Berbeda dengan positivisme yang dibangun dengan narasi-narasi verifikatif August Comte, positivisme logis tidak persis sama dengannya. Meski demikian, tidak sedikit dari khalayak yang meyakini bahwa positivisme logis merupakan kelanjutan dari positivisme dan seringkali disebut dengan neo-positivisme. Secara historis, aliran filsafat ini sejatinya berbeda dengan positivisme yang telah disinggung diatas. Positivisme logis berkembang sebagai reaksi atau penolakannya atas idealisme dan metafisika. Positivisme logis bukan sebagai doktrin, namun sebagai gerakan yang didominasi oleh kalangan empiris. Jika positivisme diawali oleh pemikiran serta gagasan-gagasan seorang August Comte, maka positivisme logis diawali oleh George Edward Moore di Inggris. Namun dalam proses perjalanan dan perkembangannya, positivisme logis pada dasarnya merupakan puncak dari perkembangan positivisme.

Positivisme logis adalah pendekatan filsafat ilmu yang dikembangkan pada 1920-an dan 1930-an di Wina dan Berlin serta pada tahun 1940-an dan 1950-an di Amerika, dengan tujuan untuk membersihkan filsafat dari metafisik idealisme dengan mengklarifikasi bahasa filosofis. Dalam istilah keseharian, positivisme logis dikenal juga dengan filsafat analitis dan sebagian ada yang menyebutnya dengan empirisme logis, yakni suatu pemikiran filsafat dalam menjelaskan penggunaan bahasa dan pikiran. Dalam pandangan positivisme logis, proposisi ilmiah harus disusun berdasarkan realitas yang dapat diukur melalui inderawi, sehingga bahasa ilmiah dapat dianalisis benar atau tidaknya berdasarkan verifikasi faktual. Pada positivisme, hal ini menjadi prinsip umum dan bersifat permanen. Jika dikaitkan dalam prinsip verifikatif ini, positivisme bisa menjadi titik tolak bagi positivisme logis ketika kebenaran harus dilihat secara inderawi dan berdasarkan tindakan-tindakan verifikasi. Oleh karena itu, kerap kali keduanya selalu disandingkan dalam menghadapi perdebatan metodologis.

Membaca positivisme logis berarti harus membaca gagasan para tokoh yang intens dibalik narasi-narasi besarnya. Kita akan dihadapkan dengan pemikiran Alfred Jules Ayer, Rudolf Carnap, Walter Dubislav, Herbert Feigl, Philipp Frank, Gottlob Frege, George Edward Moore, Bertrand Russel, Wittgenstein dan beberapa tokoh lainnya. Mereka berpendapat dibalik diskursus positivisme logis bahwa pembangunan masyarakat perlu ditangani secara ilmiah, sehingga metodologi ilmu menjadi penting sebagai prinsip bagi pengembangan individu atau masyarakat yang diharapkan. Dengan hal ini, Positivisme logis kemudian mulai mengobarkan semangat dunia ilmiah yang berorientasi pada ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti yang telah mencapai tingkat perkembangan yang tinggi dan keberhasilan yang mengagumkan.

Kalangan positivisme logis tetap berpijak pada anggapan bahwa hanya pengalaman faktual yang dapat disusun dalam proposisi empiris dan dapat dijelaskan oleh akal budi secara logis serta dapat dibuktikan secara matematis yang dianggap memenuhi kriteria kebenaran absolut. Artinya, hanya pernyataan-pernyataan mengenai pengalaman empiris yang dapat diuji kebenarannya secara ilmiah. Sebaliknya, pernyataan-pernyataan spekulatif dalam filsafat dan teologi tidak dapat diuji kebenarannya secara ilmiah menurut hukum-hukum logika dan matematika yang sejatinya adalah pandangan pokok kaum positivisme logis.

