Penafsiran tekstual telah mendominasi karya-karya tafsir periode awal, dengan argumen bahwa makna al-Qur’an bersifat statis dari sejak pewahyuannya, sehingga makna literal al-Qur’an akan tetap eksis di semua zaman. Tetapi pendekatan penafsiran ini dianggap kaku untuk diaplikasikan dalam konteks sosial yang berbeda dengan konteks awal pewahyuan.

Bertolak dari keprihatinan terhadap penafsiran klasik tersebut yang cenderung tekstual, ideologis, sektarian dan tidak relevan untuk merespon dinamika perkembangan zaman yang semakin kompleks, maka muncullah upaya-upaya yang dianggap perlu untuk menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan-pendekatan yang baru. Salah satunya melalui pendekatan tafsir kontestual yang bernuansa hermeneutik, sehingga fokus pendekatannya melalui hermeneutika. Pendekatan ini memperhatikan korelasi-korelasi kontekstual yang mengitari teks sebagai pertimbangan untuk menafsirkan teks.

Affani (2019: 222) dalam bukunya memaparkan tiga korelasi konteks yang perlu menjadi perhatian dalam memahami karakter pendekatan hermeneutika dalam kajian al-Qur’an. Pertama, perlunya memahami konteks kebahasaan ayat (textual context/siyaq nashshi). Kedua, penting untuk memahami keseluruhan konteks tematik ayat yang disebut konteks wacana (discursve context/siyaq khitabi). Ketiga, perlunya pemahaman terhadap konteks sosio-historis pewahyuan serta situasi realitas yang mengiringi mufasir agar ada korelasi dengan isu kekinian, langkah ketiga ini disebut konteks situasi (existensial context/siyaq hali).

Kendati telah dipaparkan sekilas mengenai hermeneutika dan beberapa pokok kajian yang menjadi karakter dari hermeneutika dalam studi Al-Qur’an di atas, namun tidak dapat dipungkiri bahwa istilah hermeneutika sama sekali masih baru dalam disiplin keilmuan tafsir Al-Qur’an. Ia lahir dari peradaban barat pada kajian bible. Sejumlah tokoh Islam menyebut bahwa karakter dan pola pendekatan ini serupa dengan disiplin keilmuan al-Qur’an periode awal, sehingga dirasa perlu untuk melihat hermeneutika dan korelasinya dengan keilmuan tafsir Al-Qur’an.

Genealogi Hermeneutika

Hermeneutika berasal dari Bahasa Yunani hermenuein yang artinya “menafsirkan”, kata bendanya hermeneia yang berarti “tafsiran”. Menurut istilah yang dikutip dari Palmer, hermeneutika dipahami sebagai ilmu dan seni menafsirkan khususnya terhadap teks-teks otoritatif, serta seringkali diaplikasikan terhadap kitab suci (sacred scripture) dan dipadankan dengan istilah penafsiran (Susanto, 2015: 2).

Istilah hermeneutika seringkali dikaitkan dengan tokoh dalam mitologi Yunani, yakni Hermes. Ia merupakan tokoh yang bertindak sebagai utusan para dewa untuk menyampaikan pesan kepada manusia. Sebelum menyampaikan, ia perlu memahami dan menafsirkan pesan lebih dahulu agar sesuai dengan maksud penyampai pesan. Upaya memahami dan penyingkapan makna ini selanjutnya disebut hermeneutika

Dalam bahasa Inggris, hermeneutics berasal dari kata Yunani, hermeneuein yang berarti “menerjemahkan” atau “bertindak sebagai penafsir”. Kegiatan menerjemahkan juga dipahami sebagai kegiatan hermeneutik, karena berupaya mengalihbahasakan kata-kata asing ke dalam bahasa lain. Upaya ini turut memerlukan pemahaman dan penafsiran untuk kemudian diejawantahkan dalam bentuk rangkaian kata. Sehingga hermeneutik selanjutnya dipahami sebagai upaya penyingkapan makna teks. Teks dalam hal ini mencakup perilaku, tindakan, norma, mimik, tata nilai, isi pikiran, percakapan, benda-benda kebudayaan, dan objek-objek sejarah. Hal itu dikarenakan kesemuanya berkaitan dengan manusia, serta hermeneutik memainkan peran sebagai cara untuk memahami hal-hal tersebut (Hardiman, 2011: 11).

Pemahaman yang berkelindan antara konteks suatu teks dengan segala hal yang mungkin memengaruhi lahirnya keragaman pemahaman merupakan salah satu objek penekanan dari pendekatan hermeneutika. Apabila ditilik dari aspek historisnya, hermeneutika merupakan bagian dari gerakan “exegesis” di kalangan gereja. Adalah Schleiermacher yang dikenal sebagai “Bapak Hermeneutika Modern” di masa itu. Ia berupaya merombak orientasi interpretasi hermeneutika yang hanya terbatas pada kajian kitab suci dan sastra. Lalu, Wilhelm Dilthey mengembangkannya dengan menerapkannya pada metode sejarah. Hadir setelahnya, Hans-Georg Gadamer yang menjadikan hermeneutika sebagai bagian dari kajian filsafat. Paul Ricoeur turut mengambil peran dengan menjadikan hermeneutika sebagai metode fenomenologis. Beberapa tokoh lainnya seperti Jurgen Habermas, Jacques Derrida maupun Michel Foucault mengembangkannya dalam kajian-kajian yang lebih luas, beberapa di antaranya menjadikan hermeneutika dalam upaya melahirkan pemahaman dalam psikologi, sosial, dan budaya (Faiz, 2011: 4).

