidak berada di ranah yang metayuridis (hukum yang tidak terlihat), melainkan di ranah yang menampak dan terbaca tegas dan jelas dengan sifatnya yang objektif.

Perkembangan hukum dari zaman ke zaman pasti mengalami transformasi, kemurnian hukum yang dipahami hanya berisi aturan saja saat ini sudah luntur, sebab ada anasir-anasir lain yang membuat hukum itu tidak murni lagi, seperti terkontaminasi agama, politik, budaya, ekonomi, bahkan kepentingan para stake holder. Sementara menurut Hans Kelsen, hukum yang benar-benar dinamakan hukum ialah positivisme hukum, karena murni tanpa ada intervensi dari unsur-unsur diskursus pengetahuan lain, sekalipun itu bersangkutan pada moral. Suatu aturan bisa menjadi norma apabila dibentuk atas landasan moralitas dan nilai-nilai yang baik dan norma-norma tersebut menjadi mengikat kalau dikehendaki menjadi hukum. Oleh karena itu, filsuf hukum kelahiran Austria ini menganggap terkait pembicaraan moral telah selesai manakala sampai pada taraf pembentukan hukum positif. Mengenai pemikiran Hans Kelsen tentang teori hukum agar lebih mudah dipahami, selanjutnya penulis akan membahasnya sebagai berikut.

Positivisme Hukum: Teori Hukum Murni menurut Hans Kelsen

Sebagai penganut aliran positivisme hukum, Kelsen dikenal dengan konsep hukum murninya, yang mana menginginkan hukum itu apa adanya, malahan antara keadilan dengan hukum tidak boleh bercampur aduk jadi satu. Hukum murni Hans Kelsen menolak sesuatu apapun yang dapat mengotori kemurnian hukum. Seorang warga negara yang mentaati hukum karena dia sadar kalau itu sudah keharusan (wajib) untuk ditaati. Singkatnya, seseorang harus menyesuaikan diri dengan apa yang sudah diberlakukan (aturan yang tertulis) (man soll sich so verhalten wie die verfassung vorschreibt). Jadi dampaknya jika hukum itu sudah murni, aturan-aturan yang dihasilkan bukan untuk segelintir kelompok orang yang berkepentingan saja, melainkan hanya untuk kepentingan umum.

Hukum murni merupakan konsekuensi logis dari dikotomi suatu keharusan (Das Sollen) dan faktual/senyatanya (Das Sein). Antara dikotomi Das Sein dan Das Sollen, Hans Kelsen mengatakan bahwa Das Sollen adalah suatu makna objektif (perintah) yang muncul untuk mengharusan tindakan seseorang mentaati aturan. Sedangkan Das Sein ialah implementasi dari segala hal yang kejadiannya (fakta sosial) diatur oleh Das Sollen. Misalnya di Indonesia, secara Das Sein setiap warga negara berhak bebas menyuarakan pendapatnya, dan secara Das Sollen mengenai warga negara yang bebas berpendapat diatur pada Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat ”. Meskipun selama ini, warga negara yang telah menyuarakan pendapatnya malah dapat kiriman serangan teror intimidasi. Padahal jelas, warga negara menyuarakan pendapatnya memang bukti keharusan taat pada aturan yang tertulis (undang-undang).

Hukum Murni menurut Hans Kelsen dalam karyanya yang berjudul The Pure Theory Of Law mengatakan : “Hukum ditaati bukan karena dinilai baik atau adil, tetapi karena hukum itu telah ditulis dan disahkan oleh penguasa”. Fragmen kata-kata yang cukup jelas dan tegas.

Grundnorm (Norma Dasar)

Keberadaan basis gagasan Hans Kelsen tentang Hukum Murni tak lepas dengan teori grundnorm, karena aturan-aturan yang tertulis dalam Hukum Murni itu bersumber pada grundnorm (norma dasar). Norma dasar inilah yang akan melahirkan janin-janin baru peraturan hukum dalam tatanan suatu sistem hukum dan memiliki fungsi sebagai dasar mengapa suatu hukum itu harus ditaati.

