image by Emmanuel Lafont via bbc.com

Pergerakan—yang lebih sederhana dapat kita kaitkan pada kritisisme, idealisme, dan pembaharuan—sering kali mengalami penghambatan yang disebabkan beberapa faktor akibat arus informasi yang sangat cepat dan tidak jarang terkemas di dalam fakta-fakta yang bersifat subjektif dari pihak tertentu. Beberapa informasi dapat menyebabkan polarisasi pandangan masyarakat hingga pergesekan yang sebenarnya dapat dihindari melalui identifikasi atau purifikasi fakta, namun beberapa di antaranya tidak mengindahkan tindakan-tindakan yang harusnya diimplementasikan agar suatu informasi dapat menjadi relevan dengan fakta di lapangan.

Kita tidak dapat menghindari suatu kepentingan yang terdapat di dalam informasi tertentu yang disebarluaskan melalui media sosial, tidak jarang terdapat indikasi dari politik praktis atau maksud tertentu yang mengarah pada popularitas bahkan aksi represi atas pihak yang dituju secara terselubung. Polarisasi atau konflik yang terjadi merupakan dua faktor yang dapat kita anggap sebagai penghalang dalam terwujudnya pergerakan kolektif—dalam hal ini “pergerakan kolektif” merujuk kepada segenap tindakan masyarakat yang bertujuan untuk melepaskan diri dari hegemoni sosial atau menimbulkan kesadaran di dalam kelompok masyarakat untuk tidak terus mengikuti suatu sistem yang salah, misalnya melakukan protes atas kualitas demokrasi yang semakin menurun di suatu Negara atau melakukan upaya restrukturisasi sistem sosial agar meminimalisir kesenjangan yang terjadi. Akan tetapi, beberapa contoh di atas tidak dapat terwujud dalam waktu yang cepat dan tidak dapat berjalan apabila setiap bagian di dalam masyarakat hanya mementingkan kepentingan individu atau kelompoknya masing-masing, prinsip egalitarian semakin sulit tercapai ketika secara tradisional di dalam masyarakat masih menekankan superioritas pada kelompok tertentu, hal ini semakin dipersulit dengan arus informasi yang mulai menebarkan banyak fakta-fakta yang sudah dimanipulasi—Post-truth merupakan ancaman bagi masyarakat dan kesadaran kelas.

Distraksi Kesadaran Kolektif

Kesadaran merupakan hal yang fundamental di dalam kehidupan manusia, ketika manusia tidak menemukan kesadaran yang otentik—terdapat beberapa kemungkinan (kita akan mengambil dua faktor sebagai acuan) yang akan menjadi bayang-bayang yang menutup kesadaran kolektif seseorang tidak dapat terbentuk.

a. Manipulasi Perspektif

Hal ini dapat terjadi sejalan dengan upaya-upaya yang dilakukan untuk menarik perhatian banyak orang, tidak jarang media sosial akan memanfaatkan algoritma yang dimiliki untuk menciptakan pola yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pengguna media sosial, namun kita harus melihat, bahwa algoritma terpola yang diimplementasikan pada akun media sosial kita. Pada dasarnya telah memiliki tujuan tertentu, misalnya barang-barang yang sudah masuk ke dalam keranjang virtual kita di marketplace akan timbul di dalam pencarian atau melalui iklan-iklan di media sosial dengan tujuan, agar kita segera membeli barang tersebut dan menimbulkan kesan bahwa kita sangat membutuhkan barang tersebut.

Dengan demikian, setiap informasi yang kita perolah biasanya mengandung tujuan tertentu, atau bahkan dapat menggiring kita agar bertindak di luar dari konteks kesadaran kita. Akibatnya, arus informasi di era Post-truth yang sering kali membawa sudut pandang yang sebenarnya tidak terlalu substansial berhasil membayangi kesadaran seseorang melalui manipulasi perspektif dengan memanfaatkan kemajuan teknologi;

b. Retakan Empirisme

Mungkin kita tidak menyadari bahwa pengalaman kita akan mempengaruhi cara pandangan bahkan kesadaran kita dalam melihat suatu fenomena. Setiap pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman—pada dasarnya memilik perbedaan yang fundamental di setiap orang—secara kuantitatif atau kualitatif akan menghasilkan suatu identifikasi atau verifikasi yang berbeda-beda pula. Kita tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat tendensi di era Post-truth beberapa kelompok tertentu secara langsung mengupayakan suatu pengalaman agar dirasakan oleh sebagian masyarakat melalui sudut pandang kepentingan-kepentingan mereka.

