Sumenep adalah salah satu kabupaten di kepulauan Madura, tepatnya di ujung paling timur pulau Madura. Sumenep merupakan kota yang mempunyai banyak sebutan, salah satunya adalah sebagai “kota religius”. Masjid Jami’ menjadi salah satu landmark kota Sumenep sebagai kota religius, bangunan yang menjadi pusat kegiatan keagamaan sejak 3 abad silam ini juga menjadi simbol tingginya peradaban masyarakat di masa silam. Bangunannya masih berdiri kokoh sampai saat ini, menjadi saksi kejayaan Sumenep di masa lalu .

Di kabupaten ini pernah berdiri kerajaan yang perannya sangat diperhitungkan dalam sejarah nusantara. Selain itu, gaya arsitektur masjid yang didirikan pada zaman kekuasaan Panembahan Sumolo ini merupakan perpaduan antara budaya Eropa, Tiongkok, Arab, dan Madura, yang terlihat jelas dari bangunan gerbang serta interior masjidnya. Perpaduan tersebut merupakan simbol dari masyarakat Sumenep yang sangat terbuka dengan budaya asing tanpa harus menghilangkan kearifan budaya lokal Sumenep sendiri. Bahkan sosok yang menjadi arsitektur masjid yang masuk dalam 10 masjid tertua di Indonesia tersebut adalah Lauw Piango, yang merupakan keturunan Tiongkok.

Berbicara kearifan lokal, tentu kehidupan masyarakat Sumenep sangat berpegang erat pada adat ketimuran, yakni tata krama. Jenis adat ini yang hingga saat ini menjadi nilai utama dari kehidupan masyarakat Sumenep. Hal itu dibuktikan juga dengan berdirinya pesantren-pesantren, langgar-langgar, dan tempat pendidikan lainnya.

Bagi masyarakat yang hidup di tanah kerajaan ini, puncak dari pendidikan adalah betambahnya tawadhu’ dan akhlak dalam setiap diri. Persoalan “kecerdasan” bukan tidak menjadi pertimbangan, namun kecerdasan tidak akan ada gunanya jika perilaku masih mencerminkan orang bodoh.

Mirisnya, dalam dekade akhir-akhir ini sering kita jumpai fenomena amoral di tengah-tengah masyarakat yang sangat tidak layak jadi contoh, terutama di wilayah yang banyak makam-makam para pahlawan dan ulama’ seperti asta tinggi, asta yusuf, asta panaongan, asta gumuk, asta adi poday dan masih banyak lagi pasarean-pasarean lainnya. Persoalan ini tentu tidak boleh dibiarkan supaya tidak semakin parah dan menjadi virus bagi generasi selanjutnya. Bagaimana caranya?.

Jika kembali pada sejarah, Sumenep tidak bisa dipisahkan dari langgar. Langgar atau surau, ternyata bukan hanya sebagai tempat shalat, melainkan juga menyimpan catatan sejarah tentang tradisi kuno di Nusantara sejak abad ke-2 Masehi. Sayang, belakangan ini, sudah agak jarang ditemui adanya langgar di rumah-rumah masyarakat khususnya di perkotaan. Namanya pun bukan lagi langgar atau surau, melainkan menggunakan bahasa Arab, “Mushalla” yang berarti “Tempat Shalat”. Memang tidak salah dengan istilah ini, hanya saja, setidaknya telah mempersempit makna dan fungsi sebenarnya. 

Langgar, pada dasarnya, pada abad ke-2 Masehi menjadi tempat serbaguna termasuk salah satunya adalah penyebaran ajaran tauhid. Menurut Drs. H Ridwan Saidi, sejarawan Betawi mengatakan, sejak abad ke-2 Masehi, sudah ada empat orang Syaikh dari Palestina yang datang ke Nusantara untuk menyebarkan ajaran tauhid (Islam). Makam para Syaikh tersebut, terangnya, di antaranya berada di wilayah Tangerang (Banten) serta di wilayah Muria (Jawa Tengah). Meskipun sekarang nama dan sejarah mereka sudah ada yang dikaburkan (dirubah). Dalam menyebarkan misi dakwahnya, mereka menggunakan langgar sebagai institusi. Mereka berjalan kaki lalu mengajarkan tauhid dan budi pekerti pada masyarakat di langgar-langgar. Maka itu, fungsi langgar, bukan hanya sebagai tempat shalat saja, melainkan juga untuk berbagai hal, termasuk menerima tamu, belajar, diskusi, dan lain-lainnya.

Terkait dengan langgar sebagai institusi, atau setidaknya, sebagai tempat serbaguna, sampai hari ini, masih lestari di sebagian daerah di Pulau Madura khususnya. Meski bukan sebuah lembaga besar, yang namanya langgar tentu memiliki peran penting dalam proses awal pembentukan pribadi anak, terutama yang berkaitan dengan masalah agama. Seperti mengenal dasar-dasar agama Islam, sejarah umum turunnya Islam, serta pengenalan lib-aliban atau lif-alifan (mengaji kitab suci Al-Quran).

