image by refinery29.com
image by refinery29.com

Proses haid secara biologis merupakan proses yang dialami oleh perempuan secara alamiah, dengan ditandai keluarnya darah dari rahim wanita (ovum) karena tidak ada pembuahan sel sperma di dalamnya. Keluarnya darah tersebut berasal dari peluruhan dinding rahim yang sebelumnya menebal. Adapun menurut pandangan para ulama’ yang memberikan pengertian terhadap haid beragam. Imam Malik mengatakan bahwa haid merupakan darah yang keluar dengan sendirinya dari kelamin perempuan yang usianya sudah cukup menurut adat kebiasaan, dapat hamil meskipun hanya satu pacaran. Di sisi lain, Imam Hanafijuga mengungkapkan bahwa haid merupakan darah yang keluar dari rahim perempuan yg tidak hamil dan bukan anak kecil atau orang yang lanjut usia tanpa sebab melahirkan ataupun sakit.

            حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْقَاسِمِ قَالَ سَمِعْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ يَقُولُ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ خَرَجْنَا لَا نَرَى إِلَّا الْحَجَّ فَلَمَّا كُنَّا بِسَرِفَ حِضْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي قَالَ مَا لَكِ أَنُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَاقْضِي مَا يَقْضِي الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ قَالَتْ وَضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِسَائِهِ بِالْبَقَرِ

“Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, Aku mendengar ‘Abdurrahman bin Al Qasim berkata, Aku mendengar Al Qasim bin Muhammad berkata, Aku mendengar ‘Aisyah berkata, “Kami keluar dan tidak ada tujuan selain untuk ibadah haji. Ketika tiba di Sarif aku mengalami haid, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemuiku sementara aku sedang menangis. Beliau bertanya: “Apa yang terjadi denganmu? Apakah kamu datang haid?” Aku jawab, “Ya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita dari anak cucu Adam. Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang-orang yang haji, kecuali thawaf di Ka’bah.” ‘Aisyah berkata, “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan menyembelih seekor sapi yang diniatkan untuk semua isterinya.”

Perintah untuk berpuasa adalah perintah yang dimaksud dalam rukun Islam yang ke empat. Puasa atau saum ini bagi umat Islam adalah kegiatan menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, yang dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Perintah puasa juga tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183 dan Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi :

ya ayyuhallaazina amanu kutiba alaikumus-syiyamu kama kutiba ‘alallazina ming qoblikum la’allakum tattaqun.”

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Syahru ramaḍānallażī unzila fīhil-qur`ānu hudal lin-nāsi wa bayyinātim minal-hudā wal-furqān, fa man syahida mingkumusy-syahra falyaṣum-h, wa mang kāna marīḍan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar, yurīdullāhu bikumul-yusra wa lā yurīdu bikumul-‘usra wa litukmilul-‘iddata wa litukabbirullāha ‘alāmā hadākum wa la’allakum tasykurụn”.

Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Kesepakatan Ulama

Dari dalil tersebut para Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan penyikapan, yang diwakili oleh ketua MUI yakni K.H Anwar abbas. Pada hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra di atas, beliau merujukkan pelarangan puasa bagi wanita haid, dan para ulama pun semua menyetujui. Masalah puasa itu merupakan masalah ta’abbudi yaitu ibadah bukan masalah ta’aqulli atau rasional, Jadi harus ada dasar syar’iyyah-nya. Dan di antara kedua hadist di atas penguat yang di tegaskan oleh Ustad Anwar.

Semua ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) memandang haid sebagai penghalang puasa. Disebutkan, bahwa di antara syarat sah ibadah puasa adalah suci dari  haid (juz 2, hal. 616).

Nah, sekarang yang menjadi polemik baru dalam masalah wanita haid ini adalah terdapat sebagian tokoh yang ahli dalam ilmu fiqih membandingkan antara fiqih klasik dengan fiqih kontemporer. Pernyataan yang telah terpapar di atas saya kira termasuk dalam bagian dalam fiqih klasik karena melihat dalil yang digunakan terpaku pada hadist saja.