Pengalaman yang dirasakan oleh kelompok a atau kelompok b akan berbeda. Perbedaan tersebut merupakan celah yang dapat dimanfaatkan untuk menimbulkan suatu sintesis kepentingan atau bahkan memaksa keretakan melebar hingga menyebabkan pergesekan antar kelompok—mungkin kita tidak akan melihat dampak yang begitu besar dari keretakan empirisme, namun kita perlu menyadari beberapa keadaan memaksa kita untuk berpihak pada sisi tertentu atau bahkan menjalankan perintah dari hegemoni yang rusak. Ketika dua kubu (kelompok a dan b) telah mengalami kerusakan atau bahkan pergesekan yang cukup keras untuk mempertahakan status quo masing-masing.

Keretakan empiris yang berbeda dari dua kelompok tersebut dapat disintesakan oleh kelompo ketiga atau kelompok c yang dengan beberapa upayanya akan mengangkat kelebihan dari masing-masing kelompok dan mereduksi kelemahan di antara keduanya, supaya dapat mempengaruhi anggota terlemah di dalam kelompok tersebut agar mengikuti perspektif atau merasakan pengalaman baru yang coba diwujudkan oleh kelompok c.

Di era Post-truth hal ini dapat terjadi secara simultan dengan kehidupan kritis seseorang, tidak jarang beberapa orang yang melabeli dirinya sebagai seseorang yang kritis justru memihak pada sisi tertenu dan mereduksi pengalaman-pengalaman buruk menjadi suatu konklusi untuk meruntuhkan fakta-fakta yang sebenarnya tidak relevan dengan kelompok lawan. Misalnya, pada persaingan produk di pasar, antara kelompok a dan b, setiap produk memiliki kelemahan dan kelebihan. Ketika ada kompetitor baru yang hendak masuk ke dalam pasar, tidak jarang ia memanfaatkan keretakan empiris dari dua pelanggan yang mengonsumsi produk berbeda agar mendapatkan analisis fungsional sehingga ia dapat menciptakan produk yang lebih relevan atau dinamis dibandingkan kelompok a dan kelompok b.

Tentu saja hal ini tidak hanya berlaku dalam keadaan pasar, namun juga politik praktis, teknologi, bahkan sosial. Dengan demikian, kesadaran kita akan terganggu atau bahkan dibuat bingung untuk mengambil pengalaman yang otentik dan terbebas dari pengaruh atau doktrin tertentu. Kesadaran kita akan terus dibayangi oleh kepentingan-kepentingan hegemoni khususnya di tengah pengaruh Post-truth yang tidak jarang akan semakin mengaburkan fakta-fakta yang sebenarnya dan secara tidak langsung menghasilkan pengalaman yang tidak objektif.

Distraksi Pergerakan Kolektif

Suatu pergerakan perubahan atau gerakan yang dilakukan untuk mengatasi suatu masalah yang terlampau rumit diperlukan untuk meminimalisir terjadinya perluasan masalah pada sektor-sektor yang lebih vital. Misalnya, masalah perekonomian merupakan salah satu aspek yang paling fundamental di dalam kehidupan manusia, kesenjangan yang terjadi akibat hutang-piutang, pendapatan yang tidak tetapi hingga konsumsi berlebih merupakan hal yang perlu diatasi dengan melakukan suatu pergerakan, namun pada prakteknya pergerakan yang dilakukan untuk menuju suatu perubahan—tidak jarang akan terhalang oleh beberapa faktor—untuk menghindari perluasan dari aspek yang akan kita bahas, maka penulis akan mengambil dua faktor yang memempengaruhi suatu pergerakan yang dianggap sebagai penghambat.

a. Polarisasi Masyarakat

Suatu pergerakan kolektif pada dasarnya akan terhalang ketika terjadi polarisasi di dalam masyarakat, entah bersifat politis atau ekonomis. Tidak jarang kita akan melihat kemungkinan-kemungkinan bagi terjadinya suatu pergesekan yang lebih besar ketika polarisasi antar dua kubu sudah terlampaui komprehensif, pada aspek tertentu, sudah jelas pergerakan kolektif akan menemui kebuntuannya yang tidak hanya sekedar parsial, namun keseluruhan akan menjadi terhambat. Polarisasi ini dapat terjadi dengan konflik kepentingan antara pihak yang ingin melakukan suatu perubahan dan pihak yang ingin mempertahankan status quo-nya.

