Sejak dulu, Indonesia dikenal sebagai negara maritim, negara yang memiliki kurang lebih 17.499 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Marauke. Tentunya dari keluasan wilayah Indonesia tersebut terdapat berbagai perbedaan, baik berhubungan dengan agama, bahasa, maupun budaya atau tradisi, tak terkecuali di pulau Madura. Pulau ini dikenal atau biasa disebut dengan pulau garam, karena merupakan pamasok garam terbesar di tanah air. Terdapat empat kabupaten di pulau ini, yaitu kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Dari keberagaman tradisi ataupun ritual di berbagai daerah di pulau Madura, setiap daerah juga memiliki tradisi khusus yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Salah satunya seperti tradisi sere-penang dalam seserahan ritual pertunangan dan pernikahan di desa Larangan Tokol, kecamatan Tlanakan, kabupaten Pamekasan.

Tradisi membawa sere-penang dalam seserahan ritual pertunangan dan pernikahan merupakan salah satu tradisi atau adat istiadat turun-temurun yang dilakukan di pulau Madura. Tradisi ini dilakukan oleh pihak laki-laki sebagai seserahan kepada pihak perempuan, yaitu dengan membawa beberapa lembar daun sirih dan buah pinang. Penulis tidak menemukan data yang valid mengenai asal mula atau sejarah trandisi ini, hanya saja tradisi ini biasa dilakukan sejak nenek moyang terdahulu dan berlangsung turun-temurun hingga sekarang.

Tradisi sere-penang memiliki filosofi tersendiri. Istilah “sere” berasal dari kata “sirih” yang menyimbolkan sifat rendah hati dan memuliakan orang lain, sebab pohon sirih tumbuh dengan menjalar dan memerlukan sandaran tumbuhan lain tanpa merusaknya. Sedangkan istilah “penang” berasal dari kata “pinang”, yang menyimbolkan keturunan yang baik, sebab pohon pinang yang menjulang ke atas, diharapkan mendapatkan keturunan yang baik dan sukses. 

Di daerah Sumenep dan sekitarnya, tradisi sere-penang biasa dibawa pada satu hari sebelum acara akad nikah berlangsung oleh pihak keluarga laki-laki, atau dikenal dengan istilah rashol. Pada ritual rashol, terdapat sedikit perbedaan dengan ritual ater tolo, yaitu pada kurun waktu pelaksanaannya. Pada ritual rashol pihak keluarga laki-laki membawa beberapa hidangan, seperti ketan (palottan), sere-penang, pisang, dan seperangkat pakaian wanita. Biasanya, ritual ini hanya diikuti tiga orang saja (benghaseppo). Ketan (palottan) memliki makna yang sama dengan ritual teket betton, sedangkan sere-penang memiliki simbol sebagai bentuk perhormatan saja.

Tradisi membawa sere-penang sebagai seserahan dalam ritual pertunangan (abhekalan) di desa Larangan Tokol, kecamatan Tlanakan, kabupaten Pamekasan, dilakukan ketika hari pertunangan berlangsung, dengan membawa seperangkat pakaian dan make up, cincin emas, beberapa hidangan, seperti kue tar, palottan (ketan) dan beberapa hidangan lainnya, di sesuaikan dengan kemampuan pihak laki-laki. Membawa sere-penang pada ritual ini merupakan simbol waktu lama menuju jenjang pernikahan, yang ditentukan dengan warna pinang yang dibawa. Apabila pinang berwarna kuning, memiliki makna bahwa “waktu pernikahan akan segera dilaksanakan”, warna pinang orange memiliki makna “waktu pernikahannya tidak lama dan tidak cepat”, dan apabila warna pinang hijau memiliki makna “waktu pernikahannya masih lama”.

Sere-penang diletakkan pada talam atau mangkok kuningan (cemong). Biasanya posisi sere-penang diletakkan di tengah talam atau cemong dan pisang yang melingkari sisi-sisinya. Jumlah sirih dan pinang yang dibawa tidak ditentukan, biasanya 7 lembar atau satu ikat (sa tekkem atau sa pungkel) dan tiga buah pinang, atau terserah keluarga pihak laki-laki. Buah pisang yang melingkari sere-penang, menggunakan buah pisang susu yang memiliki makna agar kesusuh (sukasusu atau rukapuruh), atau menggunakan pisang raja. Buah pisang yang melingkar dibagi menjadi dua bagian, satu bagian diberikan kepada pihak besan atau keluarga perempuan, dan satu bagian diberikan kepada keluarga pihak laki-laki. Hal ini dilakukan agar kedua keluarga saling rukun dan akur, atau seluruh buah pisang diberikan kepada keluarga pihak perempuan.

Tidak semua orang dapat membawa sere-penang, namun hanya orang-orang tertentu saja. Yang boleh seperti nenek kandung dari mempelai laki-laki, jika berhalangan dapat diwakilkan oleh saudari kandung nenek, atau keluarga nenek yang perempuan (bengahseppo). Karena hal  ini berhubungan dengan kehormatan keluarga, jadi tidak sembarang orang dapat membawanya.

Tradisi sere-penang tidak hanya berlangsung pada ritual pertunangan saja, ritual pernikahan di desa Larangan Tokol, kecamatan Tlanakan, kabupaten Pamekasan juga menggunakan tradisi ini. Seperti lamaran (pinangan), yaitu pihak laki-laki meminta seorang perempuan untuk dijadikan istri. Menurut Aminah (53 tahun) warga desa Larangan Tokol, kecamatan Tlanakan, kabupaten Pamekasan, tradisi sere-penang pada ritual ini memiliki makna yang sama. Seperti dalam ritual pertunangan, ketan yang sudah dimasak memiliki tekstur yang lengket, sehingga ketan bermakna agar kedua pasangan saling lengket (selalu bersama), sedangkan kocor (cucur) hanya pelengkap saja.

Dari berbagai paparan di atas, penulis dapat menganalisis bahwa pulau Madura dikenal dengan ajaran Islam yang sangat kental, sehingga budaya yang dimiliki juga mengandung nilai-nilai Islam. Salah satu budaya yang memiliki nilai ajaran Islam yaitu tradisi sere-penang pada ritual pertunangan dan pernikahan di desa Larangan Tokol, kecamatan Tlanakan, kabupaten Pamekasan. 

Berbagai filosofi atau makna sere-penang dan beberapa hidangan yang dibawa serta penyajiannya, tidak hanya sebagai budaya, namun terdapat nilai-nilai Islam yang ditanamkan masyarakat setempat pada ritual ini, Masyarakat meyakini makna tersebut sebagai doa (harapan) kepada Allah  bagi kedua pasangan dan keluarganya.

* Penulis adalah Mahasiswi Semester IV, Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, IAIN Madura 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here