Sejak pertama kali Islam masuk ke wilayah Nusantara, ia hadir dengan keramahan ajarannya, serta tidak ada diskriminasi dan tidak mengenal sistem kasta sehingga mudah diterima di kalangan masyarakat. Islam menyebar ke seluruh penjuru Nusantara dibantu oleh peran walisongo, mereka mampu mengakulturasi nilai-nilai keagamaan dengan budaya-budaya yang melekat di masyarakat. Sehingga merupakan hal yang wajar apabila terdapat banyak keberagaman budaya yang masih lestari (Kahmad, 2002). Selain variasi budaya dan tradisi, keberagaman agama turut mengisi keanekaragaman di Indonesia. Selain merupakan keniscayaan, pluralitas agama bukan tidak terlepas dari berbagai perbincangan. 

Setiap agama yang muncul memiliki kecenderungan, diunggulkan oleh pemeluknya sehingga kemudian menjadi embrio lahirnya sikap eksklusivisme, hingga fanatisme. Selain persoalan itu, perkembangan peradaban modern pun juga memberikan pengaruh terhadap kebudayaan dan tradisi keagamaan, serta munculnya modernisme sebagai respon terhadap perkembangan di Barat. Akibatnya, muncul golongan-golongan yang menghendaki pembaharuan, menuntut reformasi, mengadopsi teori-teori barat, yang selanjutnya mengarah pada paham kapitalis, hingga liberal. Mirisnya, beberapa perbedaan tersebut sulit untuk direkonsiliasikan sehingga menuai konflik dan perpecahan.

Kompleksitas persoalan di atas sudah menjadi fenomena umum yang terjadi di masyarakat Indonesia. Bahkan, gerakan-gerakan Organisasi Masyarakat (Ormas) yang cenderung radikal, terutama organisasi-organisasi yang mengusung transnasionalis sedang marak dan semakin mengkhawatirkan. Hal ini kemudian menjadikan nilai-nilai keramahan dalam tradisi keagamaan khas Nusantara, berganti wajah dengan persoalan-persoalan yang memicu konflik, seperti diskursus aliran, intoleransi terhadap agama lain, dan berbagai persoalan keberagaman lainnya. 

Embrio Moderasi Islam
Moderasi Islam, atau dikenal dengan Islam Wasathiyah, diartikan sebagai jalan tengah (the middle path/the middle way). Selain itu, menurut Din Syamsuddin, konsep wasathiyah bertumpu pada ajaran ketauhidan serta menjaga keseimbangan dengan pemahaman tentang adanya Pencipta dan ciptaan, dan lain sebagainya. Ia menyimpulkan bahwa dasar dan filosofi dari Islam Wasathiyah,  adalah nilai-nilai Islam yang menolak segala bentuk ekstrimitas dan penyimpangan pemikiran dalam berbagai aspek kehidupan.

Islam moderat (Islam Wasathiyah) sendiri memiliki ciri, sebagaimana dikutip dari hasil Munas (musyawarah nasional) IX MUI. Yakni mencakup:Tawasuth (mengambil jalan tengah). Pemahamannya, bahwa Islam moderat berupaya mengambil jalan tengan terhadap bentuk pengalama yang baik-baik dan tidak berlebihan. Tawazun (berkeseimbangan), bahwa dalam segala aspek kehidupan, muslim moderat mampu memahami dan mengamalkannya secara seimbang, baik urusan dunia maupun akhirat, sehingga terhindar dari segala bentuk penyimpangan dan tindakan yang melewati batas. I’tidal (lurus dan tegas), lurus dan tegas yang dimaksud adalah menjalankan hak dan kewajiban secara proporsional dan dapat menempatkan dirinya sesuai situasi dan kondisi. Tasamuh (toleransi), menghargai setiap perbedaan serta menghormatinya. Baik dalam tradisi keagamaan maupun non-keagamaan. Musawah (egaliter), tidak ada diskriminasi terhadap individu atau golongan tertentu. Syura (musyawarah), mengutamakan prinsip musyawarah saat hendak mengambik keputusan terutama dalam persoalan yang menyangkut kemaslahatan umat. Islah (reformasi), berorientasi kedepan serta berupaya mengakomodasi segala bentuk kebaruan dengan tetap berpijak pada ajaran Islam dan kemaslahatan umat. Auwaliyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu mengedepankan persoalan yang lebih penting. Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), selalu terbuka terhadap perubahan-perubahan baru dan mengasah kreativitas untuk memperoleh hal baru selama tetap sesuai dengan prinsip keIslaman. Tahadhdhur (berkeadaban), yakni mengedepankan adab dan kesopana, serta menjunjung tinggi akhlak yang baik.

