image by artscenegallery.com
image by artscenegallery.com

Terkadang seseorang merasa tertarik untuk bertanya hal-hal yang bersifat abstrak dan transendental, semisal, apakah hakikat alam semesta ini?, Siapakah manusia itu?, bahkan pertanyaan dimanakah Tuhan berada?. Hal ini tergolong wajar, karena manusia adalah hewan yang berpikir, sehingga dia akan memikirkan segala entitas yang ada dalam rangka mencari pengetahuan. Sementara manusia yang sudah beranjak dewasa, pada biasanya akan memikirkan kembali hal-hal yang menurut anggapannya benar dengan tujuan menguji kebenaran yang telah didapatnya.

Pembahasan mengenai manusia, Tuhan, alam, dan hal-hal yang sifatnya transenden atau metafisik sudah ada pada masa awal, yakni di zaman filsuf Yunani. Pembuktian terhadap adanya Tuhan adalah tidak sama dengan pembuktian terhadap hal-hal yang sifatnya empiris dan real, oleh karena pembuktian tersebut bisa dilakukan dengan argumen-argumen yang rasional dan dikuatkan oleh fakta-fakta yang ada. Sehingga filsafat mempunyai peran yang penting dalam hal ini.

Filsafat mempunyai peran penting dalam agama, bahkan dalam hal apa saja. Karena, filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas yang ada dengan menggunakan akal budi. Tak heran Al-Qur’an dalam surah Al-Mulk, ayat 10, menegaskan tentang betapa pentingnya seseorang untuk menggunakan akalnya. Bunyi dari ayat tersebut sebagai berikut:

وَقالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحابِ السَّعِيرِ

“Dan mereka berkata: Seandainya kita mendengarkan dan memikirkan. Tak mungkin kita akan menjadi penghuni neraka”. (QS. Al-Mulk, ayat 10).

Memikirkan keagamaan merupakan sesuatu yang urgen, hal ini lantaran melihat banyaknya aliran, paham, dan ideologi yang beredar di zaman sekarang. Sehingga, konsekuensinya nanti adalah kebingungan bagi mereka yang tidak mempunyai dasar keagamaan yang kuat. Berhubung agama adalah kepercayaan, maka yang perlu diperkuat adalah dasar dari kepercayaan tersebut, yaitu bukti-buktinya.

Pembuktian Adanya Tuhan Oleh Para Filsuf Barat 

Pada biasanya pendirian orang atheis dianggap sebagai pendirian yang tidak baik oleh sebagian kalangan, namun sebenarnya anggapan seperti itu adalah tidak benar. Karena, Seorang atheis adalah seseorang yang telah menyelidiki alam dunia dan mengambil suatu kesimpulan, bahwa tidak ada bukti-bukti yang cukup untuk menyatakan tentang adanya tuhan, atau ia mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa tuhan itu tidak ada. Seorang atheis berhati-hati dalam mengambil sikap yang ia pillih.

Oleh karena itu, pembuktian dalam hal ini perannya sangat penting untuk menentukan kepercayaan seseorang. Bahkan, bukti juga bisa merubah kepercayaan seseorang. Sekitar tiga macam bukti untuk membuktikan adanya tuhan yang telah dilakukan oleh para filsuf barat klasik, klasifikasinya sebagai berikut:

Pertama, bukti ontologikal. Adapun maksud dari bukti ontologikal ini adalah ide ketuhanan yang universal dan tak terbatas tidak mungkin timbul dari sesuatu yang terbatas. Sehingga, ide tentang ketuhanan telah ditimbulkan oleh tuhan itu sendiri. Dengan kata lain, hanya Tuhan itulah yang tak terbatas, sementara yang lainnya, termasuk akal manusia, bersifat terbatas dan tak sempurna. Konsekuensinya, Tuhan itulah yang sempurna dan tak terbatas  yang telah memunculkan ide ketuhanan tersebut.