Mengutip dari mubadalah.id, ada seorang tokoh yang bernama Imam Nakha’i menyatakan bahwa wanita haid ini boleh berpuasa.

“Saya bangga dengan perempuan yang bertanya hampir setiap ramadhan, bolehkah perempuan haid berpuasa? Sebab di saat banyak orang tidak berpuasa tanpa alasan apapun, perempuan haid dengan beban repoduksinya masih ingin berpuasa. Dari aspek ini, ia hebat’’ujar beliau.

Beliau juga memiliki alasan yang memperbolehkan wanita yang sedang haid berpuasa. Pertama, dalam Al Qur’an tidak ada satu ayat pun yang melarang perempuan haid untuk puasa. Ayat yang menjelaskan tentang haid hanya menegaskan dua hal, yakni bahwa melakukan hubungan seks dengan penetrasi (jima’) hukumnya haram, dan bahwa perempuan haid berada dalam keadaan tidak suci. Keadaan tidak suci hanya menghalangi ibadah yang mensyaratkan suci, seperti shalat dan sejenisnya. Sementara puasa tidak disyaratkan suci, yang penting “mampu” melakukannya.

Kedua, perempuan yang haid lebih mirip disebut sebagai orang yang sakit (Al Qur’an menyebutnya adza). Sebagaimana penjelasan Al Qur’an bahwa orang sakit dan orang yang dalam perjalanan diberi dispensasi (rukhshah) antara menjalankan puasa atau meninggalkannya dengan mengganti di hari yang lain. Maka perempuan haid seharusnya juga mendapat “rukhshah” antara melakukan puasa dan tidak. Jika perempuan memilih melakukannya karena haidnya tidak mengganggu kesehatannya, maka boleh.

Ketiga, Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ummahatul Mukminin Sayyidah A’isyah Ra dan riwayat lainnya yang menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang shalat bagi perempuan haid, dan tidak melarang puasa.

Adapun beberapa pendapat menurut tokoh yang mengqiyaskan dan juga memperbolehkan (ijtihad): (1) Yulianti Muthmainnah, mengqiyaskan kebolehan seorang wanita haid untuk berpuasa dengan kebolehan seorang wanita haid untuk membaca Al-Quran sebagaimana yang termaktub dalam buku “Tanya Jawab Agama Jilid II”; (2) Syarat sah Shalat adalah suci dari hadas kecil dan besar, syarat thawaf adalah suci dari hadas kecil dan hadas besar dan sementara syarat puasa tidak seperti keduanya; (3) Yulianti Muthmainah meyakini bahwa menstruasi bukanlah darah kotor, melainkan darah sakit. Karena ketika wanita datang waktu menstruasi ia akan merasakan nyeri sakit dengan kadar sakit yang berbeda-beda di tiap wanita. Dan juga nash Al-Quran hanya menyebutkan 2 kategori manusia yang dikecualikan dari kewajiban puasa yakni safar dan sakit; (4) Darah haid adalah darah yang keluar selama 8 jam secara terus menerus, jika kurang atau lebih dari itu maka itu merupakan darah istihadhah, artinya wanita tetap harus beribadah sebagai mestinya;(5) Perintah meng-qadha’ puasa bagi wanita menstruasi bukan istidlal yang menjadikan seorang wanita menstruasi haram akan ibadah puasa, sebab kewajiban puasa sudah mantuq secara sharih dalam Al-Qur’an; (6) Pengecualian wanita menstruasi dari kewajiban puasa adalah bentuk rukhshah, sehingga alurnya hanya opsional saja, dapat diambil atau tidak dan; (7) Tidak ada larangan syariat secara zhahir mengenai larangan puasa bagi wanita menstruasi.

About The Author