image by Ulrich Baumgarten / Contributor / Getty Images
image by Ulrich Baumgarten / Contributor / Getty Images

Standardisasi dalam fungsinya yang otonom itu penting. Ribuan tahun sepanjang peradabannya manusia telah menerapkannya. Terutama pada unit khusus dan spesifik, standardisasi dipasang lebih ketat, rinci, dan tegas. Hal itu dimaksudkan sebagi titik evaluasi, koreksi, kontrol, batas ukuran, proses, tuntunan, dan pencapaian. Tetapi, bagaimana jika atribut pembangun standardisasi itu sendiri belum berstandar?

Anggap saja standarisasi itu seperti penggaris. Kita gunakan penggaris itu untuk mengukur suatu objek agar mendapat nilai satuan panjang. Tapi, bagaimana jika penggaris itu angka-angkanya sulit dibaca, spasi barisnya beda-beda, urutan angkanya loncat, penggarisnya melengkung, dan lebih parah lagi pengguna penggaris itu mengalami disabilitas?

Tentu hasil dari pengukuran akan prematur. Sebab, variabel pendukung tidak terpenuhi. Sederhananya, untuk mencapai titik suatu standar, seminimalnya harus mengetahui atribut terkait standar itu sendiri. Hal itu sebagai konsekuensi logis dari implementasi standardisasi. Titik ini harus dipahami dulu sebelum memutuskan berproses.

Mengenal Standardisasi Pendidikan Lebih Jauh

Sama seperti hal pada umumnya, standardisasi juga ada dan dibutuhkan pendidikan. Bahkan, standaradisasi dalam pendidikan merupakan suatu keharusan sebagai upaya kontrol kualitas.

Ada 8 standar yang terlibat sebagai satu kesatuan di dalam pendidikan. Antara lain standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolahan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

Perlu disadari bersama, sayangnya selama ini pemerintah sebagai fungsi pelabel standardisasi lebih sibuk mengurusi standar isi, proses, serta kompetensi kelulusan. Standar lainnya seperti standar pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, pengelolahan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, justru berjalan tanpa harmonisasi bahkan cenderung terpinggirkan. Dianggap sebagai alternatif sampingan.

Dari sini standardisasi berubah menjadi boomerang. Kalau kita memahami dasar kerja pembentukan kurikulum, semua label standar tersebut harus dipenuhi sebagai konsekuensi dasar pencapaian mutu pendidikan. Kalau saja salah satu dari kedelapan standar tidak sinkron apalagi berimbang, kesenjangan akan lebih mudah terbentuk dan melebar. Itu akan mempersulit dan memperparah proses pencapaian mutu pendidikan. Belum lagi bila kesenjangan tersebut berlangsung dalam waktu menahun.

Berapa banyak guru yang justru dibebani administrasi ketatausahaan hanya karena tenaga kependidikannya kurang? Berapa banyak lulusan pendidikan yang tidak layak mengajar? berapa banyak sekolah yang tidak punya fasilitas belajar layak? berapa banyak gaji guru yang ratusan ribu? Berapa banyak siswa yang gagal bayar uang sekolah? Berapa banyak pengawas yang cuma menagih administrasi? Dan berapa banyak pula kecurangan dan rekayasa nilai dalam ujian?

Semua pertanyaan tersebut harus direfleksi bersama sebagai satu kesatuan sistem dan jaringan pembentuk standar. Kedelapan standar dalam standardisasi pendidikan wajib terstandar dulu. Selama ini kan itu tidak terjadi.

Akibatnya hierarki kedudukan sekolah terus terbentuk dan terjalin, menciptakan kasta-kasta dan pengelompokkan. Paling salah kaprah dari fakta tersebut ialah, penyeragaman evaluasi.

Contohnya, anda bisa melihat bagaimana seminar, pelatihan, dan workshop pendidikan yang dijalankan pemerintah. Paling sederhana, biasanya narasumber berasal dari ahli. Singkat waktu semua materi dijelaskan. Semua peserta memahami dan ingin menjalankan. Sampai sini mungkin tidak bermasalah. Tetapi, begitu peserta kembali ke sekolah masing-masing, permasalahan langsung bertumpuk-tumpuk. Keingingan untuk menjalankan ilmu dari seminar terbentur oleh aturan bisnis yayasan, sarana prasarana kurang lengkap, lingkungan sekolah yang tidak mendukung, keterbatasan pembiayaan wali murid, kualitas guru yang rendah, hingga motivasi guru itu sendiri yang berbeda.

