Ada hal menarik yang terjadi di tengah krisis wabah yang melanda dunia saat ini, yaitu meningkatnya kehidupan di dunia maya. Aktivitas ini sejatinya bukan barang baru, namun semakin meningkat tajam selama anjuran work from home diterapkan. Dunia maya bukan hanya sekedar mengikuti trend pola hidup masyarakat kita, ia sudah merambat ke dalam sendi-sendi pikiran dan perasaan setiap orang dan sudah menjadi rutinitas tetap. Hal ini tak perlu diperdebatkan, fenomena sosial sudah mengungkapkan segalanya. Tak kenal usia, baik anak, remaja, dewasa, maupun lansia turut menjadikan dunia maya sebagai modal sosial dalam menghadapi paceklik kehidupan, dan semakin meningkat selama krisis pandemi.

Sebelum dunia memprediksi wabah ini, aktivitas dunia maya kita memang sudah cukup tinggi. Laporan dari Hootsuite dan We Are Social pada tahun 2019 lalu mencatat bahwa pengguna internet aktif di Indonesia mencapai 150 juta dari total penduduk sebanyak 268,2 juta. Jika dipersentasekan, sekitar 56% atau lebih dari separuh penduduk Indonesia merupakan pengguna internet, dan mayoritas mengaksesnya melalui perangkat smartphone. Ini merupakan jumlah yang cukup besar, mengingat Indonesia sebagai negara konsumen yang selalu bangga dengan produk luaran barat.

Rutinitas diatas semakin meningkat di kala pandemi datang. Laporan dari kemenkominfo (24/4/2020) menyatakan bahwa pengguna yang aktif di dunia maya (khususnya pengguna internet) semakin meluas selama masa pandemi. Dari awalnya yang fokus di ranah kantor, kampus, sekolah, dan tempat-tempat publik, kini semakin meluas ke ranah lain yang lebih spesifik seperti perumahan, tempat tinggal, dan pemukiman. Tak perlu heran, karena kini kita hidup di era-digital, era dimana dunia bisa kita temukan di balik layar berponi smartphone.

Tak seperti dulu (ketika masyarakat belum mengenal teknologi), saat ini kita dihadapkan pada suatu kondisi serba mudah. Kita pun tak terasa telah nunduk berjam-jam di depan layar smartphone, ia memberikan segala kemudahan dan membantu dalam melihat isi dunia tanpa ribet. Smartphone selalu menjanjikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat kita yang cenderung memiliki budaya konsumerisme tinggi. Jika kita analogikan dengan guyonan, kebutuhan akan dunia maya berada tepat di puncak piramid teori “hierarchy needs”-nya Abraham Maslow sebagai representatif dari segala kebutuhan puncak manusia. Anjuran untuk tetap di rumah selama pandemi semakin mempertajam jurang untuk kita larut ke dalam dunia maya, sehingga wajar bila selama pandemi ini akses ke internet semakin ramai. 

Smartphone juga menjadi solusi dari ancaman mandeknya rutinitas kegiatan belajar-mengajar di sekolah maupun kampus. Ia juga memberikan kemudahan dalam melakukan koordinasi antar sesama karyawan maupun dengan manajer sebuah kantor. Kita juga semakin dimanjakan dengan anggaran khusus paket data dari lembaga-lembaga Pendidikan untuk selalu “stay connected” mengikuti serangkaian perkuliahan secara daring. Dari berbagai upaya tersebut, jelas bahwa kita akan semakin menunduk lebih lama dari biasanya untuk sekedar menatap layar ponsel kita masing-masing.

Tidak hanya itu, banyak dari pikiran, perasaan dan perilaku kita dibentuk dari dunia maya. Sehingga, tak jarang dari kita yang melakukan modeling (istilah yang digunakan Albert Bandura sebagai “peniruan”) dari apa yang telah kita lihat dibalik layar smartphone yang selalu diidentikkan dengan dunia fiksi. Bagi penggemar sinetron atau film-film bernuansa drama mungkin tak pernah terpikirkan bahwa apa yang mereka saksikan merupakan fiktif belaka, sehingga mereka turut larut secara emosional mengikuti kepalsuan realitas dari apa yang mereka saksikan.