Dari ciri-ciri di atas, jelas bahwa Islam sangat mengakomodasi nilai-nilai kemoderatan. Selanjutnya, nilai-nilai tersebut dikemas dalam tiga gagasan khas Nusantara yang diusung oleh Abdurrahmman Wahid, beserta upaya yang dapat dilakukan dalam proses aktualisasi agar termanifestasi dengan baik sesuai harapan demi kemaslahatan umat. Rinciannya sebagai berikut:

Universalisme Islam
Menurut Gusdur, universalisme Islam adalah upaya menampakkan wajah Islam dalam manifestasi-manifestasi ajarannya yang meliputi fikih, akhlak, tauhid, akidah, dan lain sebagainya. Ia berusaha menampilkan Islam dalam memposisikan manusia, perlindungan Islam terhadap penganutnya, serta hak dan kewajibannya (Wijaya, 2015). Hal tersebut memiliki keterkaitan dengan kemaslahatan manusia dan perlindungan terhadapnya yang terangkum dalam maqashid al-syariah, yang meliputi; menjaga agama (hifdz ad-din), menjaga jiwa (hifdz an-nafs), menjaga akal (hifdz al-‘aql), menjaga harta (hifdz al-mal), dan menjaga keturunan (hifdz al-nasl).

Sebagai teori, universalisme Islam bersama maqashid syariah di atas dapat termanifestasi dalam upaya menanamkan jiwa keislaman dan pematangan pemikiran keislaman, serta menjadi konsep dalam menerapkan 10 ciri Islam yang moderat dalam pembuatan kebijakan ataupun dalam ranah hukum.  Apabila dasar pemahaman dan pemikiran sudah tertanam dan mengakar di jiwa muslim, secara otomatis jiwa kemoderatannya dan jiwa-jiwa toleransi akan muncul sehingga dapat mencegah munculnya persoalan-persoalan seperti intoleransi, persekusi, dan semacamnya. 

Kosmopolitanisme Islam
Pada tahapan ini, Gus Dur hendak menawarkan prinsip keterbukaan Islam terhadap peradaban baru yang muncul (Wijaya, 2015).  Islam menawarkan untuk saling duduk bersama, dan memberikan kebebasan berpikir. Sehngga gagasan ini berwatak dialogis. Menurut Sudarto, dalam bukunya ia berpendapat bahwa sesungguhnya perlu untuk memahami agama dan menempatkannya sebagai sarana, bukan tujuan. Karena menurutnya, agama tidak sekadar rentetan dogma yang mengisolasi kebebasan berpikir. Namun, justru mengantarkan pada dorongan bertindak sesuai keyakinan yang mendalam (Sudarto, 2014).

Tataran prinsip diatas sesuai dengan ciri kemoderatan Islam, utamanya tathawwur wa Ibtikar. Problematika yang sering muncul dalam kaitannya dengan keberagaman tentu banyak, terutama dalam aspek intoleransi terhadap perbedaan agama. Poin permasalahannya adalah timbulnya sikap tertutup dalam upaya memahami dan terbuka terhadap perbedaan yang ada. Reformis yang berupaya menampilkan wajah kebaruan, tidak boleh terlepas dari konsep universal serta menjaga keseimbangan antara sikap bayani (tekstual) atau tradisionalis dengan paham yang mengutamakan rasio (kontekstual) yang mengabaikan makna teks sama sekali. Maka dari itu, ciri Islam moderat dapat dikemas dalam tahap kosmopolitanisme Islam. 

Pribumisasi Islam
Gus Dur menilai bahwa Islam sebagai ajaran normatif dari Tuhan, harus mampu mengakomodasi kebudayaan tanpa terlepas dengan identitasnya (Wijaya, 2015). Pribumisasi Islam telah sampai pada tataran praksis dari 2 gagasan sebelumnya, serta merupakan aktualisasi nyata dalam upaya menanamkan jiwa nasionalis dan mempraktekan Islam sesuai kebudayaan yang sudah menjadi identitas di masyarakat, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sehingga tradisi keagamaan khas Nusantara tetap lestari tanpa berusaha mengadopsi kebudayaan Arab sebagaimana yang telah diterapkan walisongo dalam upaya menyebarkan Islam di bumi Nusantara pada periode awal. Pada tahapan pribumisasi Islam, dengan dengan moderasi Islam yang sudah tertanam, dapat termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Contoh pengaktualisasiannya seperti melalui syiar-syiar  agama, pergerakan-pergerakan Islam yang moderat, menanamkan persaudaraan melalui lembaga pendidikan mengenai pentinganya serta keterikatan ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniya dengan wajah Islam yang damai dan  penuh toleransi.

* Penulis adalah Mahasiswi IAIN Madura, Aktivis Perempuan, Pegiat Kajian Literasi dan Penggerak Forum Kajian Simposium 

Sumber:

Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

beritasatu.com/nasional/427768-waspadai-gerakan-keagamaan-transnasional.html   (diakses 23 November 2018, 19. 28 WIB)

Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah, terj. Khikmawati. Jakarta: Amzah, 2013.

Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002.

Majelis Ulama Indonesia, “Islam Wasathiyah untuk Indonesia dan Dunia yang Berkeadilan dan berkeadaban”, Taujihat Surabaya pada Munas IX Surabaya, www.mui.or.id (diakses 19 November 2018, 10.30 WIB.)

Sudarto. Wacana Islam Progresif: Reinterpretasi Teks, Membebaskan yang Tertindas. Yogyakarta: IRCiSoD, 2014. 

Syamsuddin, Din. ”Islam Wasathiyah: Solusi Jalan Tengah”. dalam Mimbar Ulama MUI, diakses dari www.mui.or.id  (diakses 23 November 2018, 20.27 WIB

Wijaya, Aksin. Menusantarakan Islam: Menelusuri Jejeak Pergumulan Islam yang Tak Kunjung Usai di Nusantara. Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2015.

About The Author

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here