image by jababeka.pikiran-rakyat.com
image by jababeka.pikiran-rakyat.com

Salah satu studi yang menarik dikaji dalam melihat dialektika antara Al-Qur’an dengan realitas di sekelilingnya adalah studi Makkiyah dan Madaniyah. Setidaknya pemahaman mengenai Makkiyah dan Madaniyah seminimal mungkin dapat menjadi renungan bahwa Al-Qur’an itu senantiasa aktual, terdepan, dan terpercaya dalam menjawab serta merespon fenomena yang ada di sekelilingnya.

Menurut Popper, setiap pemikiran tidak pernah berangkat dari sebuah titik yang kosong, karena setiap subjek pemikir tidak bisa melepaskan diri dari apa yang disebut dengan ideologi total, yang berada di lingkungan habitat sosialnya.[1] Jika dibawa ke konteks kajian mengenai Al-Qur’an kita akan mendapati dalam merespon suatu masalah, bahwa metode penyampaian pesan dalam Al-Qur’an biasanya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sekelilingnya.

Setidaknya para ulama dalam membahas kategorisasi Makkiyah-Madaniyah terbagi dalam tiga pendapat. Pertama, pendapat yang didasarkan pada segi tempat, Makkiyah berarti ayat-ayat yang diturunkan di Makkah dan sekitarnya (Arafah, Hudaibiah, dll.) dan Madaniyah berarti ayat-ayat yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya (Badar, Uhud, dll.), Kedua, pendapat yang didasarkan pada segi waktu, Makkiyah berarti ayat-ayat yang turun sebelum Nabi hijrah dan Madaniyah berarti ayat-ayat yang diturunkan setelah Nabi hijrah.[2] Ketiga, pendapat yang didasarkan pada segi sasaran (khitab), Makkiyah berarti ayat-ayat yang konten pembicaraannya ditujukan kepada penduduk Makkah, dan Madaniyah berarti ayat-ayat yang konten pembicaraannya ditujukan kepada penduduk Madinah, indikator konten pembicaraannya ditujukan kepada penduduk Makkah biasanya dicirikan dengan lafal “يا ايها الناسdan jika pembicaraannya ditujukan kepada penduduk Madinah indikatornya adalah menggunakan lafalيا ايها الذين امنوا”.[3]

Namun pengkategorian yang diajukan oleh ulama menurut Aksin Wijaya ternyata tidak menawarkan sebuah kepastian, kategorisasi yang berdasarkan waktu misalnya, biasanya terdapat ayat-ayat yang turun tidak sesuai dengan ciri-ciri waktu, kategorisasi berdasarkan tempat juga demikian biasanya terdapat juga ayat-ayat yang yang turun tidak sesuai ciri-ciri tempat, begitupula dengan kategorisasi yang berdasarkan sasaran (Khitab), biasanya terdapat juga ayat-ayat yang tidak sesuai dengan ciri-ciri tersebut. Artinya adalah biasanya terdapat pengecualian di dalamnya.[4]

Dan yang perlu ditekankan adalah rumusan ulama mengenai kategorisasi Makkiyah Madaniyah itu bersifat ijtihadi. Kategorisasi Makkiyah Madaniyah sebenarnya merupakan sebuah gagasan yang ditawarkan oleh para ulama dalam memudahkan memahami mengetahui ayat-ayat yang turun dalam situasi dan kondisi tertentu dan untuk memudahkan memahami maksud dan kandungan dari sebuah ayat. karena ia bersifat ijtihadi, ini artinya pengkategorisasian Makkiyah Madaniyah tidaklah bersifat final, ia masih bisa dielaborasi lebih jauh dengan mengembangkan kategorisasi-kategorisasi baru yang bisa digunakan dalam mengembangkan studi Makkiyah Madaniyah.

Salah satu tawaran metodologis yang diajukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd[5] adalah dengan cara melihat dialektika antara teks dan realitas, dimana gaya bahasa antara ayat Makki dan Madani mencoba dielaborasi dengan realitas pada saat itu. Sehingga terkesan tercipta hubungan “saling memengaruhi” antara ayat yang turun dengan realitas sekitarnya. Dengan tawaran yang diajukan oleh Nasr Hamid ini, penulis menganggap pesan ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyah lebih bisa dirasakan efek dan perannya dalam sebuah realitas.

