Kemajuan teknologi saat ini sudah meluas kemana-mana, seolah menguasai dan memanjakan manusia dengan kecanggihan yang dimilikinya. Akses internet sudah menjadi barang wajib bagi setiap orang dan meningkat dari waktu ke waktu sesuai laporan dari Hootsuite dan We Are Social. Hal tersebut menggeser masyarakat menjadi audience, tidak lagi menjadi objek pasif.  Apalagi dengan situasi pandemi covid-19 yang membuat masyarakat resah, membuat internet menjadi sangat bermanfaat untuk berbagi yang dibutuhkan.

Sebagian informasi kebenaran yang berseliweran baik di internet maupun media cetak didukung dengan bukti, namun di sisi lain, banyak dari informasi tersebut disajikan dengan tergesa-gesa dan mengabaikan data. Fenomena seperti ini disebut dengan post-truth atau pasca-kebenaran, dimana daya tarik emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik, dan menyebabkan tersebarnya informasi palsu (fake news), informasi keliru (false news), dan berita bohong (hoax) yang memang sengaja dimanfaatkan untuk membangkitkan emosi publik serta untuk kepentingan individu ataupun kelompok.

Emosi masyarakat mudah memanas dan memuncak apabila berita tersebut berbau unsur Suku, Ras, Agama, dan Antar Golongan (SARA). Sebagai negara dengan tingkat keberagaman yang kompleks, unsur Agama (religiusitas) menjadi suatu hal yang sangat sensitif. Menurut situs resmi Kemenkominfo menyebutkan bahwa terjadi peningkatan penyebaran kasus hoax mengenai Agama selama pandemi covid-19 menjadi 1041.  Belum lagi berita hoax yang disebar melalui mulut ke mulut yang bisa membuat keresahan di masyarakat. Kebiasaan publik yang cukup disayangkan adalah langsung percaya pada suatu wacana di media tanpa mengecek kenyataannya. Jika banyak yang memberi jempol maka dinilai benar, jika banyak yang merespon like diklaim baik. Seperti itulah pola pikir kita saat ini.

Religiusitas dan Berita

Religiusitas adalah produk manusia maka keberadaannya dipengaruhi oleh proses dan perubahan sosial yang ada dimasyarakat.  Religiusitas adalah pengalaman keagamaan yang didalamnya memuat 4 kriteria; Pertama, merupakan tanggapan terhadap suatu yang dihayati sebagai realitas mutlak. Kedua, melibatkan pribadi utuh dan keseluruhan potensi yag dimiliki terlibat dalam kegiatan. Ketiga, adanya kedalaman tertentu. Keempat, ungkapan pengalaman dalam perbuatan. 

Perkembangan teknologi informasi dan media sosial juga berdampak pada religiusitas publik, karena agama dan teknologi selalu saling dorong, saling bergantung, dan tidak pernah melenceng terlalu jauh antara satu dengan yang lain. 

Contohnya seperti ditetapkannya Ahok sebagai penista Agama oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 9 Mei 2017 merupakan salah satu bentuk berita hoax. Dalam kasus ini, Ahok sebagai korban hoax dari wacana publik mengenai syarat pemilihan kepala daerah harus muslim. Contoh lain, aksi teroris yang menyelipkan ideologi radikal dimedia sosial, Dian Yulia Novi sebagai tersangka teroris bom panci yang siap meledak saat pergantian Paspamres di Istana Presiden 11 Desember 2016 silam. Selain itu, ada juga hoax yang disebarkan di sosial media oleh nahimunkar.com tentang terjadinya pemurtadan para muslim di Ciranjang, Cianjur Jawa Barat akibat misionaris umat Kristiani.

Kurangnya informasi dari pemerintah memaksa publik harus mencari informasi dengan jalur lain. Internet yang belum tentu kebenarannya tentu membuat masyarakat semakin resah. Mengakses sumber-sumber terpercaya maupun mengecek langsung kebenarannya menjadi langkah preventif sebagai respon dari maraknya info hoax saat ini. Seharusnya masyarakat lebih bijak dalam menggunakan sosial media dan lebih selektif dalam hal menanggapi sesuatu, sehingga tidak mudah terpercaya dengan berita-berita yang belum pasti sanad kebenarannya dan tidak terjebak dalam lingkaran post-truth

* Penulis adalah Mahasiswi Semester 6, Prodi Hukum Ekonomi Syariah, IAIN Kediri

About The Author

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here