Bukti ontologikal ini disusun oleh Anselm (1033-1109) dan disederhanakan oleh Descartes pada permulaan abad modern. Pada biasanya pokok-pokok ide ketuhanan yang ada pada seseorang berupa: tuhan adalah suatu wujud sempurna yang kita tidak dapat menggambarkan wujud lain yang lebih besar dan agung dari padanya. Sementara kalau seorang muslim mendapatkan ide ketuhanannya melalui pelajaran sifat-sifat asma’ul husna yang diperoleh dalam kitab akidah. Tuhan juga merupakan wujud tersendiri, tidak hanya ada dalam pikiran manusia.

Kedua, bukti kosmologikal. Istilah ini juga sering kali disebut dengan kausalitas, yaitu suatu ide yang mengupas tentang sebab-akibat dalam alam semesta. Plato termasuk dari salah seorang tokoh yang menyusun bukti ini, dalam bukunya timeus dia mengatakan bahwa tiap-tiap hal yang terjadi di dunia ini pasti ada yang menjadi penyebabnya. Semisal kejadian pohon yang mati sebab terkena penyakit dan penyakit itu juga mempunyai sebab, hukum sebab akibat akan terus berlaku sampai tiada ujungnya.

Namun dalam logika, berlakunya hukum kausalitas yang tanpa ada ujungnya itu dianggap tidak rasional, sehingga dalam rangkaian sebab-akibat tersebut harus ada yang menjadi penyebab pertama yang bukan merupakan akibat oleh sesuatu yang lain. Penyebab pertama inilah yang kerapkali dipahami sebagai Tuhan. Bukti kosmologikal ini sering dipakai oleh banyak orang.

Ketiga, bukti teologikal. Bukti ini juga lumayan popuer di kalangan banyak orang. Bukti jenis ini bisa dipahami dengan kenyataan tentang adanya keseragaman, keteraturan, dan kejadian-kejadian yang terjadi secara mekanistik dalam alam semesta. Dengan demikian, menunjukkan terhadap adanya sumber dari kenyataan alam yang berlaku seolah-olah sedemikian terencana tersebut. Karena, peristiwa alam yang terjadi secara mekanistik tersebut menunjukkan tentang adanya rencana, sumber rencana tersebut dipahami sebagai aktivitas tuhan.

Pembuktian dengan jenis yang ketiga ini sampai di zaman modern masih tetap dipakai oleh kebanyakan ahli pikir dan ilmuan. Namun, jangkauan dari bobotnya lebih diperluas dan diperdalam. Karena, ilmu pengetahuan berkembang cepat dan pesat lantaran adanya spesifikasi di antara berbagai disiplin keilmuan.

William Paley (1743 – 1805 M), seorang teolog inggris, menyatakan bahwa alam ini penuh dengan keteraturan. Hal ini menandakan akan eksistensi Tuhan di balik itu semua, sehingga alam sedemikian teratur, tersistem, maupun seragam. Hal ini juga menjadi tanda akan adanya tujuan tertentu di akhir perjalanan alam semesta ini, tujuan tersebut diuraikan dalam pembelajaran agama.

Dari masing-masing argumen yang telah menjadi bukti akan eksistensi Tuhan tersebut, banyak di antara para filsuf muslim yang kadang-kadang menggunakan salah satunya. Semisal Al-Farabi, Ibnu Sina, bahkan Imam al-Ghazali yang mempunyai kitab Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filosof).         

Pembuktian Adanya Tuhan Oleh Imam al-Ghazali

Tokoh ini sudah tidak asing lagi di kalangan banyak orang, yaitu seorang tokoh yang mempunyai banyak karangan monumental dalam banyak bidang keilmuan. Semisal fikih, ushul fikih, tasawuf, mantik, bahkan filsafat. Oleh karenanya ia bisa disebut sebagai faqih, ushuliy, sufi, dan filosof. Memang tidak salah orang menyebutnya sebagai multi talenta.