Bahkan menurut Drs K. Ismail Wongsoleksono, Sumenep itu sangat erat sekali hubungannya dengan langgar. Dulu tidak ada istilah pesantren, tapi langgar. Seperti Langgar Kodas Ambunten, Langgar Toros Kebunagung, Langgar Loteng Sarsore, Langgar Barangbang, Langgar Tarate, Langgar Pandian, dan lain sebagainya. Dari langgar-langgar inilah yang selanjutnya menjadi cikal-bakal berdirinya sejumlah lembaga-lembaga besar di Sumenep. Meski tidak di lokasi yang sama, paling tidak dari langgar-langgar bertebaran tokoh-tokoh alim ulama, para arif billah, dan sejumlah pondok pesantren di wilayah Kabupaten Sumenep.

Di Langgar hanya ada beberapa murid berkisar antara 10-15 orang dengan satu guru yang disebut kaji atau ma’ kae. Minat masyarakat untuk ngaji di langgar waktu penulis masih kecil masih cukup banyak. Bahkan melalui komunitas ngaji dari langgar ini, banyak di ajarkan Islam yang paling dasar. Seperti tata cara sholat, aqoid 50, cerita para Nabi, para pejuang Islam, hikayat (sastra), dan sebagainya.

Di langgar juga diajarkan kesantunan dan keramahan dalam beragama. Memang secara garis besar, di langgar tidak ada kerikulum yang jelas dalam mengatur kegiatan belajar-mengajar, namun kontribusi bagi kehidupan sangatlah jelas terutama yang menyangkut aqidah dan pembentukan karakter.

Sayangnya, budaya ngaji di langgar ini kian memudar. Banyak langgar yang kemudian ditinggalkan. Anak-anak semakin disibukan dengan aktifitas lain yang lebih menarik, bermain gadget, kursus tambahan dan sebagainya.

Di samping itu, tidak ada komunitas tertentu yang mau peduli dengan keberadaan langgar ini. Padahal langgar ini posisinya sangat penting. Dari langgar ini banyak anak-anak generasi masa depan yang berkumpul. Jika anak-anak mendapat cara belajar agama yang salah, bisa terjebak pada model pembelajaran orang-orang yang suka mengkafirkan orang lain.

Langgar merupakan tempat pertama sebelum anak-anak keluar untuk mengenal dunia lebih luas. Dari langgar ini dimulai pembelajaran agama, mengenal al-Qur’an, mengenal Islam, dan sebagainya. Anak-anak sejak kecil harus diajarkan seperti apa Islam itu, Islam yang ramah, toleran serta berkarakter.

Pendidikan yang dilaksanakan di langgar sejalan dengan teori Rousseu yang mengusulkan suatu sistem pendidikan yang sesuai dengan kodrat manusia . Ia melihat bahwa kebebasan manusia sejak lahir telah terkekang dan terikat di setiap kehidupannya. John Dewey memandang kehidupan adalah perubahan. Ketika kita memilih maka kita berpikir. Pendidikan hendaknya mengembangkan kekuatan peserta didik.

Pemikir seperti Paulo Freire juga memberikan bentuk pemikiran bahwa manusia berperan sebagai individu yang merdeka dan bukan sebagai tubuh-tubuh jinak oleh tekanan politik, manusia hendaknya menuju pada individu yang merdeka yang mampu menentukan nasibnya sendiri dalam proses pembentukan diri. Pengaruh gagasannya erat kaitannya dengan lahirnya apa yang disebut dengan pedagogis kritis atau pedagogif transformatif.

Pedagogik kritis mengupayakan suatu reformasi di dalam proses pendidikan yang menghasilkan kesamaan, keadilan, dan pengakuan atas hak asasi manusia yang setara. Hal ini sudah selesai di langgar. Seorang kaji atau ma’kae tidak pernah memposisikan dirinya yang paling terhormat, tetapi melalui pendekatan emosionalnya, seorang kaji atau ma’kae telah menanamkan sifat rendah hati dan saling menghormati terhadap sesama. Alhasil, kita sebagai masyarakat Sumenep harus membangun dan melestarikan budaya ngaji di langgar sebagai bekal untuk membentuk karakter anak dalam menghadapi perkembangan zaman yang semakin hari semakin tidak terkontrol. Kita harus mengembalikan Sumenep pada sejarah, dengan sejarah lingkungannya yang asri serta masyarakat yang hidup dalam kedamaian, toleran serta penuh dengan saling menghormati.

* Penulis adalah Mahasiswa Asal Sumenep, yang Sedang Menempuh Pendidikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Madura

About The Author