Pada hakikatnya, asumsi dasar dari hermeneutika adalah pluralitas dalam proses pemahaman manusia yang lahir dari keniscayaan kompleksitas kehidupan manusia. Sehingga hermeneutika kemudian bergerak dalam pola pemahaman manusia, serta hal-hal yang memengaruhi proses perolehan pemahaman manusia yang merupakan titik tolak dari fokus penelitian hermeneutika.

Korelasi Hermeneutika dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an

Dalam dunia Islam, hermeneutika merupakan istilah baru dalam wacana ilmu tafsir al-Qur’an. Namun ketiadaan secara definitif istilah hermeneutika bukan berarti ketiadaan pola yang serupa. Demikian dalam studi ilmu Al-Qur’an, embrio dari operasi hermeneutis telah dilakukan di awal abad ke-11 dalam Islam. Esack (2000: 94-95) memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan unsur hermeneutis dalam disiplin keilmuan Islam klasik. Pertama, unsur hermeneutis telah dirasakan dalam diskusi-diskusi awal tentang asbab al-nuzul dan naskh. Kedua, literatur tafsir periode awal telah memuat tafsir dengan ragam corak, metode dan teori interpretasi yang mengatur dan tersistematis dalam disiplin ilmu tafsir. Ketiga, adanya kategorisasi karya tafsir dengan kecenderungan Syiah, Muktazilah, dan beberapa kecenderungan lainnya yang menunjukkan adanya afiliasi terhadap aspek historis dan ideologis penafsir.

Apabila dilihat dari ruang lingkupnya, kajian hermeneutika secara umum dibagi menjadi tiga (Faiz, 2011: 5):

  1. Hermeneutical Theory, yakni hermeneutika yangberisi aturan metodologis untuk menghasilkan pemahaman sesuai kehendak pengarang. Fokus penekanan pada jenis pertama ini adalah menjadikan pemahaman terhadap konteks sebagai aspek penting untuk menghasilkan pemahaman yang komprehensif.
  2. Hermeneutical Philosophy, yakni hermeneutika yang berkaitan dengan aspek filosofis-fenomenologis pemahaman. Pada jenis kedua ini,  memfokuskan pada hal-hal yang mempengaruhi lahirnya pemahaman. Semisal, aspek psikologisnya, sosiologisnya, historis hingga fiolosofisnya.
  3. Hermeneutika Kritis, yakni hermeneutika yang menjadi wadah bagi kritik-kritik terhadap pola-pola hermeneutik dan ragam hasil pemahamannya.

Salah satu tokoh yang termasuk dalam kategori kontekstualis dalam metode hermeneutik-nya adalah Fazlur Rahman (1919-1988). Dia adalah tokoh yang pertama kali menggaungkan gagasan perlunya memperhatikan konteks historis Al-Qur’an dengan menawarkan teori double movement-nya.

Fazlur Rahman dalam metodenya menawarkan dua gerakan. Sebagaimana dikutip Affani (2019: 250) dalam bukunya. Pertama, bergerak ke masa lalu pada masa pewahyuan Al-Qur’an. Pada gerakan ini berfungsi untuk melacak ayat dari situasi makro dan mikronya, sehingga historisitas ayat dapat terungkap. Setelah itu, menelusuri dari data-data yang dihasilkan sebuah authentical meaning yang berfungsi “memahami signifikansi moral dan signifikansi hukum Al-Qur’an”. Kedua, gerakan kembai ke masa kini. Pada gerakan kedua ini, pemahaman prinsipil yang sudah ditemukan lalu diaktualisasikan ke dalam penafsiran untuk merespon problem kontemporer.

Bertolak dari Fazlur Rahman, hadir Muhammad Syahrur  dengan tipe kritik hermeneutika-nya. Ia berpendapat bahwa periode kontemporer memerlukan metode baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Artinya, bahwa al-Qur’an dapat didekati melalui bidang keilmuwan lainnya seperti filsafat modern maupun linguistik. Ia berasumsi bahwa pembaca selaiknya membaca seakan Al-Qur’an baru saja diturunkan. Selain Syahrur, terdapat pemikir Islam kontemporer yang turut menyumbang pemikirannya dalam khazanah keimuwan Al-Qur’an terutama tafsir Al-Qur’an. Di antaranya, Farid Esack dengan hermeneutika pembebasan, Mohamed Talbi dengan teorinya dzihāban wa Iyyāban, Muhammed ‘Abid al-Jabiri melalui teori al-Fashl wa al-Washl, Nasr Hamid Abu Zayd dengan al-Harakah al-Banduliyah-nya, Abdullah Saeed dengan penafsiran kontekstualis-nya serta beberapa pemikir lainnya.

Metode dan pemikiran tafsir tersebut merupakan upaya untuk melahirkan pemahaman baru terhadap teks Al-Qur’an agar mampu relevan dalam menjawab kompleksitas persoalan dewasa ini, tentu karena Al-Qur’an diyakini mampu untuk selalu update kapanpun dan dimanapun, serta menolak upaya taklid buta terhadap penafsiran klasik yang menutup kemungkinan lahirnya makna dan pemahaman baru terhadap al-Qur’an.

* Penulis adalah Mahasiswi IAIN Madura, Aktivis Perempuan, Pegiat Kajian Literasi dan Penggerak Forum Kajian Simposium