Pada titik akhirnya, tetap murid yang akan jadi korban. Cara-cara pengajaran lama yang sudah seharusnya ditinggalkan akan dijalankan lagi, lagi, dan lagi. Kreasi dan inovasi gagal tersalurkan. Semua permodelan kasus ini disebabkan tidak adanya standar tegas dalam pemenuhan 8 standar dalam kurikulum. Kedelapannya masih dipandang, dijalankan, dan dievaluasi sebagai keparsialan fungsi. Itu menjebak sekolah pada penyeragaman atas tuntutan standar lewat jalan permakisasi.

Paling nyata dan dirasakan ialah sekolah yang sudah siap dalam sarana prasarana, mutu pendidik dan kependidikan, pembiayaan, pengelolahan, hingga penilaian, akan lebih cepat berkembang, bertransformasi, dan meninggalkan sekolah yang unsur standar pembangunnya belum berstandar. Kalau sudah begini, kesenjangan pendidikan sudah tidak bisa terelakkan lagi. Ini akan memperparah segalanya. Bukankah mencegah lebih baik dari mengobati?

Penyelewengan Standardisasi

Standardisasi yang mulanya dimaksudkan sebagai titik evaluasi, koreksi, kontrol, batas ukuran, proses, tuntunan, dan pencapaian, kini berubah menjadi penyeragaman yang sifatnya rekayasa.

Sekolah-sekolah pada akhirnya berlomba-lomba memenuhi standardisasi pokok tanpa melihat atribut unit pembangunnya. Dari sinilah citra sekolah bekerja. Sekolah swasta selalu memberi slogan lulus 100%, sekolah negeri membanggakan laporan ke pemerintah, sekolah Cina membanggakan fasilitas, sekolah pedalaman membanggakan keterpurukan, hingga sekolah pinggiran yang tidak pernah jelas orientasinya.

Dari sini terlihat, bahwa standardisasi sudah menyeleweng terlalu jauh dari fungsi pokok standarnya. Tidak pernah mengherankan bila sekolah pada akhirnya dianggap sebagai formalitas agar memeroleh ijazah buat bekerja. Nilai direkayasa, murid diseragamkan, dan pencapaian dimanipulasi sedemikian rupa agar memenuhi standar pokok.

Sekolah negeri, sekolah Cina, dan swasta favorit, selalu dijadikan citra utama dalam evaluasi dan standar. Sekolah A berhasil, mengapa sekolah B tidak berhasil? Harusnya sekolah B mencontoh sekolah A, dan seterusnya. Bukankah itu pendekatan yang salah kaprah?

Pandangan semacam itu sudah membudaya sampai lapisan bawah. Kita semua lupa, ada unsur pembangun yang tidak sama dari keduanya. Dan itu yang seharusnya distandarkan dulu dengan kebijakan tegas, lugas, tanpa celah.

Memulai dari Segi Teknis

Dari 8 standar yang ada dalam pendidikan, seharusnya pemerintah terlebih dahulu fokus pada standar teknis dan dasar. Seperti standar pendidik dan kependidikan, standar sarana prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolahan, hingga standar penilaian. Setelah semua itu benar-benar terstandar, pemerintah bisa ke standar yang lebih spesifik, yakni siswa.

Sekolah-sekolah yang tidak memiliki fasilitas lengkap segera ditindak tegas; pembiayaan sekolah yang memberatkan segera diperingati; kualitas pendidik dan kependidikan yang rendah segera ditingkatkan; penilaian yang manipulatif segera diperbaiki; pengelolahan yang amburadul segera diurus.

Semua itu harus wajib selesai dalam titik standarnya. Baru, setelahnya kita bahas bagaimana menghasilkan siswa berkarakter dan berkebudayaan sesuai amanat undang-undang dasar, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sama seperti saat orang membangun model rumah dua lantai, yang dibahas terlebih dahulu bukan bagaimana menggambar designnya. Melainkan bagaimana melengkapi unsur pembangun itu sendiri sesuai dengan standar model rumah dua lantai. Seperti semen, beton, pasir, pondasi, tukang, arsitek, dsb. Tentunya semua unsur pembangun tersebut wajib terstandar terlebih dahulu. Sebab, bagaimana pun untuk mewujudkan suatu ide atau cita-cita, kita butuh atribut konkrit yang baik, pas, sesuai takaran, dan kebutuhan.