Fenomena diatas bisa diartikan sebagai dunia hiperealitas. Istilah ini merujuk pada ketidakmampuan kita dalam memahami antara realitas dengan simulasi realitas. Kondisi ini juga cenderung membuat kita menyamakan antara yang realitas dan yang bukan, sehingga kita tidak bisa membedakan tentang keaslian, kebohongan, fakta, kepalsuan, dan kebenaran. Jean Baudrillard menyebut kondisi ini dengan “real without origin or reality” (nyata tanpa kenyataan), sedangkan Umberto Eco menyebutnya dengan “the authentic fake” (kepalsuan yang otentik). Hiperealitas selalu menawarkan kenyamanan bagi setiap orang, tak heran jika Baudrillard mengatakan bahwa hiperealitas hampir selalu dianggap nyata oleh mereka daripada realitas itu sendiri. Ini yang kemudian menjadi tanda matinya sebuah realitas, yang teralienasi dari hiperealitas itu sendiri.

Pergeseran realitas oleh masyarakat seperti yang dikhawatirkan oleh Baudrillard tampaknya sudah terjadi. Kenyamanan yang diperoleh di dunia maya lantas membuat manusia tidak peduli akan realitas asli yang ada di sekitarnya. Alih-alih untuk menjangkau orang secara luas, dunia maya justru melupakan orang-orang terdekat, sehingga aktifitas semacam phubbing tak bisa terelakkan dari kondisi masyarakat kita saat ini. Di balik kenyamanan tersebut, konsekuensi lain yang akan kita peroleh adalah kecenderungan kita meninggalkan aktifitas harian dalam kehidupan nyata untuk sekedar berselancar di dunia fantasi, ikatan primordialisme yang sudah tertanam sejak dini pun juga akan tenggelam.

Semakin meningkatnya pengguna internet di masa pandemi ini menegaskan bahwa masyarakat kita semakin terjebak dalam kondisi hiperealitas, lebih suka yang bersifat fiktif daripada yang nyata. Kondisi ini juga berpotensi meningkatkan diseminasi informasi hoax yang juga semakin tinggi menurut kemenkominfo. Mirisnya, alih-alih semakin mencari tahu kredibilitas kebenaran informasi tersebut, mereka justru semakin mencari informasi lain untuk melakukan justifikasi informasi hoax tersebut dari lingkungan dengan satu keyakinan. Dalam psikologi sosial, ini biasa disebut dengan bias konfirmasi.

Tak bisa dipungkiri, kita terlalu terburu-buru dalam membenarkan suatu informasi tanpa melihat secara langsung realitas yang sebenarnya. Kita mudah menyerap segala sesuatu yang ada di dunia maya meskipun hal itu berseberangan dengan kenyataan yang ada. Kita muak dengan realitas yang ada sehingga memutuskan untuk menjelajahi dunia tanpa realitas (dunia maya). Kita menjaga prestise kita dengan terjun ke dunia maya yang cenderung bersifat eksoterik, daripada realitas asli yang cenderung terbuka. Kurang lebih demikian fenomena yang terjadi saat ini.

Seyogyanya saat ini kita perlu melakukan kontemplasi bersama atas apa yang kita alami saat ini, khususnya dalam merespon sebuah realitas yang benar-benar konkrit. Berselancar di dunia maya bukan sebuah persoalan, mengingat manfaatnya cukup membuat kita semakin nyaman. Namun, menjadi addict tentu perlu kita hindari. Jika tidak, kita akan dihadapkan dengan masyarakat oportunis dan akan selalu disuguhkan dengan dunia hiperealitas yang akan tetap abadi.

* Penulis adalah Mahasiswa Magister Psikologi, Universitas Airlangga.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here