Ketika agama Islam belum lahir, bangsa arab tertimpa sebuah zaman kebodohan atau zaman jahiliyah yang ditandai dengan maraknya kesyirik-an, perang antar suku dan penindasan terhadap kaum perempuan dengan cara-cara yang jauh dari perikemanusiaan, seperti dikuburnya hidup-hidup bagi bayi perempuan dan maraknya budak perempuan yang bermotif pada kekerasan seksual. Bukan terjadi pada bangsa arab saja, fenomena yang sama juga terjadi terhadap kaum perempuan di berbagai wilayah pada masa itu. Kaum perempuan harus menerima gelar kehinaan dalam dirinya dan sangat dipandang remeh sekali keberadaannya. Di Yunani, perempuan menjadi hak milik walinya yang secara bebas diperlakukan apa saja, namun setelah menikah baru menjadi milik suaminya. Mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk mengatur kehidupannya sendiri, baik sebelum maupun setelah menikah.

Ketimpangan dan kasus-kasus serupa kerap kali terjadi pada kehidupan perempuan, mulai dari penindasan, ketidak adilan sosial serta hak-hak mereka yang sering dibatasi akibat arogansi etika beberapa kalangan terhadap mereka. Akibatnya, kaum perempuan memgalami rendahnya kualitas sumber daya sehingga mereka tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki. Maka dari itu, mereka harus diberi hak yang sama dengan laki-laki terutama dalam pendidikan dan pengetahuan.

Pada beberapa realita yang kita jumpai pada masyarakat tertentu, ada adat kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan perempuan dalam mengenyam pendidikan formal, bahkan ada pula celotehan yang menyatakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya pasti ke dapur juga, dan adanya intervensi pada perempuan untuk segera menikah karena dikhawatirkan tidak laku. Paradigma seperti inilah yang menjadikan perempuan terpuruk dan selalu dianggap rendah oleh kaum laki-laki. Dalam deklarasi hak-hak asasi manusia, pasal 26 dinyatakan bahwa “setiap orang berhak mendapatkan pengajaran dan pendidikan” artinya tidak memandang status apapun dan setiap orang berhak diberikan kebebasan belajar tanpa memandang status, pangkat, gender, dan sebagainya.

Dari panjangnya sejarah peradaban manusia, disintegritas status antara laki-laki dan perempuan tidak pernah selesai. Perempuan sering mengalami ketidakadilan sosial yang disebabkan oleh sempitnya intelektual dan egoisnya emosional laki-laki sehingga muncul paradigma yang sangat tidak diinginkan oleh perempuan, yaitu asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dari segala sisi, yang pantas ditindas keberedaannya, yang sempit hak asasinya, yang tidak bisa diandalkan dalam rotasi kehidupan manusia.

Pasca kelahiran agama Islam, solusi untuk merubah peradaban manusia kala itu mulai muncul, mulai mengangkat derajat perempuan secara perlahan dengan dimulainya penghapusan budak perempuan, memberikan hak-hak yang sama sesuai kodrat perempuan, ini semua dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah utusan Allah yang telah membawa cahaya kemenangan bagi perempuan. Beliau selalu melakukan pengayoman dan kasih sayang meski hal ini tidak semudah membalikkan tangan untuk diterima sebagai doktrin yang sakral bagi kehidupan mayarakat pada waktu itu, butuh proses-proses perlahan utuk memberikan pemahaman tentang hal ini supaya kaum perempuan tidak lagi mendapat diskriminasi secara tidak manusiawi.

Seperti yang sudah disebutkan dalam hadits dari Aisyah r.a: Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki”. (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Al-Darimi, dan Majah). Hadits ini menunjukkan tingkat persamaan perempuan dengan laiki-laki, serta kedudukan tinggi perempuan dalam pandangan Islam. Tentang hadits ini, Imam Al-Khithabi berkata, “Dalam hadits ini terdapat pengertian fiqih, yaitu penegasan adanya qiyas dan hukum kesetaraan.”

Dalam agama Islam, perempuan juga dituntut untuk menjadi ulama’, meski pandangan sebagian orang selama ini selalu berpatokan bahwa ulama’ itu harus laki-laki. Padahal, Siti Aisyah yang merupakan istri Rasulullah adalah seorang perempuan yang sangat terpelajar, dan selama pemerintahan khalifah yang empat, saran-saran beliau dalam segala persoalan baik dalam persoalan politik, sosial, hukum dan lainnya selalu diminta oleh penguasa pada masa itu.

Seperti apa yang dikatakan oleh salah satu murid beliau yaitu ‘Urwa ibn Al-Zubair yaitu “Saya tidak pernah melihat seorang ulama’ yang lebih agung dibanding Aisyah dalam pengetahuannya mengenai Al-quran, kewajiban-kewajiban agama, hal-hal yang sah dan tidak sah menurut hukum, puisi dan kesusasteraan, sejarah dan silsilah arab”. ‘Urwa sendiri adalah seorang ulama besar dalam bidang sastra. Suatu hari dia pernah memuji gurunya bahwa tidak seorang pun yang mampu menyamai Aisyah yang sangat banyak sekali meriwayatkan hadist-hadist nabi. Sehingga cukup tepat kemudian bahwa salah satu dari ummul mukminin ini diberi gelar pelopor ulama’ perempuan.

Pada abad modern ini, segala upaya harus terus dilakukan untuk mengangkat derajat kaum perempuan dengan memberikan hak-hak secara adil. Memunculkan konsep progresif mengenai intelektualitas perempuan dengan harapan mereka mampu mengembangkan potensinya dengan leluasa dan dapat menjadi ulama’ handal yang dijadikan rujukan keagamaan agar paradigma jahiliyah tidak terulang lagi. Namun, masih ada saja sebagian pola berfikir yang menentang hal ini, tentang ulama’ perempuan. Wallahu A’lam bis Showab