Tidak jarang—di kedua belah pihak—memiliki tendensi untuk mempengaruhi pergerakan melalui manpulasi pespektif seperti yang sudah kita bahas di awal. Polarisasi ini dapat dianggap sebagai salah satu dampak yang terjadi setelah suatu pihak melakukan pengalihan atau merubah cara pandang seseorang atas sesuatu yang bersifat umum. Kita dapat melihat contoh ini terjadi di dalam kehidupan sehari-hari melalui aktivitas yang berkaitan dengan transportasi, misalnya makna dari kata “kiri” yang dipahami oleh supir angkutan umum dan makna dari kata “kiri” yang dipahami oleh seorang politikus akan sangat kontras. Pada supir angkutan umum kata “kiri” merujuk pada tindakan seseorang atau ab-aba untuk menepi, sedangkan pada seorang politikus, kata “kiri” mengacu pada suatu ideologi tertentu. Dengan kata lain, persepsi atas suatu fenomena akan memiliki makna yang berbeda-beda pula, dan dari perbedaan tersebut dapat dimanfaatkan untuk memperlihatkan eksistensi dari konsekuensi baik atau buruk.

Hal ini semakin diperparah dengan keadaan di era Post-truth yang dapat menyebabkan pemberitaan yang berat sebelah atau bahkan dengan sengaja memberikan suatu fakta yang tidak terjadi hanya untuk merusak suatu keyakinan baik dalam aspek politis atau ekonomis, sehingga pihak yang dianggap sebagai lawan dapat keluar dari jalur persaingan dan terdapat suatu kelompok yang menjadi penguasa tunggal. Kita harus mewaspadai tindakan-tindakan tersebut, khususnya melalui fenomena yang kita peroleh di tengah pergulatan Post-truth hingga pada tendensi destruksi dari argumen yang tidak logis atau tidak objektif dengan tujuan memperlebar polarisasi atau bahkan mempertahankan beberapa kelompok untuk tidak bersatu sehingga tujuan tertentu dapat tercapai.

b. Tuntutan Ekonomi

Keresahan seseorang terhadap keadaan ekonominya merupakan faktor yang dianggap dominan bagi kemampuan atau kemauan bagi dirinya untuk tergabung di dalam suatu gerakan pembaharuan. Tidak jarang ia—terikat atau diberikan kenyamanan di dalam pekerjaan—melupakan bagaimana konsekuensi yang terjadi apabila suatu keadaan tidak diubah. Seseorang yang terjebak di dalam siklus ekonomi yang tidak sehat, khususnya pada relasi antara atasan dan bawahan yang cenderung tergolong ke dalam perbudakan modern, menyebabkan dirinya tidak memiliki kapasitas berlebih untuk mengoptimalisasikan dirinya sebagai manusia yang bebas—selayaknya yang dikatakan oleh Jean-Paul Sartre, bahwa kebebasan merupakan kutukan.

Dalam pernyataan tersebut, terdapat dua kontradiksi, kita dapat melihat bahwa kebebasan seseorang dapat dimanfaatkan sebagai cara jitu untuk menindas atau bahkan kebebasan seseorang dapat digunakan sebagai cara manusia untuk membentuk otentisitas dirinya. Dalam faktor ekonomi, kebebasan—misalnya pasar bebas dan tindakan tanpa intervensi yang berarti—dapat dianggap sebagai nilai mutlak yang dikehendaki beberapa pihak agar mampu beroperasi dan mendatangkan keuntungan. Tidak jarang seseorang menyadari bahwa standar dari lingkungan kerja atau kondisi kerja yang sudah tidak layak sebagai salah satu risiko yang tidak dapat ia hindari. Baginya, suatu protes yang hendak ia sampaikan kepada penguasa di perusahaan akan dianggap sebagai tindakan perlawanan dan tidak jarang hal tersebut menjadi ancaman bagi para pekerja yang sebenarnya menuntut untuk fasilitas yang lebih baik.