Ciri utama dari positivisme logis adalah kebenciannya pada metafisika. Hal ini sangat sesuai mengingat positivisme logis hanya ingin bercengkerama dan berdamai dengan objek-objek empiris, sedangkan hal yang berbau non-fisik seperti metafisika dianggap tidak ilmiah. Positivisme logis pada dasarnya juga dipengaruhi oleh empirisme dan positivisme. Artinya, semua pemikiran dalam positivisme logis tidak lepas dari dua diskursus tadi. Selanjutnya, positivisme logis juga dipengaruhi oleh perkembangan logika simbolik dan analisis bahasa yang dikembangkan oleh Frege, Whitehead, Russel, dan Wittgenstein I. Dalam pandangan Frege, logika bahasa dapat digunakan untuk mengemukakan pernyataan secara ketat dari kekacauan bahasa yang digunakan oleh manusia sehari-hari.

Salah satu aspek penting dari positivisme logis yang sering diabaikan adalah bahwa gerakan itu secara eksplisit memiliki kepentingan dan tujuan politik. Lingkaran Wina, yang dianggap sebagai cikal bakal positivisme logis terlibat dalam perpolitikan ketika itu. Sebuah tragedi kemudian memaksa para anggota lingkaran Wina beremigrasi ke negara-negara lain, khususnya ke Inggris dan Amerika, dan mengembangkannya di negara-negara tersebut.

Menurut Moore, filsafat harus berpihak pada akal sehat dan alatnya adalah analisis terhadap bahasa sehari-hari secara konkret. Pemikiran Moore banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh empirisme, terutama Locke dan Mill. Ia menganggap bahwa realitas ada secara terpisah dari persepsi. Realitas (fakta) dianggap netral, dimana keberadaannya dianggap terlepas sepenuhnya dari persepsi. Moore dan Russel menganggap data inderawi sebagai suatu hal yang tidak dapat diragukan oleh semua aliran filsafat ilmu pengetahuan. Kesatuan ilmu pengetahuan dalam positivisme logis ditegakkan atas empat asas, yakni empirisme, positivisme, logika ilmu, dan kritik ilmu. Artinya, peran subjek sebagai aktor dalam mempersepsikan realitas semakin dianggap tidak ada dan tidak berperan. Tentu hal ini mirip dengan diskursus yang dibangun oleh kalangan positivisme yang tidak mempedulikan peran subjek dalam menelusuri kebenaran konkret atas fakta yang ada.

Mirip dengan positivisme, narasi-narasi dalam positivisme logis telah mereduksi realitas pada fakta yang teramati sehingga hal ini menyingkirkan dimensi lainnya, yakni subjek. Peran subjek dan objek dalam pandangan ini berada secara terpisah. Objek yang diketahui berbeda dengan subjek yang mengetahui dan tidak saling memengaruhi antara keduanya. Dengan kata lain, posisi subjek bersifat pasif, subjek memikirkan dan mengetahui namun tidak berperan daam mengonstruksi suatu objek. Pandangan dalam upaya menyingkirkan peran subjek sebanarnya sudah lama mengakar dalam metanarasi positivisme, sehingga jika benar demikian kenyataannya, maka positivisme logis tak ubahnya sebagai wajah baru penyangkalan atas peran subjek.

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UNAIR Surabaya, pegiat Psikologi Sains dan Penggagas Forum Kajian Simposium


Sumber:

Bluhm, R. (2015). Positivism and Logical Positivism. The Encyclopedia of Clinical Psychology, 1–7. doi:10.1002/9781118625392.wbecp366

Houts, A. C. (2010). Logical Positivism. Corsini Encyclopedia of Psychology. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Creath, R. (2020). Logical Empiricism. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Amerika: Metaphysics Research Lab, Stanford University.

Feigl H. (1981). The Origin and Spirit of Logical Positivism. Dalam: Cohen R.S. (eds) Inquiries and Provocations. Vienna Circle Collection, vol 14. Springer, Dordrecht.

Lubis, A. Y. (2014). Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press

Seran, A. (2014). Masa Depan Filsafat Dalam Era Positivisme Logis. Respons, 19(1), 111-144. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here