image by africanwriter.com
image by africanwriter.com

Ada sedikit kejadian menarik yang mungkin membuat sebagian orang, bahkan semua orang terkejut dengan kabar ini. Hal itu menyusul permintaan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) untuk menghentikan penggunaan istilah ‘anjay’ dalam percakapan sehari-hari. Larangan yang dikeluarkan Komnas PA ini menjadi salah satu topik yang paling banyak dibahas di Twitter Indonesia, mulai Minggu (30/8/2020) hingga Senin (31/8/2020) pagi. Lebih dari 213.000 twit dibuat menggunakan istilah ‘anjay’ untuk menyampaikan pendapat terkait larangan tersebut. Tentu sampai saat ini, kejadian ini masih menarik untuk kita bahas.

Pro dan kontra mengenai kejadian trending ini saling mewarnai media sosial kita hingga saat ini, dimana netizen menyampaikan pendapatnya masing-masing juga dengan argumen yang dinilai benar menurut perspektif mereka masing-masing. Pihak yang setuju dengan pelarangan kata “anjay” ini menganggap akan dapat merendahkan martabat seseorang, menimbulkan permusuhan antar sesama dan semacamnya. Sedangkan orang yang tidak setuju dengan hal itu beranggapan bahwa kata anjay sudah menjadi bahasa candaan dan memang sudah menjadi setengah dosa bersama. Perbedaan itu memang wujud dan bentuk kebebasan berpikir dari masing-masing mareka dengan menggunakan pengamatan serta pengalaman yang telah dilewati.

Kita semua sepakat bahwa “Anjay” memang sudah tidak asing di telinga kita, bahkan sudah manjadi tren utama dalam berbicara di kalangan remaja pada umumnya. Kata tersebut lumrah dipakai untuk bercengkrama, candaan dan semacamnya, guna mengekspresikan bentuk dari suatu kejadian. Terkadang juga dipakai karena melihat perkara yang membuat si pengguna terkesan. Misal, saya mengucapkan “Ah lu diputusin gitu aja mewek, gua nih ditinggal kawin”, lalu teman kita membalas “Anjayyyyy”.  Realita yang terjadi memang seperti itu, “anjay” sudah menjadi konsumsi publik dan sudah sering digunakan sebagai kata gurauan dan cangkringan dalam candaan.

Sebab dan maksud serta asal muasal dari pelarangan itu tentunya memiliki alasan tersendiri. Pelarangan kata “anjay” yang dikeluarkan Komnas PA dinilai sebagai usaha dari kepentingan anak bangsa untuk menjaga moralitas, mencegah terjadinya bullying, dan meminimalisir timbulnya kebencian antar sesama. Kata “anjay” dinilai sebagai salah satu bentuk kekerasan verbal dan bisa dipidana. Polemik ini sangat ramai di perbincangkan dan seringkali dijadikan bahan candaan karena dinilai tidak masuk akal. Aneh rasanya jika hanya karena penggunaan bahasa, seseorang dapat dipidana. Diksi candaan yang sudah umum digunakan malah diperbicangkan serius seolah-olah menjadi parasit bagi pergaulan anak bangsa.

Jika sebutan tersebut diartikan sebagai diksi yang negatif dan digunakan dengan tujuan untuk merendahkan martabat orang lain, maka istilah tersebut dinilai merupakan bentuk kekerasan verbal, sesuai konteks ketentuan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Namun kita kembalikan lagi dengan keadaan yang ada, kata tersebut sudah menjadi kata candaan dan bentuk ke uwawan terhadap sesuatu yang di alami.  Nampaknya terlalu dini apabila hanya dengan “anjay” seseorang dapat dipidana. Juga dari itu, pelarangan ini hanya akan membunuh kebebasan berinteraksi antar sesama, juga dapat merusak tatanan kebiasaan gurauan dalam segi berbicara.

Digali secara bahasa, kata “Anjay” bukanlah kata baku. Apabila disebut turunan kreatif dari kata “anjing” pun, tidak ada yang salah. Anjing merupakan nama binatang. Dan itu pun tidak ada yang salah. Tetapi apabila “anjing” digunakan sebagai sapaan atau umpatan, tentu harus ada siapa objeknya.  Dan itu pun tentu hanya seseorang yang memakai kata sapaan itu yang tahu maksudnya. Keadaan ini tentu menunjukkan bahwa kata “anjay” memiliki multi tafsir. Tidak dapat di sudutkan dengan bentuk cemoohan atau umpatan, tergantung orang yang menggunakan dan kondisi orang yang menanggapinya. Harus bisa memposisikan orang itu dalam posisi bercanda atau dalam keadaan memaki.

Di sinilah bentuk kepekaan itu harus benar-benar dimengerti. Umpatan dan makian sudah sering menjadi candaan, terutama di kalagan remaja. Karena remaja sedang berada di tahap pergaulan dengan teman sebaya, jadi wajar  apabila sering kali umpatan dan diksi-diksi negatif pun keluar dari lisan mereka, dan itu semata-mata hanya mengekspresikan suatu candaan. Dari situlah bimbingan sangat diperlukan guna terciptanya pemuda yang memilik moral dan etika yang baik Penanaman karakter tentu bukan hanya di lakukan oleh satu individu, melainkan secara bersama dengan kesadaran dan tujuan yang sama pula. Metode yang harus digunakan juga yang bersifat netral dan dapat diterima oleh semua kalangan. Tentu harus bersifat mendidik bukan bersifat deskriminasi.

Terkait dengan pelarangan kata “anjay”, kita semua harus melihat konteksnya. Karena bersifat pragmatik soal hubungan antara konteks luar bahasa dan maksud tuturan. Konteks luar bahasa, seperti dalam pergaulan, untuk keakraban, kesepakatan kelompok itu sangat mempengaruhi maksud tuturan. Dan maksud tuturan tentu tidak bisa dilihat hanya dari bentuk dan makna saja. Tapi patut dilihat pula dari tempat dan waktu berbicara, siapa yang terlibat, lawan bicaranya, tujuannya, cara penyampaiannya, dan sebagainya.

Berbicara soal norma, norma tentunya menjadi kunci dalam bercengkrama, berintraksi dan bermasyarakat.  Apabila benar pelarangan tersebut untuk menjaga norma, etika dan moral anak bangsa, maka seharusnya tontonan kurang baik di televisi dan media-media lainnya juga harus di filter dan diperhatikan sejeli pelarangan ini. Pelarangan ini cenderung membesar-besarkan perkara sepele. Proses pembentukan moral bukan hanya dengan bahasa yang dinilai kotor, akan tetapi dengan keadaan lingkungan sekitar, tontonan yang di konsumsi, serta kebiasaan yang dinilai kurang baik. Oleh karena itu, mengenai pelarangan tersebut harus kembali dikaji dan dipertimbangkan dengan baik.

Cara mengatasi persoalan ini tidak harus dengan cara dipidanakan. Ada baiknya juga dengan mengontrol keadaan lingkungan serta penanaman moral yang baik dan pemfilteran terhadap media-media yang dapat merusak nilai-nilai norma dan etika yang ada.  Niat dan tujuan baik untuk kepentingan menjaga dan mecerdaskan anak bangsa tentu merupakan  hal yang baik. Namun perkara seperti itu juga harus bersifat logis serta dapat diterima oleh nalar sehat. Perkara kecil tidak seharusnya di besar-besarkan sedangkan perkara besar hilang terbawa arus dan cerita cerita baru.

* Penulis adalah Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia, IAIN Madura

About The Author