Dari tindakan protes dalam konteks yang lebih kecil tersebut, kita dapat menilai bahwa seseorang yang hendak ikut dalam suatu pergerakan pembaharuan tentu saja akan mempertimbangkan aspek-aspek ekonomis sebelum atau setelah pergerakan dilakukan. Kesenjangan perekonomian—dapat kita curigai sebagai upaya untuk mempertahankan keterikat manusia agar ia tidak memiliki daya atau kesempatan melakukan protes atau melontarkan kritik kepada pihak terkait.

Pergerakan kolektif tidak dapat terjadi selama setiap elemen masyarakat terikat dalam siklus perekonomian yang sifatnya fundamental. Di dalam bayangan kapitalisme, sudah tentu akan membawa kita pada ketergantungan atas siklus nilai tukar yang tidak sebanding dengan kenaikan-kenaikan dari harga bahan pokok. Akibatnya seseorang harus mencari celah agar dapat menghasilkan pendapatan tambahan dan melupakan urgensi dari pergerakan kolektif untuk mengangkat isu-isu yang substansial. Di era Post-truth hal ini semakin diromantisisasi agar sebagian masyarakat menganggap pergerakan hanyalah utopia yang pada dasarnya tidak memberikan dampak berarti bagi perubahan, dengan demikian pergerakan tidak menjadi utuh dan terlihat cacat. Tentu saja, suatu pergerakan yang cacat akan dengan mudah mengalami kegagalan dan dipatahkan begitu saja melalui reduksi-reduksi di era Post-truth.

Metamodernisme sebagai Jalan Tengah

Bagi sebagian orang, sudah terlampau jauh untuk kembali ke era modernisme atau bahkan untuk kembali ke dalam relativisme era posmodernisme. Meski terkesan sebagai solusi yang tidak terlalu efektif, namun metamodernisme perlu dipertimbangkan sebagai sintesis antara fokus mayoritas di dalam modernisme dan fokus minoritas di dalam posmodernisme. Aspek-aspek besar atau kecil diperhatikan di dalam metamodernisme sebagai nilai baru untuk membentuk pola pikir yang tidak hanya kritis, namun juga mampu membaca situasi secara umum agar mengurangi risiko-risiko kecacatan yang dapat terjadi di dalam masyarakat. Hanzi Freinacht merupakan seseorang yang berupaya merumuskan metamodernisme.

Pada dasarnya kita dapat melihat metamodernisme ke dalam tiga definisi. Pertama, sebagai suatu fase kultural. Kedua, sebagai tahap pengembangan yang terjadi di dalam kehidupan. Ketiga, sebagai suatu paradigma filosofis. Salah satu yang ditekankan oleh metamodernisme di dalam kacamatanya terhadap masyarakat, ialah kita (manusia) memiliki kemampuan untuk dapat melakukan sintesis terhadap pengetahuan yang kita miliki tentang masyarakat untuk menjadi semacam narasi yang bersifat menyeluruh atau dapat kita sebut sebagai meta-narasi.

Akan tetapi, meta-narasi ini bukanlah suatu dogma yang akan selalu memiliki nilai mutlak, ia akan bersifat dinamis dan dapat dimaktub sebagai kritik diri terhadap fenomena yang terjadi di era Post-truth. Dengan tidak melepaskan diri pada kegagalan kapitalisme dari akumulasi dan penghapusan kesadaran manusia yang terjadi melalui fenomena One-dimensional Man yang dengan adanya metamodernisme akan kembali dianalisa untuk membentuk kesadaran dari kelas-kelas minoritas atau bahkan melakukan unsur perlawanan atas relativisme produksi yang semakin di luar kelayakan. Pada dasarnya pergerakan yang disusun harus dibentuk dan dibenturkan dengan adanya pergolakan di dalam diri seseorang untuk membentuk atau keluar dari dogma Post-truth yang menidurkan semangat perlawanan secara kolektif.

Referensi:

Freinacht, Hanzi. 2017. The Listening Society: A Guide to Metamodern Politics. Metamoderna;

Wilber, Ken. 2011. A Theory of Everything: An Integral Vision for Business, Politics, Science, and Spirituality. Boston: Shambhala;

Althusser, Louis. 2015. Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara. IndoProgress;

Kautsky, Karl. 1906. Ethics and The Materialist Coception of History. Forgotten Books;

Feuerbach, Ludwig. 1972. The Essence of Christianity. Cambridge.

About The Author