Happines cheerful perforated paper smiley face

Sembari ku pandangi rokok dijepitan dua jemari tengah dan telunjukku disampaikan melalui bait demi bait irama hati menemukan setitik cahaya dalam kesendirian. Asap rokok yang ku hirup bukan sekedar asap, melainkan aksara Tuhan melukiskan rasa syukur dan sebuah pertanyaan antara nikmat ataukah istidrat? Ketika inni fi dlanni ‘abdi melintasi hadis qudsi dan melewati kenikmatan mata, kemudian bermukim dalam ingatan, di situlah keyakinanku menyuarakan kenikmatan dalam kebenaran sekalipun syari’at mengemukakan kata tidak dalam kenyataan. Pembenarankah Tuhan? Aku mencintaimu dengan manja, karena yang ku tau Kau adalah dzat yang kasih di atas kasih dan sayang di atas sayang. Salahkah Tuhan?

Satu rokok tinggal putungnya. Lupa sudah akan aktivitas sebelumnya, menyatu hanya menjadi bisikan kerohanian. Sungguh! Penyatuan merupakan hakikat dalam sebuah pencarian. Hakikat fokus menjadi pencinta di atas kecintaan dalam dunia dan akhirat. Syurga dan neraka hanya perbincangan yang indah dan menakutkan, berbeda dengan cinta yang Agung. Maka tak salah jika pengakuan seorang pencinta sudah menafsirkan dirinya sebagai cinta itu sendiri dalam khayal kata si pencemburu dan penikmat kehidupan semata.

Benar bukan! Bahwa engkau akan merasakan ketiadaan dalam keadaan yang kau fokuskan. Aku pada saat menghantarkan kalimat ini dalam keadaan menunduk sebentar dan tersenyum kemudian. Menunduk ku rasakan kejauhan dari sebuah kenyataan dan tersenyum karena saking leluconnya permainan dunia. Lelucon bukan peremehan. Sebab Nasruddin Hoja menikmati itu sebagai ilmu dari kebesaran Tuhan. Illa la’ibu wa lahwu, begitulah kiranya sebuah pernyataan yang berTuhan Esa dari yang Esa.

Perbincangan ini tidak akan pernah selesai sampai kapanpun selagi angan melintas di sebuah gudang pemikiran, karena alasannya adalah keluasan dalam kehidupan melalui kalimat afala ta’qilun? Simpel, tapi menyelam dalam luasnya lautan saat kontekstualnya ditasbihkan melalui perenungan. Kecuali bila Tuhan meniadakan jasad dalam kehidupan. Maka lepas sudah dari sebuah harapan. Tuhan! Ku panggil Kau diakhir penutupan bait ini. Hanya Kau yang maha tau dari apa yang tidak ku ketahui. Inni a’lamu mala ta’lamun.

* Penulis adalah Mahasiswa IAIN Madura sekaligus pegiat kajian Sastra

About The Author

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here