Adapun yang dimaksud dengan norma dasar ialah sebuah konsep norma yang terpusat dari segala berlakunya hukum dalam suatu negara. Sekaligus sanad induk batu uji dalam pembentukan setiap peraturan-peraturan hukum. Artinya apa, dalam struktur hukum ada suatu norma yang tertinggi. Contohnya di Indonesia, grundnorm ini berupa PANCASILA. Sehingga, kedudukan Pancasila sebagai norma dasar negara berada di atas norma hukum seperti UUD 1945. Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam suatu tingkatan sistem hukum tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar ini dibentuk dan ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat, yang nantinya menjadi dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar sebuah negara dan acuan bagi peraturan hukum yang berada di bawahnya.

Stufenbau Theory (Teori Hierarki Perundang-Undangan)

Titik taut mengenai landasan norma dasar memiliki korelasi pada hierarki (tingkatan) Perundang-Undangan. Yang mana antara grundnorm dengan norma lainnya jika diurutkan sebagai berikut: Grundnorm-Norms- Subnorms. Hans Kelsen dalam hierarki Perundang-Undangan yang disebut Stufenbau Theory menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan aturan yang berjenjang, dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi dan hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).

Setiap pembentukan undang-undang berorientasi agar tidak ada tumpang tindih antara undang-undang yang lebih tinggi dengan undang-undang yang berada di bawahnya. Kenapa harus begitu, sebab jikalau ada undang-undang yang isi materinya bertentangan dengan undang-undang di atasnya maka undang-undang tersebut batal secara hukum (tidak sah berlaku). Sebagaimana penjelasan arti dari Asas “Lex Superior Derogat Legi Inferior” (Peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi). Dalam praktiknya di Indonesia, tentang regulasi yang mengatur hal itu bisa dibaca pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7 ayat (1) mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang terdiri atas: a) UUD Negara RI Tahun 1945; b) Ketetapan MPR; c) Undang-Undang/Peraturan Pengganti Undang-Undang (PerPUU); d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi; g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dari hierarki itu juga menunjukkan bahwa kapasitas kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan itu sesuai dengan hierarki tersebut. Tata urut peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak mencantumkan Pancasila, karena kedudukan Pancasila dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagai norma dasar.

Lebih lanjut menyoal Positivisme Hukum yang seolah-olah tidak menerima unsur-unsur non hukum, saat ini kiranya sudah tidak relevan lagi, pasalnya, setiap unsur kehidupan bernegara harus saling menyokong satu sama lain. Jadi tidak mungkin suatu hukum yang dibentuk tanpa bantuan unsur-unsur lain, justru unsur-unsur itulah yang melengkapi dibentuknya hukum. Negara Indonesia yang menerapkan sistem Stufenbau Theory, penulis berharap tidak ada Undang-Undang yang tumpang tindih, menyimpang serta menindas. Begitu pun entitas Pancasila sebagai Norma Dasar juga bisa betul-betul dapat diimplementasikan bukan hanya sekedar jadi pajangan hiasan dinding rumah. Dan pada akhirnya, beberapa teori hukum dari Hans Kelsen memang perlu adanya kritik pembaruan karena kebenaran sebuah teori tergantung pada relevansi konteks zaman.

Sumber Referensi:

Absori dan Achmadi, “Transplatansi Nilai Moral dalam Budaya untuk Menuju Hukum Berkeadilan (Perspektif Hukum Sistematik ke Non-Sistematik Charles Sampford)”,Prosiding Konferensi Nasional ke-6 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (APPPTMA), hlm. 108.

FX Adjie Samekto, Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen tentang Stufenbeautheorie Dalam Pendekatan Normatif – Filosofis,  Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019.

FX Adjie Samekto, Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2012, hal. 49.

Putera Astomo, “Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen Tentang Hukum dengan Gagasan Satjipto Rahardjo Tentang Hukum Progresif Berbasis Teori Hukum”,Jurnal Yustisia, Vol. 90, 2014, Hlm 8.

Fais Yonas Bo’a, Pancasila sebagai Sumber Hukum dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Konstitusi, Vol. 15, No. 1, Maret 2018.

About The Author