Ketika Allah mengasihi dan mencintai hamba-Nya, maka Dia juga menyayangi hamba-Nya. Sama halnya dengan cinta, rasa sayang manusia yang salah akan membuat manusia terjebak di situasi prahara. Seperti kisah Rahwana yang terlalu sayang kepada Sinta dan berakhir menderita, kisah dari Kerajaan Mataram yakni Badung Bondowoso yang sudah buta akan rasa sayang kepada Roro Jonggrang atau kisah Cleoparta kepada Mark Anthony.

Namun, dari rasa sayang bisa melahirkan peradaban, seperti rasa sayang Shah Janan kepada Mumtaz Mahal, rasa sayang Hadrian kepada Antinous, rasa sayang Nabi Muhammad kepada Siti Aisyah, atau kisah cerita fiksi dari William Shakespeare tentag Romeo dan Juliet yang berhasil membuat para pembaca dan penonton terharu.

Begitupun kisah sayang Jean-Paul Sartre kepada Simone de Beauvoir, menurut Sartre sendiri cinta itu konflik dan pertikaian. Sartre kerap kali menganggap dirinya itu hanyalah subjek dan yang selain dirinya adalah objek, rasa sayang kepada seseorang menurut Sartre itu nausea atau memuakan. Sartre dengan pemikiran eksistensialisme menganggap bahwa cinta dan sayang kepada seseorang adalah perampasan kemerdekaan individu, padahal rasa sayang dan cinta kepada seseorang lahir tanpa alat bantu, rasa sayang kepada seseorang adalah fitrah.

Dan benar menurut Jalaluddin Rumi bahwa cinta adalah sayap yang sanggup menerbangkan manusia yang membawa beban berat ke angkasa raya, dan dari kedalaman mengangkatnya ke ketinggian, dari bumi ke bintang Tsuryya. Bila cinta ini berjalan di atas gunung yang tegar, maka gunung pun bergoyang-goyang dengan riang.

Dengan cinta dan rasa sayang manusia akan mendapatkan ketenangan, kesejukan hati, dan tidak merasa kesepian. Konflik dapat terjadi karena tidak terdapat kesejukan di dalam hati sehingga hatinya selalu merasa terancam dan gelisah. Jika kita kembali lagi kepada Jean-Paul Sartre yang mencintai dan menyayangi Simone de Beauvoir, Sartre tidak merasa terancam hidupnya, karena ketika Sarte membuat karya selalu diakhiri dengan meminta Beauvoir untuk membacanya dan memberikan saran agar Sartre tidak salah, ketika ada seorang yang membuatnya nampak tidak merasakan kesepian, maka tidak akan ada kegelisahan lagi didalam hidup Sartre saat membuat karya tulisannya.

Walaupun kisah cinta mereka berdua tidak dibalut pernikahan atau secara legal, namun bentuk rasa sayang Beauvoir terhadap Sartre sangatlah besar. Terbukti saat Sartre meninggalkan Beauvoir untuk selama-lamanya, Beauvoir membuat sebuah karya yang berjudul Farewell to Sartre bentuk dari rasa sayang Beauvior kepada Sartre.

Dan rasa sayang Allah kepada hamba-Nya adalah rasa sayang paling besar yang pernah ada, seperti dalam firmannya “Rahmat (kasih sayang)-Ku meliputi segala sesuatu”. Maka, tidak ada yang bisa menandingi rasa sayang siapapun selain rasa sayangnya Allah kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, Allah tidak menanggalkan bentuk sayang-Nya kepada hamba-Nya dalam bentuk momen tertentu, berbeda dengan sayangnya manusia kepada lawan jenisnya yang setiap tahun terdapat momen dimana bentuk rasa sayang itu baru bisa dikatakan seperti pada hari valentine atau saat merayakan anniversary.

Saking sayangnya Allah kepda hamba-Nya, Dia tidak perlu momen tertentu untuk membuktikan rasa sayang-Nya kepada ciptaan-Nya, karena setiap detik Ia selalu memberikan rasa sayang-Nya berupa kehidupan dan rasa tulus serta ikhlas yang diberikan Allah tanpa peduli imbalannya. Ketika Allah sudah memberikan segalanya termasuk kehidupan, Allah tidak pernah sedikitpun meminta imbalannya.

About The Author