Lebih jelasnya setidaknya ada dua pengkategorisasian Makkiyah dan Madaniyah yang coba diajukan oleh Nasr Hamid. Pertama, berdasarkan ciri realitas. Perpindahan dari Makkah ke Madinah bukan hanya sekedar perpindahan tempat belaka, namun jauh dari itu terjadi perpindahan realitas, dari realitas masyarakat yang masih berada pada tahap penyadaran ke tahap pembentukan.

Nah dalam realitas seperti ini ayat-ayat yang turun masing-masing punya karakteristik yang berbeda. Ayat yang turun pada realitas pertama cenderung bernada persuasif yang pada gilirannya mengandalkan bahasa sehingga mampu memberi pengaruh dan kesan yang kuat terhadap jiwa yang terlibat mendengar atau merasakannya dan pada realitas ini terdapat pergolakan antara konsep-konsep lama dengan konsep-konsep baru dalam taraf pemikiran dan dakwah. Sedangkan pada realitas kedua disinilah terdapat muatan-muatan ajaran yang tercerminkan dalam ayat-ayat yang turun, hal ini menjadi niscaya karena ayat ayat yang turun pada realitas kedua cenderung ingin membangun ideologi masyarakat yang baru[6]. Penulis memandang terdapat transformasi yang terjadi, karena ayat yang turun pada realitas pertama memberikan penyadaran atas rusaknya realitas, sedangkan ayat yang turun pada realitas kedua membentuk suatu ideologi baru yang berpijak pada penyadaran pada realitas pertama, sehingga dominannya ayat-ayat yang turun pada realitas kedua ini bermuatan hukum-hukum yang akan diterapkan.

Kedua, berdasarkan ciri teks atau gaya bahasa. Menurut Nasr Hamid ayat-ayat yang turun di Makkah dan Madinah masing-masing memiliki ciri khas, ayat-ayat yang turun di Makkah cenderung pendek, bersajak-sajak, serta kental dengan unsur sastrawi. Sementara ayat-ayat yang turun di kota Madinah cenderung berbentuk panjang[7]. Ayat-ayat yang turun pada realitas pertama cenderung “sama” dengan bentuk-bentuk sajak yang merupakan fenomena umum dalam teks-teks lain pada realitas pertama, sehingga menurut penulis inilah salah satu dimensi kemukjizatan Al-Qur’an, disisi lain Al-Qur’an cenderung “mirip” dengan bentuk-bentuk sajak pada masa itu, namun Al-Qur’an tampil dengan lebih spektakuler sehingga tidak ada yang bisa menandinginya. Hal ini sama dengan fenomena kemukjizatan Nabi Musa yang “mirip” dengan keahlian yang dimiliki penentangnya (dalam konteks ini dimana tongkat bisa berubah menjadi ular), namun mukjizatnya Nabi Musa lebih spektakuler dan berhasil mengalahkan penantangnya.

Setidaknya tawaran yang dikemukakan oleh Nasr Hamid ini membawa kita untuk tidak melepaskan kaitan antara teks dengan realitas, sehingga kita bisa menemukan dan memahami pesan yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an. Dan dengan adanya pemikiran Nasr Hamid mengenai kategorisasi Makki Madani memantik kita untuk lebih belajar dan mencoba mengembangkan pemikiran-pemikiran ulama terdahulu, sehingga tidak tercipta kesan “sakralisasi pemikiran” dan dinamika ilmu-ilmu keislaman semakin berkembang.

Sumber:

[1] Karl Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 550.

[2] Al-Ima>m al-Suyu>ti>, al-Itqa>n fi> ‘Ulum al-Qur’a>n, Juz I, (Kairo: Da>r al-Suru>q, 2002), h. 23.

[3] Al-Zarkasyi>, al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’an, Juz I, (Kairoh: Da>r al-Tura>s, 2005), h. 187

[4] Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Irchisod, 2020), h. 129.

[5] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash : Dirasah fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Baida’, 2000), h. 77

[6] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash : Dirasah fi Ulum al-Qur’an, h. 178.

[7] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash : Dirasah fi Ulum al-Qur’an, h. 179.