Imam Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali menceritakan dalam kitabnya al-Munqidz min adh-Dhalal, suatu kitab tentang autobiografinya beliau, bahwa ia pernah mendalami ilmu filsafat selama dua tahun di Madrasah Nidzamiyah Baghdad secara otodidak. Di tengah-tengah kesibukannya memberikan pelajaran kepada murid-muridnya, beliau menyempatkan diri untuk belajar filsafat. Sehingga kemudian, lahirlah sebuah kitab Maqashid al-Falasifah (ide pemikiran para filsuf) dari filsafat yang ia sudah pelajari selama dua tahun.

Pembuktian adanya Tuhan oleh Imam al-Ghazali sebenarnya cukup simpel kalau dilihat dari silogismenya, namun kalau seumpamanya direnungkan kembali secara radikal dan komprehensif ternyata argumennya lumayan rumit. Sehingga menimbulkan perdebatan-perdebatan di antara beberapa kalangan. Silogisme tersebut di jelaskan dalam kitabnya Al-iqtishad fil-I’tiqad, juga dijadikan perumpamaan dalam kitab-kitabnya yang lain, semisal Al-Mustasfa min Ilmil Ushul. Bunyi silogisme tersebut sebagai berikut:

إن كان العالم حادثا فله محدث, فهذه مقدمة, ومعلوم أنه حادث وهي المقدمة الثانية,  فيلزم منه أن له محدثا

Jika alam adalah hal yang baru, maka pasti ada penyebabnya. Ini adalah premis yang pertama. Dan telah dimaklumi bahwa alam ini merupakan hal yang baru. Ini adalah premis yang kedua.  Maka alam semesta pasti ada penyebabya (kesimpulan).

Jikalau dilihat dari silogismenya, maka tampak bahwa Imam al-Ghazali termasuk orang yang membuktikan eksistensi tuhan dengan argumen kosmologis, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Argumen kosmologis ini akan bermasalah bagi orang-orang yang menganut paham keazalian dan kekadiman alam, namun Imam al-Ghazali mengkritik orang yang menganut paham tersebut sebagai orang yang tidak bepikir secara rasional. Bahkan, banyak kalangan dari ahli fisika dan kosmologi setuju akan argument kosmologis ini dengan penjelasan teori Big Bangnya.

Penutup, sering kali kadang seseorang bertanya mengenai suatu kebenaran yang menimbulkan pertentangan dalam dirinya sendiri. semisal pertanyaan dimanakah tuhan berada? dan apakah tuhan bisa menciptakan dzat yang lebih besar dan agung dari pada dirinya sendiri?. Sepintas pertanyaan demikian kelihatan logis, namun sebenarnya tidak kalau direnungkan kembali.

Mengenai ide ketuhanan sebelumnya sudah disepakati bahwa tuhan pencipta alam semesta dan pencipta tidak sama dengan apa yang diciptakan, pokok dari pada ide ini adalah tuhan adalah maha agung, maha pengasih, dan maha-maha yang lain. Karena, tuhan memang harus sempurna dan terbebas dari segala cacat atau aib yang membuat dirinya tidak sempurna. Kalau ada pertanyaan dimanakah tuhan berada?, maka pertanyaannya itulah yang salah. Karena, tidak konsisten dengan kesepakatan sebelumnya.

Begitupun pada pertanyaan apakah Tuhan bisa menciptakan dzat yang lebih besar dan agung dari pada dirinya sendiri?, pertanyaannya yang salah. Karena telah menyalahi kesimpulan sebelumnya yang telah disepakati. Suatu kesimpulan tidak akan mungkin disepakati tanpa adanya penjelasan yang logis, argumentatif, dan metodis. Pertanyaan-pertanyaan semisal ini tidak dibenarkan dalam ilmu logika, karena kalau seumpamanya dibiarkan akan menyebabkan tasalsul (mutar-mutar). Dimanakah Tuhan berada? Wallahua’lam.

About The Author